Hak dirampas, kesejahteraan dipangkas, kekayaan dikuras, ketenangan diberantas, keadilan ditindas, kebebasan ditebas untuk penambangan batu. Itulah gambaran keadaan sekarang yang dialami oleh warga Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sejauh mana urgensi penambangan batu dalam kaidah fiqih, nanti kita akan bahas.
Lingkungan hidup mereka akan disulap menjadi tambang andesit yang menunjang
pembangunan waduk Bener. Sayangnya, pihak aparat malah berlaku keras dan di
luar batas kepada warga Wadas yang tidak setuju dengan lahannya yang akan
dibebaskan jadi area proyek. Warga yang tidak setuju beranggapan bahwa
pembangunan tambang akan merusak lingkungan dan sumber air yang selama ini
menjadi penopang hidup mereka.
Melihat posting-an yang beredar di media sosial, warga Wadas benar-benar
tertindas demi sebuah proyek yang keuntungannya masih dalam angan-angan belaka.
Sederhananya aparat pemerintah meraih keuntungan dengan cara merugikan pihak
lain. Kisah warga Wadas ini mengingatkan saya pada sebuah pelajaran kaidah
fiqih Kitab Faraidul Bahiyah karya Syekh Abi Bakar Al-Ahdali Al-Yamani.
Tepatnya di penjelasan kaidah keempat yang berbunyi الضّرر
يزال “bahaya harus dihilangkan"
Santri tingkat Madrasah Aliyah pasti tahu betul kaidah yang berangkat dari
hadits nabi,لا ضرر ولا ضرار ini, yang berarti
”tidak boleh melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri maupun orang
lain."
Nah berangkat dari kaidah dan hadits di atas, yang dilakukan aparat ini tentu
bisa menimbulkan bahaya besar. Tidak hanya warga yang kehilangan tempat tinggal
namun juga terhadap kerusakan lingkungan. Akan tetapi pemerintah sudah
memikirkan matang mengenai pembangunan tambang tadi? Bukankah itu akan menjadi
manfaat bagi warga negara?
Nah, niat pemerintah sebenanya sudah bagus, namun ada pihak yang dirugikan
apalagi warga yang dirugikan tadi diberlakukan di luar akal waras. Di sisi lain
pembangunan negara ini juga harus terus berlangsung. Lalu bagaimana
menyikapinya? Apakah proyek ini perlu diteruskan?
Saya masih teringat lagi lanjutan kaidah di atas, Syekh Yasin Isa Al-Fadani
dalam Kitab Fawaidul Janiyah-nya pernah merumuskan lima kondisi sebagai
pertimbangan sebelum bertindak:
Pertama, Darurat: Sebuah kondisi bila tidak dilakukan akan menimbulkan kematian
atau bahaya yang lebih besar, semisal hanya ada satu-satunya makanan yaitu
bangkai. Kalau kita tidak makan bangkai, kita akan mati. Maka memakan bangkai
tadi bisa halal karena darurat.
Kedua, Hajat: Kondisi di mana bila tidak menerjang perkara haram masih bisa
hidup namun mengalami kesulitan. Contohnya tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
Bila puasa, ditakutkan akan memperparah penyakit. Maka tidak puasa tidak
menjadi masalah.
Ketiga, Manfaat: Kondisi yang berangkat dari keinginan hati menikmatinya.
Keempat, Zinah;Sebuah kondisi yang tujuannya hanya sebatas pelengkap seperti
orang menambah garam pada sayur, menambah gula pada kue, dan semisalnya.
Kelima, Fudhul: Yakni kondisi yang bersifat keleluasaan seperti orang yang
hendak berpesta dengan berbagai makanan dari yang haram atau yang syubhat.
Nah dari batasan di atas, kita bisa menilai sendiri pembangunan tambang dan
waduk ada di kondisi mana? Sudah daruratkah? Belum! Sangat jauh dari kata
darurat, tanpa adanya waduk ini warga masih bisa hidup lestari gemah ripah loh
jinawi.
Hajatkah? Juga tidak hajat, bila tidak membangun tambang dan waduk, masyarakat
tidak akan terlalu mengalami kesulitan pangan dan kebutuhan lainnya. Lagi-lagi
tidak perlu membangun dua proyek di atas.
Manfaat-kah? Nah pembangunan tambang dan waduk ini masih bisa dikatakan tahap
manfaat. Namun bila dibangun warga dan lingkungan yang terkena dampaknya. Tidak
semata-mata ada manfaat, melainkan ada pihak yang dirugikan. Padahal ada kaidah
fiqih lain درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح “Menolak
kerusakan didahulukan atas perkara yang mendatangkan manfa’at.” Maka pembatalan
membangun proyek ini lebih baik, jika menimbang kerusakan yang
dihasilkan.
Atau proyek ini malah masuk kategori kelima yaitu fudhul? Bilamana proyek ini
anggarannya bisa disalahgunakan. Bahkan mau dibuat pariwisata itu justru malah
berfoya-foya di atas penderitaan manusia atau makhluk lain.
Artinya pembangunan tambang dan waduk ini masih jauh dari kata hajat apalagi
darurat, maka lebih baik dihentikan dulu. Toh tanpa kedua proyek ini warga masih
bisa hidup. Atau kalau memang sangat terpaksa minimalnya pemerintah yang
berkaitan bisa menangani dengan rukun, musyawarah mufakat, tanpa menindas
rakyat, disikapi dengan waras tidak ujug-ujug langsung bertindak keras.
Kalau memang hitung-hitungan potensi keuntungan materi, bisa saja se-bumi
pertiwi ini jadi area tambang semua. Boro-boro batu andesit, kerikil dilempar
saja jadi kedelai. Mari kita nikmati kehidupan di bumi ini ala kadarnya. Tanpa
merugikan pihak lain, apalagi berlebih-lebihan. Sekian Wallahu a’lam. []
Ahmad Nahrowi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar