Islam sebagai agama yang paripurna, tidak lepas dari beberapa aturan-aturan yang ada di dalamnya, atau yang lebih dikenal dengan istilah syariat. Dengan syariat inilah kemudian muncul sebuah hukum yang mengatur pola hidup manusia, seperti mubah, sunnah, wajib, haram, dan makruh. Namun demikian hukum tersebut tidak lepas dari periodisasi yang dikenal sebagai tarikh tasyri.
Beberapa hukum-hukum di atas kemudian menjadi suatu penetapan independen yang
disepakati oleh para ulama, sifatnya mengikat dan harus dilakukan oleh semua
umat Islam yang sudah mencapai batas mukallaf (terkena tuntutan), baik
laki-laki maupun perempuan, ketika masing-masing dari mereka sudah mampu serta
tidak ada alasan untuk meninggalkannya.
Selain itu, para ulama juga menjadikannya sebagai penentu di balik pekerjaan,
tindakan, dan interaksi sosial manusia dalam setiap harinya. Dengan hukum
tersebut, seseorang bisa tahu bahwa ada beberapa hal yang hukumnya wajib
dilakukan, sunnah, makruh, mubah, hingga ada juga yang dilarang (baca: haram).
Oleh karenanya, penting untuk memahami hukum syariat Islam agar bisa membedakan
antara kewajiban dan larangan.
Sebelum melanjut pada pembahasan hukum-hukum dalam Islam, pada kesempatan ini
penulis hendak menjelaskan pengertian perihal sejarah hukum Islam, atau dalam
beberapa literatur kitab salaf dikenal dengan istilah tarikh tasyri’. Hal ini
sangat penting untuk diketahui agar bisa paham substansi dan akar sejarah di
balik penetapan hukum itu, termasuk perkembangannya.
Perkembangan Tasyri’ Islam
Perjalanan sejarah dibentuknya hukum-hukum di atas dimulai sejak ajaran Islam itu datang, tepatnya sejak masa diutusnya Nabi Muhammad saw. Pada masa itu, para sahabat menjadi orang pertama yang menerapkan ajaran Islam berikut hukum-hukum yang ada di dalamnya melalui bimbingan dan arahan dari Rasulullah. Agar lebih paham dan lebih jelas, mari kita bahas satu per satu.
Syekh Abdul Wahhab Khallaf dalam kitabnya mengartikan tarikh tasyri’ dengan
sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dari masa ke masa, setapak
demi setapak menuju kesempurnaan, serta selalu menyesuaikan diri dengan kondisi
masyarakatnya. (Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh at-Tasyri’ al-Islami,
[Kuwait, Darul Qalam: tanpa tahun], halaman 7).
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa tarikh tasyri’ menjadi sebuah
entitas yang sangat mendasar sebelum adanya sebuah penentuan hukum Islam.
Sejarah (tarikh) menjadi sebuah gambaran riil dari adanya potret kehidupan yang
sangat varian dan begitu dinamis. Akumulasi perilaku dan interaksi sosial dalam
kehidupan manusia yang sangat plural, bisa diamati melalui fakta-fakta empirik
peninggalan sejarah dan kisah-kisah kehidupan manusia.
Sedangkan syariat (tasyri') menjadi sebuah bentuk penetapan hukum-hukum yang
mengatur perbuatan orang-orang mukallaf (subjek hukum) dan hal-hal yang terjadi
perihal berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi di antara mereka.
Dengannya, semua gerakan yang dilakukan oleh orang mukallaf, tidak bisa lepas
dari ketentuan syariat Islam.
Macam-macam Tasyri’
Masih dikutip dari pendapat Syekh Abdul Wahab Khallaf namun dengan judul kitab yang berbeda, bahwa syariat Islam terbagi menjadi beberapa dimensi, setidaknya ada dua dimensi yang beliau sampaikan, (1) dimensi ilahiyah (ketuhanan); dan (2) dimensi wad’iyah (ijtihad manusia).
Dimensi ilahiyah merupakan suatu hukum utama dan sangat sakral. Ia sebagai
ajaran yang bersumber secara langsung dari Allah swt melalui Al-Qur’an kepada
Nabi Muhammad. Dalam hal ini, syariat Islam berikut hukum-hukumnya memiliki
nilai yang sangat agung, sehingga sakralitasnya harus tetap dijaga, cakupannya
sangat luas, tidak hanya mencakup tentang fiqih, ia juga mencakup perihal
keimanan, amaliyah, dan etika.
Dimensi ilahiyah ini menjadi sebuah penetapan hukum Allah yang disampaikan oleh
Rasul-Nya hingga kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an, dan ada beberapa yang
tidak, seperti hadits qudsi (firman Allah secara langsung kepada Rasulullah
tanpa melalui malaikat Jibril). Kendati pun tasyri’ ilahi disampaikan
Rasulullah, ia tetap wajib untuk diikuti oleh umat Islam sebagai representasi
taat kepada-Nya, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Abdul Wahab:
وَفِي
هَذَا كُلِّهِ بُرْهَانٌ مِنَ اللهِ عَلَى أَنَّ تَشْرِيْعَ الرَّسُوْلِ هُوَ
تَشْرِيْعٌ إِلَهِيٌ وَاجِبٌ اِتِّبَاعُهُ
Artinya, “Dalam hal ini, semuanya menjadi sebuah bukti dari Allah, bahwa
sungguh syariat (dari) rasul adalah syariat ilahi (Allah) yang wajib untuk
diikuti.” (Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushulil Fiqih, [Maktabah ad-Dakwah, Darul
Qalam, cetakan kedelapan], halaman 37).
Sedangkan dimensi kedua adalah wad’iyah, yaitu sebuah hukum Islam yang
dicetuskan oleh para ulama melalui ijtihad dengan berlandaskan pada Al-Qur’an,
hadits, dan konsensus (ijma’) para ulama dengan menghasilkan dua pendekatan;
pendekatan secara bahasa (lughah), dan pendekatan tujuan syariat (syar’an).
Periodisasi Tarikh Tasyri’
Jika ditelusuri lebih mendalam, perjalanan akar sejarah munculnya syariat sejak awal pertumbuhannya hingga saat ini telah melalui beberapa periode. Inilah arti sederhana dari istilah tarikh tasyri’, sebagaimana tulisan awal yang diciptakan untuk mengetahui keadaan fiqih dari masa ke masa, dan untuk mengetahui masa-masa terbentuknya suatu hukum dan hal lain yang berkaitan dengannya.
Kendati pun demikian, sejarah merupakan penafsiran sekaligus bukti transformasi
terhadap peristiwa zaman lampau yang dipelajari secara serius dan selalu
menjadi kajian khusus agar selalu tekstual dan kontekstual. Oleh karenanya,
para ulama khususnya fuqaha (ahli fiqih) menilai bahwa hukum-hukum dalam Islam
memiliki periode dari satu masa menuju masa selanjutnya.
Menurut Syekh Abdul Wahab Khallaf, sejarah periodisasi hukum Islam terbagi
menjadi empat periode, yaitu: (1) priode pada masa Rasulullah; (2) periode
sahabat; (3) periode tadwin (kodifikasi) di masa tabi’in dan tabi’un tabi’in;
dan (3) periode taklid (mengikuti).
Periode pertama, saat itu syariat Islam termasuk hukum-hukumnya masih dalam
pembentukan (takwin), hingga kemudian diterapkan secara perlahan oleh
Rasulullah dan para sahabat. Periode ini berjalan selama dua puluh dua tahun,
terhitung sejak masa diutusnya Nabi Muhammad hingga wafatnya.
Setelah itu, periode sahabat. Pada masa ini, syariat Islam sudah mulai mereka
sempurnakan dan lebih mereka perluas ke luar jazirah Arab. Periode ini berjalan
selama sembilan puluh tahun, terhitung setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga
selesainya Abad Pertama Hijriah.
Sedangkan periode ketiga, yaitu masa tabiin, tabiut tabiin selepas wafatnya
para sahabat, yang mayoritas dari mereka memiliki kecakapan untuk ijtihad,
syariat Islam mengalami peningkatan yang sangat dinamis, pada masa itu, ajaran
Islam selalu mengalami perbaikan dan terus diperbaiki. Oleh karenanya, tabiin
dan tabiut tabiin hanya mengembangkan dan lebih memperluas syariat Islam.
Periode ini ini berjalan cukup panjang, sebagaimana yang disebutkan Syekh Abdul
Wahab:
وَمُدَّتُهُ
مِائَتَانِ وَخَمْسُوْنَ مِنْ سَنَةِ مِائَةٍ اِلَى سَنَةِ ثَلَاثِ مِائَةٍ
وَخَمْسِيْنَ
Artinya, “Adapun masanya (tabiin) yaitu 250 tahun, terhitung sejak tahun 100
sampai tahun 350 (Hijriah).”
Sedangkan periode keempat yaitu periode taklid (ikut-ikutan), masa ini dikenal
dengan masa jumud (stagnan, merosot) jika dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Syekh Abdul Wahab menengarai periode ini sejak pertengahan Abad Keempat
Hijriah, dan tidak diketahui sampai kapan akan berakhir kecuali Allah. (Abdul
Wahab Khallaf, Khulasah Tarikh at-Tasyri’, halaman 7).
Alhasil, perkembangan syariat Islam dan sejarahnya memiliki peradaban yang
sangat signifikan. Rasulullah, para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin tak
henti-hentinya berupaya untuk memberikan yang terbaik di balik adanya syariat
yang menjadi tuntutan bagi pemeluknya. Oleh karenanya, sejarah syariat
selalu bermetamorfosis untuk selalu sesuai dengan zaman dan kebutuhan manusia. []
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan
Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar