Jumat, 07 Oktober 2022

(Ngaji of the Day) Kesetiaan Nabi Muhammad kepada Sayyidah Khadijah

“Dia beriman kepadaku saat orang-orang mengingkariku, dia membenarkan aku selagi orang-orang mendustakan aku, dia mendukung aku dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberikan sesuatu kepadaku, dan Allah menganugerahiku anak darinya, berbeda dengan istri-istriku yang lain.” Kata Nabi Muhammad tentang sosok Sayyidah Khadijah, sebagaimana diriwiyatkan Ahmad dalam Musnad-nya.

 
Nabi Muhammad mengarungi bahtera rumah tangga bersama Sayyidah Khadijah binti Khuwailid selama 25 tahun, atau hingga Sayyidah Khadijah wafat. Dalam rentang waktu itu, Nabi Muhammad berumah tangga secara monogami. Tidak pernah menikah dengan wanita lainnya. Hanya dengan Sayyidah Khadijah saja. Sesuatu yang ‘langka’ terjadi mengingat pada zaman itu laki-laki ‘berlomba-lomba memperbanyak’ istri. 


Nabi Muhammad menikah ketika usianya 25 tahun, sementara Sayyidah Khadijah 40 tahun. Kehidupan rumah tangga mereka dipenuhi oleh sakinah karena baik Nabi Muhammad maupun Sayyidah Khadijah menerapkan mawaddah dan rahmah dalam kehidupan mereka. Sebagai seorang istri, Sayyidah Khadijah mampu menyesuaikan diri dengan irama kehidupan Nabi Muhammad: menyukai apa yang membuat Nabi senang dan menjauhi apa yang menjadikan Nabi jengkel, termasuk memuliakan kerabat dan tamu Nabi. 

 

Hal yang sama juga ditunjukkan Nabi Muhammad. Sebagai suami, beliau begitu mencintai istrinya tersebut, memuliakannya, dan menghormatinya. Termasuk juga mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga—yang menjadi tanggung jawabnya- dan mengasuh anak-anak Sayyidah Khadijah, hasil pernikahannya dengan suami sebelumnya. 


Sayyidah Khadijah sudah pernah menikah dua kali sebelum dipersunting Nabi. Pertama, dengan Atiq bin Abid dan memiliki seorang putra bernama Abdullah. Kedua, dengan Abu Halah (Hind) bin Zurarah dan memiliki tiga orang anak, yaitu Hind, al-Harits, dan Zainab. Setelah suami pertama meninggal, Sayyidah Khadijah baru menikah dengan suaminya yang kedua. Begitu pun ketika menikah dengan Nabi Muhammad.


Kesetiaan Nabi Muhammad kepada Sayyidah Khadijah melekat pada dirinya sepanjang hidup, bahkan ketika istri pertamanya tersebut sudah wafat dan beliau sudah tinggal di Madinah. Ada banyak riwayat mengenai hal ini, seperti diceritakan Ibrahim Muhammad Hasan al-Jamal dalam Khadijah (2014) dan M Quraish Shihab dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW (2018). Diriwayatkan Sayyidah Aisyah bahwa Nabi Muhammad hampir tidak pernah keluar rumah kecuali menyebut Nama Sayyidah Khadijah dan memujinya dengan pujian yang baik. Hingga suatu hari Sayyidah Aisyah cemburu dan berkata kepada Nabi: “Apa yang engkau ingat dari seorang wanita tua dari kelompok wanita-wanita tua suku Quraisy yang kedua bibirnya putih dan telah diwafatkan oleh masa. Allah pun telah menggantikan untukmu yang lebih baik darinya.”

 

Nabi Muhammad menahan amarah usai mendengar perkataan Sayyidah Aisyah itu. Kata Nabi, Allah tidak mengganti Sayyidah Khadijah untuknya dengan siapapun yang lebih baik darinya. Sayyidah Khadijah beriman ketika orang-orang menolaknya. Dia membenarkan Nabi ketika orang lainnya menilainya berbohong. Dia mendukung Nabi dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberinya sesuatu. Dan Allah memberi Nabi rezeki anak-anak darinya, sementara istri-istrinya yang lain tidak. 


Terkadang Nabi Muhammad juga menyembelih kambing dan memotongnya menjadi beberapa potongan. Nabi kemudian membagikan potongan-potongan tersebut sebagai sedekah bagi Sayyidah Khadijah. Nabi juga kadang memerintahkan untuk mengirimkan hadiah kepada teman-teman Sayyidah Khadijah. Alasan Nabi melakukan itu adalah karena beliau menyukai atau mengasihi kekasih Sayyidah Khadijah. 


Kesetiaan Nabi Muhammad kepada Sayyidah Khadijah juga tercermin dari bagaimana beliau memuliakan dan merasa antusias ketika didatangi saudara atau orang-orang yang pernah dengan dekat istri pertamanya itu. Suatu hari ada saudara perempuan Sayyidah Khadijah, Halah, datang ke Madinah. Halah sendiri memiliki suara yang mirip dengan Sayyidah Khadijah. Jadi ketika Halah sampai di halaman rumah Nabi, beliau langsung mengenalinya. Padahal beliau baru mendengar suara Halah saja dan belum melihat orangnya.

 

Pada kesempatan lain, Nabi Muhammad yang saat itu berada di rumah Sayyidah Aisyah dikunjungi seorang perempuan tua. Beliau menyambut dan memuliakan perempuan tua tersebut, bahkan sampai menggelar sorbannya untuk tempat duduk tamunya itu. Kejadian itu membuat Sayyidah Aisyiah penasaran; apa yang membuat Nabi sampai memuliakan perempuan itu. Kata Nabi, perempuan tua itu dulu pernah mengunjungi Sayyidah Khadijah.


Hal yang sama juga dilakukan Nabi kepada Ummu Zafar, orang yang dulu menyisir rambut Sayyidah Khadijah. Beliau memuliakannya ketika Ummu Zafar datang ke Madinah. Kata Nabi, ‘Perempuan ini dulu melayani kami di masa Khadijah, yaitu masa yang baik karena iman.’


Begitu pun ketika Fathu Makkah. Pada hari itu, Nabi Muhammad membuat kemah di satu lokasi dekat dengan bekas rumah Sayyidah Khadijah—karena rumah itu sendiri sudah tiada. Di saat pasukan umat Islam tengah sibuk, Nabi Muhammad menyendiri dan tengah berbincang-bincang dengan seorang perempuan tua. Sayyidah Aisyah yang melihat wajah Nabi berseri-seri ketika bercakap-cakap dengan wanita tua itu menjadi penasaran. Setelah ditanyakan sana-sini, maka diketahui kalau wanita tua itu adalah sahabat dekat Sayyidah Khadijah. Tema obrolan Nabi dan wanita tua itu seputar kenangan manis beliau dengan Sayyidah Khadijah.

 

Sikap Nabi Muhammad yang seperti itu tidak lepas dari kiprah dan peran Sayyidah Khadijah semasa hidupnya. Sayyidah Khadijah adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad. Dia juga orang pertama yang shalat bersama Nabi. Dia juga orang pertama yang menemani, mendukung, dan menolong Nabi Muhammad—baik dengan materi maupun imateriel- dalam mendakwahkan Islam. Atas hal itu semua, Nabi Muhammad begitu memuliakan dan bersikap setia kepada Sayyidah Khadijah. []

 

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar