Dalam kitab Shalah al-Ummah fi Uluww al-Himmah, Sayyid Husain al-‘Affani mencatat kisah seorang ulama besar bernama Haiwah bin Syarih yang tengah menyampaikan pengajian di sebuah mejelis di depan banyak orang. Tapi, ia segera meninggalkan majelis itu ketika ibunya memanggil untuk memberi makan ayam. Berikut riwayatnya:
وكان
حيوة بن شريح -وهو أحد أئمة المسلمين- يقعد في حلقته يُعلِّم الناس، فتقول له
أُمُّه: قُم يا حيوة فألقِ الشعير للدجاج، فيقوم ويترك المجلس .
Artinya:
Suatu ketika Haiwah bin Syarih -salah seorang imam kaum Muslim- sedang mengadakan halaqoh menyampaikan ilmu di depan banyak orang. Tiba-tiba sang ibu berseru dan memerintahnya, “Berdirilah Haiwah, sebarkan gandum untuk ayam jantan itu!”
Haiwah pun berdiri dan meninggalkan pengajiannya. (Sayyid Husain al-‘Affani,
Shalah al-Ummah fi Uluww al-Himmah, Beirut: Muassasah al-Risalah, t.t., juz 5,
hal. 653)
Haiwah bin Syarih (w. 775 M.) bukan orang sembarangan. Ia adalah seorang ulama agung dari Mesir dan imam besar bagi umat Islam pada masanya. Ia merupakan cendekiawan Muslim (faqih), ahli ibadah, dan seorang ahli hadis (muhaddits) terpercaya dari generasi tabi’ al-tabi’in. Tabi tabi’in adalah di antara tiga kurun terbaik dalam sejarah Islam, setelah tabi’in dan shahabat.
Dalam Siyar A’lam al-Nubala’ (juz 6, hal. 405), Imam al-Dzahabi mencatat
beberapa riwayat tentang Haiwah bin Syarih. Di antaranya adalah sebagai
berikut.
Haiwah merupakan sosok yang low profile (tawadlu), ia tidak suka memperlihatkan
ilmunya. Dalam sebuah riwayat disebutkan:
قال
ابن وهب: ما رأيت أحدا أشد استخفاء بعمله من حيوة ، وكان يعرف بالإجابة ، يعني في
الدعاء .
Artinya:
Ibnu Wahab berkata, “Belum pernah aku melihat orang yang paling merahasiakan kecakapan ilmunya kecuali pada diri Haiwah. Doanya diijabah (mudah dikabulkan).”
Selain dikenal sebagai sosok yang tawadlu, ia juga dikenal sebagai sosok yang
doanya mustajab (dikabulkan seketika itu juga). Dalam Tadzhib al-Kamal,
Jamaluddin Abil Hajjaj Yusuf al-Mizzi mencatat sebuah riwayat berikut:
وقال
أحمد بن سهل الأردني، عن خالد بن الفزر: كان حيوة بن شريح دعاء من البكائين، وكان
ضيق الحال جدا، فجلست إليه ذات يوم، وهو متخل وحده يدعو، فقلت: رحمك الله، لو دعوت
الله أن يوسع عليك في معيشتك؟! فالتفت يمينا وشمالا فلم ير أحدا، فأخذ حصاة من
الأرض، فقال: اللهم فالتفت يمينا وشمالا فلم ير أحدا، فأخذ حصاة من الأرض، فقال:
اللهم اجعلها ذهبا، فإذا هي والله تبرة في كفه ما رأيت أحسن منها فرمى بها إلي
وقال: ما خير في الدنيا إلا للآخرة.
Ahmad bin Sahl al-Ardani dari Khalid bin al-Fazr, berkata, “Haiwah bin Syarih
adalah orang yang banyak berdoa, mudah menangis (saking lembut hatinya -pen)
dan orang yang fakir. Pada suatu hari saya sedang duduk. Aku melihat Haiwah
seorang diri sedang berdoa.” “Aku berkata padanya, ‘Semoga Allah merahmatimu,
berdoalah kepada Allah agar kondisi ekonomimu membaik?!’ Ia pun menoleh ke
kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang. Lalu ia mengambil sebuah kerikil
dan berdoa, ‘Ya Allah, jadikanlah emas’. Seketika kerikil itu berubah menjadi
emas murni. Belum pernah aku melihat yang lebih indah darinya. Haiwah pun
melemparkan emas itu ke arahku. “Aku tidak butuh ini!” tegas Haiwah.
(Jamaluddin Abil Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tadzhib al-Kamal, juz, 7, hal. 481)
Kisah Haiwah di atas penting untuk kita renungi dan menjadi teladan dalam
berbakti kepada orang tua. Sebagai ulama yang sangat terpandang dan memiliki
kedudukan jabatan tinggi sebagai seorang ulama agung dari Mesir, rasa hormat
kepada orang tuanya tidak berkurang sedikit pun.
Ia tidak gengsi saat memberi makan ayam dengan tangannya sendiri di
tengah-tengah pengajian akbar yang dipimpinnya. Padahal, sebagai seorang ulama
besar, bisa saja ia meminta orang lain untuk memberi makan ayam tersebut. Tapi
baginya itu adalah kehormatan tersendiri, bisa memenuhi perintah sang ibu yang
telah membesarkannya.
Berkat keluhuran akhlaknya itu, Haiwah diberi kelebihan oleh Allah swt yang di
antaranya adalah memiliki keilmuan yang luas dan doanya dikabulkan seketika itu
juga.
Sebagai seorang guru, ia tidak hanya memberikan materi kepada murid-muridnya.
Apa yang dilakukan Haiwah dengan meninggalkan pengajian yang sedang diampunya
adalah sebuah upaya untuk memberikan contoh di hadapan muridnya secara
langsung, bahwa berbakti kepada orang tua tidak mengenal tempat dan waktu.
Haiwah adalah sosok yang tidak hanya memperhatikan ilmu saja, tetapi juga
pembentukan karakter. Orang boleh berilmu setinggi langit, tapi jika tidak
punya adab, maka ilmunya tidak lagi berarti karena adab itu di atas ilmu.
Ibu Haiwah adalah sosok orang tua yang tidak hanya mengajari Haiwah, anaknya,
soal ilmu, tapi juga telah menanamkan budi pekerti yang mulia. Bisa jadi, bukan
pertama kali ibunya menyuruh untuk memberi makan ayam. Tapi sejak kecil Haiwah
disuruh untuk itu, sebagai bentuk pendidikan tanggung jawab dan menghormati
orang tuanya sejak dini. []
Muhammad Abror, Mahasantri Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta, alumnus
Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar