Jumat, 28 Oktober 2022

(Ngaji of the Day) Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 16

Berikut ini adalah kutipan Surat Al-Baqarah ayat 16 dan kutipan sejumlah tafsir terkait dengannya:


أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِين


Ulā’ikal ladzīnasytarawud dhalālata bil hudā, fa mā rabihat tijāratuhum wa mā kānū muhatdīn.


Artinya, “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka perdagangan mereka tidaklah beruntung. Mereka tidak mendapat petunjuk.”


Ragam Tafsir

 

Imam Abu Ja’far At-Thabari dalam kitab tafsirnya, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, membuka kajian Surat Al-Baqarah ayat 16 dengan melempar pertanyaan, bagaimana mungkin kaum munafikin membeli kesesatan dengan petunjuk, sementara mereka adalah orang kafir munafik yang belum pernah beriman sama sekali sebelum kekufuran-nifaknya? Bagimana mereka dengan kekufuran-nifaknya dapat melepas petunjuk untuk membeli kesesatan?


Padahal kia tahu bahwa makna “as-syira’” adalah menerima sesuatu dan menyerahkan sesuatu yang lain sebagai imbalannya. Sedangkan orang-orang munafik yang disifatkan Allah belum pernah menerima petunjuk sama sekali sehingga tidak ada yang harus mereka tinggalkan dan gantikan dengan kekufuran dan kemunafikan?


At-Thabari mengatakan, ulama tafsir berbeda pendapat mengenai makna Surat Al-Baqarah ayat 16. Ia kemudian menyebutkan semua pandangan ahli tafsir dan memilih yang menurutnya shahih. Ibnu Abbas mengartikan petunjuk pada ayat ini adalah keimanan dan kesesatan adalah kekufuran.


Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan sejumlah sahabat nabi mengatakan bahwa orang-orang munafik memegang kesesatan dan meninggalkan petunjuk. Sementara Qatadah mengatakan bahwa mereka menyukai kesesatan daripada petunjuk.


Mujahid memahami bahwa pada Surat Al-Baqarah ayat 16 orang-orang munafik itu beriman kemudian beralih kepada kekufuran.


Menurut At-Thabari, ulama yang menafsirkan ayat ini dengan “memegang kesesatan dan meninggalkan petunjuk” memahami “as-syira” dengan menjadikan produk yang dibeli di tempat harga produk sebagai alat tukar.


Demikian juga orang kafir Quraisy dan orang munafik Madinah di mana mereka mengisi tempat keimanan dengan kekufuran. Keimanan dan petunjuk dijual untuk mendapatkan kekufuran dan kesesatan yang mereka pegang. Petunjuk yang mereka lepas adalah harga atas kesesatan yang mereka pegang.


At-Thabari juga menjelaskan penafsiran ulama atas ayat ini dengan kesukaan pada kesesatan. Namun semua itu tidak dapat diterima karena mereka sama sekali belum pernah beriman sebelumnya. Menurut At-Thabari, tafsiran yang lebih dapat diterima adalah pandangan Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.


Menurut kedua sahabat Rasulullah SAW ini, orang munafik Madinah memegang kesesatan dan meninggalkan petunjuk. Pasalnya, setiap orang kafir kepada Allah adalah orang yang menggantikan keimanan dengan kekufuran dengan mengupayakan kekufuran yang ada sebagai ganti keimanan yang diperintah Allah.


Kedua sahabat rasul ini mendasarkan pandangan mereka pada Surat Al-Baqarah ayat 108, “Siapa saja yang menukar keimanan dengan kekufuran, maka sungguh orang itu telah tersesat dari jalan yang lurus.”


Inilah pengertian dari kata “as-syira” atau “isytarawud dhalālata” karena setiap orang yang membeli sesuatu menukar kedudukan sesuatu yang diterima sebagai pengganti benda lain yang menjadi alat tukarnya.


Hal ini juga berlaku pada orang kafir Makkah dan orang munafik Madinah. Keduanya menukar petunjuk dengan kesesatan dan kemunafikan, lalu Allah menyesatkan keduanya serta mencabut cahaya petunjuk itu dari mereka. Allah kemudian membiarkan mereka semua dalam kegelapan, tanpa melihat petunjuk apapun. (At-Thabari).


Imam At-Thabari mengatakan, dengan membeli kesesatan dengan ptunjuk, orang-orang munafik itu merugi, tidak mendapatkan untung karena pedagang yang untung adalah pedagang yang menukar produknya dengan produk yang lebih berharga atau lebih tinggi harganya dari produk yang dibelinya. Pedagang yang menukar produknya dengan produk di bawah kualitas produknya atau harga di bawah harga produknya sudah pasti adalah pedagang yang merugi dalam berbisnis.


Demikian hal yang sama berlaku dengan orang kafir dan orang munafik. Mereka memilih kebingungan dan kebutaan daripada bimbingan dan petunjuk; serta ketakutan dan kekhawatiran daripada perlindungan dan keamanan.


Orang kafir dan munafik memilih kebingungan daripada petunjuk; ketakutan daripada perlindungan; dan kekhawatiran daripada keamanan pada kehidupan jangka pendek di dunia. Pada saat yang sama, Allah telah menyediakan siksa yang keras dan pedih untuk mereka pada kehidupan akhirat yang kekal. Mereka adalah orang yang merugi dengan kerugian yang jelas.


Ibnu Katsir dalam tafsirnya juga menyinggung keragaman pandangan dan penafsiran terkait Surat Al-Baqarah ayat 16. Ia menyimpulkan pandangan ulama tafsir sebelumnya bahwa orang-orang munafik cenderung memilih kesesatan daripada petunjuk. Mereka membeli kesesatan dengan petunjuk sebagai alat tukarnya. Inilah makna Surat Al-Baqarah ayat 16.


Ini berlaku juga bagi kaum munafikin yang sempat beriman lalu kembali kafir sebagaimana keterangan Surat Al-Munafiqun ayat 3, “Yang demikian itu terjadi karena bahwa sungguh mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir kembali lalu hati mereka dikunci.” (Ibnu Katsir).


Al-Baidhawi dalam kitab tafsirnya, Asrarut Ta’wil wa Asrarut Tanzil, mengatakan, kata “tijārah” adalah upaya mencari keuntungan melalui aktivitas jual dan beli. Sedangkan “ar-ribhu” atau keuntungan adalah kelebihan dari modal pokok.


“Mereka tidak mendapat petunjuk” pada jalan tijarah atau jalan menuju perdagangan karena tujuan dari aktivitas tijarah adalah penyelamatan modal dan keuntungan. Mereka telah menyia-nyiakan dua tuntuan tersebut. Modal mereka sesungguhnya adalah akal sehat atau akal sehat dan fitrah salimah. Ketika mereka meyakini kesesatan, maka kesiapan mereka untuk menerima menjadi sia-sia. Akal sehat mereka cacat.


Tidak ada yang tersisa dari modal mereka yang dapat mengantarkan mereka untuk menggapai kebenaran dan meraih kesempurnaan. Tinggallah mereka dalam keadaan merugi, putus asa dari keuntungan, dan kehilangan modal pokok. (Al-Baidhawi). Wallahu a’lam.
[]

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar