Ayah Sayyidah Maimunah adalah al-Harits bin Hazan bin Jubair al-Hilaliyah. Sementara ibunya ialah Hindun bin Auf bin Zubair bin Harits. Dia termasuk salah seorang perempuan yang paling awal masuk Islam. Semula, namanya adalah Barrah. Nabi Muhammad menggantinya dengan Maimunah—yang bermakna impian, harapan, keberkahan- setelah menikahinya.
Maimunah pernah menikah dengan Mas’ud bin Amr al-Tsaqafi sebelum memeluk Islam.
Mereka kemudian bercerai karena suatu alasan. Lalu, Maimunah menikah lagi
dengan Abu Rahm bin Abdul Uzza dari Bani Amir bin Lu’ay. Dalam waktu beberapa
lama, Mainumah kembali hidup menjanda setelah suaminya yang kedua, Rahn,
wafat.
Sayyidah Maimunah sebetulnya masih memiliki hubungan dekat dengan Nabi Muhammad. Karena, saudari Sayyidah Maimunah, Lubabah al-Kubra adalah istri paman Nabi Muhammad, Abbas bin Abdul Muthalib. Lubabah al-Kubra yang bergelar Ummu Fadhl merupakan perempuan kedua yang masuk Islam, setelah Sayyidah Khadijah. Ketika hidup menjanda itu—setelah ditinggal mati suaminya yang kedua, Sayyidah Maimunah hidup bersama saudarinya, Lubabah al-Kubra.
Dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW (M Quraish Shihab, 2018), Sayyidah
Maimunah sangat mengagumi dan menghormati Nabi Muhammad. Dia gembira manakala
pasukan umat Islam meraih kemenangan dalam sebuah peperangan. Hingga suatu
ketika, Sayyidah Maimunah curhat kepada Lubabah al-Kubra bahwa dirinya memiliki
rasa pada Nabi Muhammad. Dia siap manakala Nabi Muhammad mempersuntingnya.
Sejurus kemudian, Lubabah al-Kubra menceritakan perasaan Sayyidah Maimunah kepada suaminya, Abbas bin Abdul Muthalib. Lalu, Abbas meneruskan informasi itu kepada Nabi Muhammad. Gayung pun bersambut. Nabi kemudian meminta sepupunya, Ja’far bin Abi Thalib, untuk melamar Sayyidah Maimunah untuk dirinya. Lamaran Nabi itu disambut baik oleh Sayyidah Maimunah. Usia Sayyidah Maimunah 26 tahun ketika dinikahi Nabi Muhammad.
Kejadian ini terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hirjiyah, ketika Nabi Muhammad
tengah mengerjakan umrah al-qadha. Sebetulnya, Nabi Muhammad dan kaum Muslim
hendak berangkat umrah pada tahun 6 Hijriyah. Kaum musyrik melarang mereka
masuk Makkah. Kedua belah pihak akhirnya sepakat untuk menandatangani
Perjanjian Hudaibiyah setelah negosiasi yang alot. Salah satu isi perjanjian
itu adalah Nabi dan rombongannya tidak boleh memasuki Makkah tahun 6 H. Mereka
baru boleh diizinkan masuk ke Makkah untuk umrah pada tahun berikutnya—tahun 7
H- dan itu pun hanya tiga hari saja.
Di hari ketiga, dua orang utusan kaum musyrik Makkah, Suhail bin Amr dan Huwaithib bin Abdul Uzza, mendatangi Nabi Muhammad dan rombongannya. Keduanya mengingatkan salah satu isi Perjanjian Hudaibiyah, di mana Nabi Muhammad dan umat Islam hanya diizinkan untuk tinggal di Makkah selama tiga hari saja.
Sa’ad bin Ubadah yang ketika itu berada di sisi Nabi marah. Nabi Muhammad
berusaha menengahi dengan meminta ‘waktu tambahan’. Kepada keduanya, Nabi
mengatakan baru saja menikah dengan Sayyidah Maimunah dan akan mengadakan pesta
perkawinan. Beliau akan menjamu mereka dengan makanan dan minuman manakala
diizinkan untuk tinggal di Makkah barang sebentar lagi. Sayang, mereka menolak
tegas tawaran itu dan menyuruh Nabi lekas meninggalkan Makkah.
Merujuk Biografi Istri-istri Nabi Muhammad SAW (Aisyah Abdurrahman, 2018), Nabi Muhammad langsung memerintahkan pasukan Islam untuk bersiap-siap meninggalkan Makkah setelah peristiwa itu. Beliau kemudian meminta pembantu Abbas bin Abdul Muthalib, Abu Rafi, mengawal Sayyidah Maimunah keluar dari Makkah, menyusul rombongan Nabi Muhammad.
Sayyidah Maimunah akhirnya bertemu dengan Nabi Muhammad di daerah Saraf,
sekitar 10 kilometer dari Makkah. Di sinilah Nabi Muhammad merayakan
pernikahannya dengan Sayyidah Maimunah, wanita terakhir yang dinikahinya. Nabi
dan rombongannya langsung kembali ke Madinah begitu acara perayaan
perkawinannya selesai.
Lantas apa alasan yang mendasari Nabi Muhammad menikahi Sayyidah Maimunah?
Dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW (2018), M Quraish Shihab menguraikan tiga
motif mengapa Nabi meminang Sayyidah Maimunah. Pertama, Abbas bin Abdul
Muthalib. Paman Nabi itu menjadi juru bicara yang menyampaikan hasrat Sayyidah
Maimunah untuk menjadi istri Nabi. Maka tidak wajar Nabi menolaknya. Terlebih,
Sayyidah Maimunah juga termasuk salah satu perempuan yang awal-awal masuk Islam.
Kedua, saudara Asma binti Umais. Selain saudari istri pamannya Abbas, Ummu
Fadhl, Sayyidah Maimunah juga saudari—tidak sekandung- dari Asma binti Umais,
istri Ja’far bin Abi Thalib, keponakannya. Hubungan itu membuat Nabi tidak
wajar menolak Sayyidah Maimunah.
Ketiga, memperkuat hubungan dengan suku-suku lain di Makkah. Saudari-saudari sekandung Sayyidah Maimunah menikah dengan pembesar Makkah. Lubabah al-Kubra, Abbas bin Abdul Muthalib; dan Lubabah as-Shugra, istri al-Walid bin Mughirah dan ibu Khalid bin Walid, merupakan saudari Sayyidah Maimunah.
Begitu juga dengan saudara-saudara tidak sekandungnya. Antara lain Asma binti
Umasi yang merupakan istri dari Ja’far bin Abi Thalib—yang ketika wafat-
dinikahi Abu Bakar, dan lalu kemudian dinikahi Ali bin Abi Thalib; dan Salman
bin Umais yang merupakan istri paman Nabi Muhammad, Hamzah bin Abdul Muthalib.
Dengan demikian, Sayyidah Maimunah memiliki jaringan memiliki hubungan
kekerabatan dengan suku-suku terpandang di jazirah Arab, mengingat para menantu
ibunya, Hindu bin Auf, adalah para pembesar di sukunya masing-masing.
Dengan menikahi Sayyidah Maimunah, siapa tahu para tokoh Makkah akan memeluk
Islam dan posisi Nabi semakin kuat karena menjalin kekeluargaan dengan
suku-suku terpandang di jazirah Arab. Dan betul saja, beberapa saat setelah
perkawinan itu, Khalid bin Walid, akhirnya memeluk Islam. Nantinya, Khalid ini
dikenal sebagai pahlawan Islam karena kecakapannya dalam menghancurkan
musuh-musuh Islam di medan perang.
Sayyidah Maimunah dikenal taat beragama, lembut namun tegas, dan bijaksana. Sayyidah Aisyah—istri Nabi yang lainnya- mengatakan bahwa Sayyidah Maimunah adalah wanita yang paling bertakwa dan selalu menjaga silaturahim di antara mereka.
Pada saat Nabi Muhammad sakit—sebelum wafat, beliau dirawat di rumah Sayyidah
Maimunah. Namun ketika sakit Nabi semakin parah, beliau akhirnya dipindahkan ke
kamar Sayyidah Aisyah yang ada di samping Masjid Nabawi, sesuai kesepakatan
semua istri Nabi. Sayyidah Maimunah rela akan hal itu.
Sayyidah Maimunah termasuk dari istri Nabi yang paling banyak meriwayatkan
hadits, selain Sayyidah Aisyah dan Sayyidah Ummu Salamah. Setidaknya, ada 94
hadits yang diriwayatkannya.
Sayyidah Maimunah begitu terkenang dengan Saraf, daerah dimana dia dan Nabi Muhammad melangsungkan ‘bulan madu’. Sampai-sampai sebelum wafat, Sayyidah Maimunah berpesan agar dimakamkan di sana. Sayyidah Maimunah termasuk istri Nabi yang dikaruniai umur panjang. Dia wafat pada tahun 51 Hijriyah—riwayat lain 60 atau 63 H, saat usianya 80 tahun, di masa pemerintahan Muawiyah. Dan yang memimpin shalat jenazahnya adalah Abdullah bin Abbas. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar