Ada dua kemungkinan hukum 'mencampur' dua transaksi: boleh dan tidak boleh. Ada dua kemungkinan hukum 'mencampur' dua transaksi: boleh dan tidak boleh.
Imam Malik rahimahullah menyatakan bahwa penggabungan akad jual beli dengan akad ijârah (sewa jasa) adalah boleh. Permasalahannya adalah lantas bagaimana bila ada kasus seperti yang tertera di judul ini?
Sekilas jika kita cermati, jual beli semacam serasa tidak lazim terjadi. Tapi
sesuatu yang tidak lazim belum tentu tidak terjadi, bukan? Ada saja kemungkinan
terjadinya. Dan sifat kemungkinan ini bisa saja merupakan hal yang lumrah
mengingat seorang yang ingin membeli barang jadi dan sudah pernah dipakai,
biasanya akan bersikap ekstra hati-hati. Jangan-jangan rumahnya kelihatan bagus
dari luar, tapi nggak tahunya keropos dalamnya. Untuk itu ia menyetujui menyewa
dulu sebelum memutuskan membeli.
Tapi bukankah cacatnya barang yang akan dibeli bisa diketahui dengan jalan
ru’yah (melihat)? Inilah yang mengundang tanda tanya bagi kalangan yang ingin
berhemat. "Jika hendak dijual, ya jual sajalah! Ngapain harus pakai acara
disewakan segala?" Demikian mungkin dalam benak pembeli. Atau sebaliknya
dari penjual mungkin dalam hati mengatakan: "Kalau niat membeli ya beli
saja! Ngapain harus repot-repot pakai acara sewa segala?"
Kenyataan-kenyataan seperti ini merupakan problem muamalah dan harus
diselesaikan menurut pertimbangan syariah. Setidaknya ada beberapa pandangan
dari fuqaha dalam hal ini. Pertama, menurut ulama kalangan mazhab Hanbali,
menyatakan dengan tegas bahwa akad semacam adalah keduanya batal, baik akad
jual belinya maupun akad sewanya. Al-Bahûty dalam Kasyâfu al-Qinâ' menjelaskan:
فإن
قال بعتك داري هذه وأجرتكها شهرا بألف فالكل باطل
Artinya: "Jika seseorang mengatakan: Aku jual rumahku ini padamu dan
sekaligus aku sewakan sebulan padamu dengan harga 1000, maka tiap-tiap akad
yang dipergunakan di sini adalah batal." (Al-Bahûti, Kasyâfu al-Qinâ',
Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.: 3/179)
Alasan yang dipergunakan oleh al-Bahuty dalam hal ini adalah, dalam jual beli
sudah terjadi perpindahan kepemilikan. Pemilik tidak mungkin menyewakan manfaat
harta yang dimilikinya kepada dirinya sendiri. Jika hal itu terjadi, maka itu
artinya pemilik belum memiliki kepemilikan sepenuhnya terhadap barang. Oleh
karena itulah maka kedua akad jual beli dan sewa di atas dipandang sebagai
batal.
Bagaimanapun juga setiap akad jual beli selalu memiliki konsekuensi hukum
terhadap status kepemilikan barang. Demikian juga dengan sewa. Jika keduanya
terkumpul dalam satu waktu dan di satu tempat, maka akad jual beli dan ijarah
ini bersifat saling menafikan sehingga layak dipandang batal.
Lain halnya bila ada illat lain yang melatarbelakangi. Misalnya, sebagaimana
penjelasan dari ulama dari kelompok kedua berikut ini:
أفاد
أنه لابد أن يكونا في عينين بعوض واحد فإن كانا في عين واحدة بطل جزما
Artinya: "Dapat diambil faedah bahwasannya seharusnya kedua akad ini
berlaku pada dua objek akad yang berbeda dengan nilai tukar yang digabungkan.
Jika keduanya berlaku hanya pada satu objek saja, maka tidak diragukan lagi
akan batalnya akad." (Syihabuddin al-Qalyûbi, Hasyiyah al-Qalyûbi, Beirut:
Dâr al-Ma'rifah, tt.: 2/188).
Maksud dari al-Qalyûby - salah satu ulama kalangan Syafi'iyah - di sini adalah
hendaknya ada dua rumah sebagai objek akad. Rumah yang satu disewakan,
sementara rumah yang lain dijual. Jika akad jual beli dan ijarah itu hanya
berlaku untuk satu objek barang saja, maka jâzim (tidak diragukan lagi) bahwa
keduanya batal secara syariah.
Pendapat ulama berikutnya - yang ketiga - agak sedikit mengambil jalan tengah.
Objek akad boleh dikenakan terhadap satu barang, akan tetapi ada catatan
pengecualian. Pengecualian itu meliputi:
وللصحة
وجه بأن تكون مستثناة من البيع
Artinya : "Solusi sahnya akad hanya satu, yaitu terdapatnya pengecualian
sewa menyewa (ijârah) dari jual beli." (Al-Bahûti, Kasyâfu al-Qinâ',
Beirut: Dâr al-Ma'rifah, tt.: 2/98).
Maksud dari pendapat al-Bahûty di sini adalah jika manfaatnya rumah itu memang
disewakan selama satu bulan dipisah dari akad jual beli, maka adalah hak bagi
penjual untuk mengambil manfaat berupa harga sewa dari orang yang menyewa
rumahnya. Hal ini berangkat dari alasan bahwasanya rumah tersebut belum
mengalami perpindahan kepemilikan. Lain halnya bila didahului oleh jual beli, maka
proses kepindahan kepemilikan itu sudah pasti terjadinya.
Pangkal pokoknya kemudian adalah bagaimana cara agar kedua akad tersebut bisa
berlangsung terpisah sehingga memenuhi kaidah wajibnya tafrîq al-shafqah
(memisah objek transaksi)? Di sini al-Bahûti menyerankan agar kedua akad
tersebut tidak dilakukan di tempat dan waktu yang sama. Pemisahan waktu dan
tempat ini memungkinkan hilangnya illat mutanâfi (saling menegasikan) dari
kedua akad yang terjadi dalam konsekuensi logis hukum sehingga yang menjadikan
hukum penggabungan antara kedua akad itu menjadi diperbolehkan. Sampai di sini
maka batasan Al-'Umrâny menyatakan batasan tafriq al-shafqah ini sebagai
berikut:
(١)
اجتماع عقدين مختلفي الحكم في عقد واحد على محل واحد بعوض واحد في وقت واحد:
لايجوز (٢) اجتماع عقدين مختلفي الحكم في عقد واحد على محل واحد بعوض واحد في
وقتين: جائز
Artinya: "(1) Berkumpulnya dua akad yang berbeda hukumnya dalam satu akad
dan tempat transaksi dan dengan harga yang satu serta waktu yang satu, maka
hukum akad ini adalah tidak boleh dilaksanakan. (2) Berkumpulnya dua akad yang
berbeda hukumnya dalam satu akad dan tempat transaksi dan dengan harga yang
satu tapi waktunya berbeda (dua waktu), maka hukum akad ini adalah boleh."
(Al-Imrâny, al-'Uqûdu al-Mâliyah al-Murakkabah, Riyadl: Dâr al-Kunûz Isybiliya
li al-Nasyr wa al-Tawzî', 2010: 134).
Walhasil, berdasarkan tinjauan di atas, lantas bagaimana dengan seseorang
bertransaksi sebagaimana contoh di atas, yaitu: "Aku jual rumah ini
padamu, tapi sebelumnya sewa dulu sebulan!" Maka jawabnya ada dua
kemungkinan. Hukum bolehnya akad ini dilaksanakan, adalah manakala akad sewa
dan akad jual beli ini dilakukan pada tempat atau waktu yang terpisah. Adapun
jika waktu dan tempatnya dilakukan pada lokasi yang sama, maka sesuai dengan
batasan yang disampaikan oleh al-'Umrâny di atas, maka hukumnya menjadi tidak
diperbolehkan. Wallâhu a'lam bish shawâb. []
Ustadz Muhammmad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center
PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar