“Dia beriman kepadaku saat orang-orang mengingkariku, dia membenarkan aku selagi orang-orang mendustakan aku, dia mendukung aku dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberikan sesuatu kepadaku, dan Allah menganugerahiku anak darinya, berbeda dengan istri-istriku yang lain.” Kata Nabi Muhammad tentang sosok Sayyidah Khadijah, sebagaimana diriwiyatkan Ahmad dalam Musnad-nya.
Nabi Muhammad mengarungi bahtera rumah tangga bersama Sayyidah Khadijah binti
Khuwailid selama 25 tahun, atau hingga Sayyidah Khadijah wafat. Dalam rentang
waktu itu, Nabi Muhammad berumah tangga secara monogami. Tidak pernah menikah
dengan wanita lainnya. Hanya dengan Sayyidah Khadijah saja. Sesuatu yang
‘langka’ terjadi mengingat pada zaman itu laki-laki ‘berlomba-lomba
memperbanyak’ istri.
Nabi Muhammad menikah ketika usianya 25 tahun, sementara Sayyidah Khadijah 40 tahun.
Kehidupan rumah tangga mereka dipenuhi oleh sakinah karena baik Nabi Muhammad
maupun Sayyidah Khadijah menerapkan mawaddah dan rahmah dalam kehidupan mereka.
Sebagai seorang istri, Sayyidah Khadijah mampu menyesuaikan diri dengan irama
kehidupan Nabi Muhammad: menyukai apa yang membuat Nabi senang dan menjauhi apa
yang menjadikan Nabi jengkel, termasuk memuliakan kerabat dan tamu Nabi.
Hal yang sama juga ditunjukkan Nabi Muhammad. Sebagai suami, beliau begitu mencintai istrinya tersebut, memuliakannya, dan menghormatinya. Termasuk juga mengerjakan segala pekerjaan rumah tangga—yang menjadi tanggung jawabnya- dan mengasuh anak-anak Sayyidah Khadijah, hasil pernikahannya dengan suami sebelumnya.
Sayyidah Khadijah sudah pernah menikah dua kali sebelum dipersunting Nabi.
Pertama, dengan Atiq bin Abid dan memiliki seorang putra bernama Abdullah.
Kedua, dengan Abu Halah (Hind) bin Zurarah dan memiliki tiga orang anak, yaitu
Hind, al-Harits, dan Zainab. Setelah suami pertama meninggal, Sayyidah Khadijah
baru menikah dengan suaminya yang kedua. Begitu pun ketika menikah dengan Nabi
Muhammad.
Kesetiaan Nabi Muhammad kepada Sayyidah Khadijah melekat pada dirinya sepanjang
hidup, bahkan ketika istri pertamanya tersebut sudah wafat dan beliau sudah
tinggal di Madinah. Ada banyak riwayat mengenai hal ini, seperti diceritakan
Ibrahim Muhammad Hasan al-Jamal dalam Khadijah (2014) dan M Quraish Shihab
dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW (2018). Diriwayatkan Sayyidah Aisyah
bahwa Nabi Muhammad hampir tidak pernah keluar rumah kecuali menyebut Nama
Sayyidah Khadijah dan memujinya dengan pujian yang baik. Hingga suatu hari
Sayyidah Aisyah cemburu dan berkata kepada Nabi: “Apa yang engkau ingat dari
seorang wanita tua dari kelompok wanita-wanita tua suku Quraisy yang kedua
bibirnya putih dan telah diwafatkan oleh masa. Allah pun telah menggantikan
untukmu yang lebih baik darinya.”
Nabi Muhammad menahan amarah usai mendengar perkataan Sayyidah Aisyah itu. Kata Nabi, Allah tidak mengganti Sayyidah Khadijah untuknya dengan siapapun yang lebih baik darinya. Sayyidah Khadijah beriman ketika orang-orang menolaknya. Dia membenarkan Nabi ketika orang lainnya menilainya berbohong. Dia mendukung Nabi dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberinya sesuatu. Dan Allah memberi Nabi rezeki anak-anak darinya, sementara istri-istrinya yang lain tidak.
Terkadang Nabi Muhammad juga menyembelih kambing dan memotongnya menjadi
beberapa potongan. Nabi kemudian membagikan potongan-potongan tersebut sebagai
sedekah bagi Sayyidah Khadijah. Nabi juga kadang memerintahkan untuk
mengirimkan hadiah kepada teman-teman Sayyidah Khadijah. Alasan Nabi melakukan
itu adalah karena beliau menyukai atau mengasihi kekasih Sayyidah
Khadijah.
Kesetiaan Nabi Muhammad kepada Sayyidah Khadijah juga tercermin dari bagaimana
beliau memuliakan dan merasa antusias ketika didatangi saudara atau orang-orang
yang pernah dengan dekat istri pertamanya itu. Suatu hari ada saudara perempuan
Sayyidah Khadijah, Halah, datang ke Madinah. Halah sendiri memiliki suara yang
mirip dengan Sayyidah Khadijah. Jadi ketika Halah sampai di halaman rumah Nabi,
beliau langsung mengenalinya. Padahal beliau baru mendengar suara Halah saja
dan belum melihat orangnya.
Pada kesempatan lain, Nabi Muhammad yang saat itu berada di rumah Sayyidah Aisyah dikunjungi seorang perempuan tua. Beliau menyambut dan memuliakan perempuan tua tersebut, bahkan sampai menggelar sorbannya untuk tempat duduk tamunya itu. Kejadian itu membuat Sayyidah Aisyiah penasaran; apa yang membuat Nabi sampai memuliakan perempuan itu. Kata Nabi, perempuan tua itu dulu pernah mengunjungi Sayyidah Khadijah.
Hal yang sama juga dilakukan Nabi kepada Ummu Zafar, orang yang dulu menyisir
rambut Sayyidah Khadijah. Beliau memuliakannya ketika Ummu Zafar datang ke
Madinah. Kata Nabi, ‘Perempuan ini dulu melayani kami di masa Khadijah, yaitu
masa yang baik karena iman.’
Begitu pun ketika Fathu Makkah. Pada hari itu, Nabi Muhammad membuat kemah di
satu lokasi dekat dengan bekas rumah Sayyidah Khadijah—karena rumah itu sendiri
sudah tiada. Di saat pasukan umat Islam tengah sibuk, Nabi Muhammad menyendiri
dan tengah berbincang-bincang dengan seorang perempuan tua. Sayyidah Aisyah
yang melihat wajah Nabi berseri-seri ketika bercakap-cakap dengan wanita tua
itu menjadi penasaran. Setelah ditanyakan sana-sini, maka diketahui kalau
wanita tua itu adalah sahabat dekat Sayyidah Khadijah. Tema obrolan Nabi dan
wanita tua itu seputar kenangan manis beliau dengan Sayyidah Khadijah.
Sikap Nabi Muhammad yang seperti itu tidak lepas dari kiprah dan peran Sayyidah Khadijah semasa hidupnya. Sayyidah Khadijah adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad. Dia juga orang pertama yang shalat bersama Nabi. Dia juga orang pertama yang menemani, mendukung, dan menolong Nabi Muhammad—baik dengan materi maupun imateriel- dalam mendakwahkan Islam. Atas hal itu semua, Nabi Muhammad begitu memuliakan dan bersikap setia kepada Sayyidah Khadijah. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar