KH Abdul Wahab Chasbullah merupakan salah satu ulama yang teguh berpegang pada madzhab. Dalam hubungannya dengan gerakan pembaharuan, Kiai Wahab seringkali tidak bisa menghindar dari serangan-serangan kelompok modernis, baik yang ada di Syarikat Islam (SI) maupun dari KH Mas Mansur yang lebih cenderung ke kelompok modernis anti-madzhab. Kecenderungan inilah yang membuat Kiai Wahab dan Mas Mansur berpisah pada tahun 1922 setelah sebelumnya bersama-sama mendirikan perguruan Nahdlatul Wathan.
Selain harus berjuang menghadapi kolonialisme, Kiai Wahab sangat getol dengan
keyakinan bermadzhab sehingga dirinya juga mempersiapkan generasi-generasi muda
yang tangguh ketika mereka harus dihadapkan dengan kelompok modernis
anti-madzhab. Dalam prosesnya, Kiai mendirikan Kursus Masail Diniyah yang
khusus mencetak generasi muda berakhlak mulia, cinta tanah air, dan teguh dalam
mempertahankan keyakinan bermadzhab.
Di titik ini Kiai Wahab telah membangun pertahanan cukup ampuh dalam menghadapi
serangan-serang kaum modernis anti-madzhab. Sebanyak 65 ulama muda yang
dikursus memang disiapkan betul untuk menghadapi kelompok pembaharu. Sehingga
dalam perkembangannya, ketika muncul perbedaan seputar masalah khilafiyah di
beberapa daerah, tidak perlu lagi meminta kedatangan Kiai Wahab tetapi cukup
dihadapi oleh ulama-ulama muda tersebut.
Faksi madzhab dan anti-madzhab agaknya terus membuat Kiai Wahab gelisah
sehingga mengutarakan maksud untuk mendirikan organisasi Perkumpulan Ulama
kepada tokoh sentral se-Jawa dan Madura, KH Muhammad Hasyim Asy’ari, guru
sekaligus saudara sepupu Kiai Wahab. Namun Kiai Hasyim melihat bahwa berbagai
masalah yang sering menjadi bahan perdebatan antara kelompok tradisionalis
(madzhab) dan modernis (anti-madzhab) selama ini belum sampai menyentuh akidah
atau prinsip agama.
Di sinilah Kiai Hasyim Asy’ari melihat bahwa perkumpulan para tokoh ulama dalam
forum perdebatan masalah khilafiyah dapat membuat kaum penjajah gentar sehingga
dapat mempercepat proses bangkitnya nasionalisme bangsa yang sedang terjajah.
Untuk maksud ini, Kiai Hasyim memandang perdebatan soal khilafiyah tidak perlu
dihentikan (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 35).
Namun demikian, berkobarnya api perdebatan antara ulama bermadzhab dan tokoh
modernis anti-madzhab patut disayangkan. Terlebih ketika perdebatan yang
melibatkan Kiai Wahab berhadapan dengan Soorkati dari Al-Irsyad dan Achmad
Dachlan dari Muhammadiyah pada tahun 1921 yang berlangsung cukup sengit dan
penuh dengan fanatisme.
Meskipun peristiwa tersebut pada hakikatnya melemahkan, tetapi dengan hadirnya
beberapa ulama terkemuka seperti: KH Wahab Chasbullah, Achmad Dachlan, Ahmad
Soorkati, Mas Mansur, Agus Salim, Sangadi, Wondoamiseno, dan tokoh lainnya di
setiap forum perdebatan justru memunculkan percikan-percikan api kebenaran
Islam dari Muslim yang pada akhirnya menjadi palu godam ampuh untuk dipukulkan
kepada penjajah.
Artinya, perdebatan soal khilafiyah pada masa itu memang masih mengandung
manfaat, terutama dapat menumbuhkan sikap dan semangat cinta tanah air bangsa
Indonesia yang sedang dibelenggu penjajah. Forum ini tentu membuat kaum
penjajah linglung dan merasa terganggu konsentrasinya karena para ulama
pesantrenlah yang getol menyemayamkan sikap cinta tanah air sehingga membuat
mereka harus memusatkan perhatian pada forum-forum perdebatan itu.
Dari peristiwa sejarah yang sangat berharga itu, bangsa Indonesia dapat
mengambil pelajaran bahwa di setiap perbedaan yang menyeruak dari setiap
kelompok ada tujuan utama yang harus dicapai. Sebab itu, setiap forum
pertemuan, diskusi bahkan perdebatan sekalipun harus mempunyai tujuan dan
manfaat bagi orang banyak. Di titik inilah KH Hasyim Asy’ari selalu dapat
melihat secara jernih setiap persoalan yang ada sehingga tidak begitu saja
melarang forum-forum perdebatan khilafiyah Kiai Wahab dengan kaum anti-madzhab
saat itu. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar