Di dalam akad wakalah, berlaku sebuah kaidah bahwasanya:
الوكيل يقوم مقام الموكل
Artinya: "Wakil itu menduduki posisi orang yang diwakilinya."
Maksud dari kaidah ini adalah bahwasanya hak tasharruf (pengelolaan/pemanfaatan) wakil terhadap barang milik orang yang diwakilinya adalah sama. Namun, kita sering mendapati di lapangan bahwa orang yang mewakilkan berselisih pendapat dengan wakil dalam satu aspek yang sebenarnya tidak menunjukkan kesalahan pihak wakil. Di saat terjadi hal demikian, pendapat siapakah yang seharusnya dipegang?
Perlu diketahui bahwa tugas dan tanggung jawab wakil adalah mengelola harta sesuai dengan deskripsi tugas yang sudah diberikan oleh muwakkil (yang mewakilkan). Manakala wakil sudah menjalankan sesuai dengan prosedur operasional perwakilan, maka tanggung jawab dia sudah selesai dan ia berhak mendapat ujrah (upah) atas pekerjaan yang dilakukan.
Terkait dengan jual beli barang, ada dua kebiasaan yang berlaku bagi orang mengangkat wakil dan delegasi. Pertama, terkadang muwakkil hanya mewakilkan kepada seseorang untuk memberi pandangan terhadap barang saja. Kedua, ada kalanya muwakkil menugaskan wakil untuk melihat barang dan sekaligus melakukan serah terima barang.
Sebelumnya, ada hal yang harus kita tahu perbedaan antara wakil dan delegasi (rasûl).
أن الوكيل أصل في نفس القبض وإنما الواقع للموكل حكم فعله فكان إتمام القبض إلى الوكيل أما الرسول فهو نائب في القبض عن المرسل فكان قبضه قبض المرسل فإتمام القبض إلى المرسل
Artinya: "Wakil merupakan pokok dalam serah terima barang itu sendiri. Apa yang diperintahkan oleh muwakkil adalah dasar hukum wakil itu melakukan. Dengan demikian sempurnanya serah terima suatu barang yang diwakilkan adalah bisa diputus oleh wakil. Adapun utusan (delegasi) maka ia hanya sekedar peran pengganti dari orang yang mengutus dalam menerima barang. Keputusan menerima barang yang ia lakukan tergantung pada penerimaan pihak yang mengutus. Dengan demikian, unsur paripurnanya pendelegasian dalam qabdlu masih tergantung pada pihak yang mendelegasikan." (Al-Zuhaily, al Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: Juz 4 / 589).
Garis besar yang disampaikan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaily di atas adalah bahwa perbedaan wakil dan delegasi/utusan adalah terletak pada wilayah tasharufnya. Wakil lebih fleksibel dibanding delegasi karena ia bisa memutuskan transaksi sehingga paripurna, dan tugas ini tidak dimiliki delegasi.
Adakalanya pihak yang diangkat wakil ditugaskan untuk mengajukan pandangan tentang barang yang akan dibeli saja. Terkait dengan hal ini, maka berlaku hukum bahwa pandangan wakil adalah dianggap sama dengan pandangan muwakkil.
لو وكل المشتري رجلا بالنظر إلى ما اشتراه، ولم يره فيلزم العقد إن رضي، ويفسخ العقد إن شاء؛ لأن الوكيل يقوم مقام الموكل في النظر؛ لأنه جعل الرأي إليه.
Artinya: "Jika seorang pembeli mewakilkan kepada seseorang untuk meneliti barang yang akan dibelinya, sementara ia sendiri belum pernah melihat barang tersebut, maka jika wakil ridha terhadap barang tersebut, maka akad bisa dilanjutkan, namun bila wakil tidak ridla dan berkehendak merusak akad, maka rusaklah akad. Hal ini dikarenakan wakil menduduki posisi orang yang diwakilinya pada bidang meneliti barang sehingga pandangan muwakkil bergantung pada pandangan wakil." (Al-Zuhaily, al Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: Juz 4 / 589).
Misalnya, ada orang hendak membeli komputer, sementara ia sendiri tidak mengetahui spesifikasi komputer yang baik dari pesawat yang hendak dibelinya. Lalu pembeli mengajak orang pada saat membeli guna melihat barangnya. Maka dalam hal seperti ini, keputusan yang diambil oleh orang yang diajak tersebut terhadap pesawat adalah dianggap sama dengan keputusan pembeli. Jika disyaratkan dalam pembelian tersebut barang tidak boleh dikembalikan, maka pembeli tidak boleh mengajukan klaim atau menggugat wakil terkait dengan pandangannya terhadap barang, yang bisa jadi salah tafsir / salah duga (barang diketahui kelemahannya di belakang hari).
Bentuk wakil yang kedua adalah dia ditugaskan untuk melihat barang dan sekaligus melakukan serah terima barang. Terkait dengan hal ini, ada penegasan dari Syekh Wahbah al-Zuhaily bahwa:
وأما إذا وكله بقبض ما اشتراه قبل رؤيته، فتقوم رؤية الوكيل مقام رؤية الموكل، فيسقط خياره عند أبي حنيفة. وعند الصاحبين: لا يسقط خياره بقبض الوكيل مع رؤيته، لأنه وكله بالقبض لا بإسقاط الخيار، فلا يملك إسقاطه، كما لا يملك إسقاط خيار الشرط، ولا خيار العيب.
Artinya: "Sementara itu, jika muwakil menugaskan kepada wakil untuk melakukan serah terima barang yang hendak dibeli sebelum muwakkil sendiri melihatnya, maka melihatnya wakil terhadap barang adalah seolah sama dengan melihatnya muwakkil terhadapnya. Dengan demikian, gugurlah kebolehan khiyar (opsi melanjutkan atau membatalkan transaksi) baginya, menurut Abu Hanifah. Namun menurut Shahabiyyin, kebolehan khiyar tersebut tidak bisa gugur begitu saja bersama melihatnya wakil terhadap barang, karena hakikat tugasnya adalah hanya mewakili serah terima barang dan bukan menggugurkan khiyar. Terkait dengan khiyar, ia tidak berkuasa atas itu, sebagaimana tidak kuasanya dia atas khiyar syarat dan khiyar aib." (Al-Zuhaily, al Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: Juz 4 / 589).
Untuk contoh kasus yang kedua ini misalnya terjadi pada peristiwa menyuruh orang untuk belanja, sementara orang yang menyuruh tidak ikut pergi ke tempat belanjanya. Dalam muamalah yang demikian ini, maka seolah kedudukan muwakkil adalah pasrah kepada wakil atas keputusannya terkait dengan barang yang hendak dibeli. Oleh karena itu, imbas terhadap khiyar, adalah mengikut pada transaksi yang dilakukan oleh wakil, baik dalam khiyar syarat maupun khiyar aib. Namun, pendapat ini berbeda dengan pandangan Abu Hanifah. Abu Hanifah menyatakan tidak boleh khiyar. Namun, kiranya pendapat yang umum berlaku di era modern ini, adalah pendapat yang menyatakan bolehnya khiyar sesuai dengan akad transaksinya wakil. Wallahu a'lam bish shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar