Imbas Selalu Kritis ke Pemerintah
Oleh: Yusril Ihza Mahendra
PELAPORAN sekaligus penetapan musisi Ahmad Dhani sebagai tersangka
ujaran kebencian oleh Polres Metro Jakarta Selatan bukanlah hal yang
mengejutkan. Jika merujuk tren yang berkembang belakangan, sosok yang aktif
menyoroti kinerja dan kiprah blok politik pemerintah memang mengalaminya. Jadi,
bukan tidak mungkin, apa yang menimpa Dhani merupakan pesanan orang tertentu.
Apalagi, seperti diketahui, dia merupakan sosok yang dikenal vokal terhadap
pemerintah dan blok politiknya.
Namun, saya mengimbau, sebelum buru-buru menetapkan tersangka,
sebaiknya pihak kepolisian meninjau latar belakang Dhani. Sebab, dari situlah
aparat bisa melihat konteks dan substansi apa yang disampaikan.
Jika dilihat sekilas, cara Dhani berbahasa memang terkesan kasar
dan penuh kebencian. Namun, jika ditilik lebih jauh, dia sejatinya hanya
mengekspresikan pikirannya. Lantas kenapa caranya sedemikian keras, untuk
itulah aparat perlu mencari tahu.
Sebagai seorang seniman, cara mengekspresikan pikiran seorang
Ahmad Dhani memang bisa disebut begitulah adanya. Sama halnya dengan seniman
Emha Ainun Nadjib, misalnya, yang dalam mengekspresikan kegelisahannya kerap
mengeluarkan perkataan yang nyeleneh atau dalam beberapa kasus terkesan tidak
pantas.
Tapi, mungkin begitulah bahasa sebagian seniman. Senang
menggunakan bahasa yang satire. Sehingga tidak bisa juga aparat menggunakan
ukuran yang disamaratakan dengan bahasa orang biasa.
Saya secara pribadi juga meyakini bahwa Dhani bukanlah orang yang
benci kepada kubu pemerintah. Apalagi bermaksud menularkan virus kebenciannya
kepada khalayak ramai. Dia sebetulnya seniman yang kritis. Di balik ucapannya,
mungkin ada ketidaksesuaian kondisi yang dirasakannya.
Jika dicermati secara tepat, bukankah itu baik, bila ada orang
yang terus berupaya melakukan koreksi. Sebaliknya, Indonesia justru merugi jika
semua orangnya menganggap beres setiap persoalan. Tidak ada yang mengontrol.
Dari segi landasan hukum formal, yang dilakukan aparat kepada Dhani sebetulnya
tindakan yang memiliki dasar. Dalam hal ini diatur dalam pasal 28 ayat 2 jo
pasal 45 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE).
Hanya, dalam praktiknya, saya melihat penerapan norma terkait
ujaran kebencian dalam pasal itu juga relatif tidak berimbang. Situs seword.com, misalnya, sudah
beberapa kali dipersoalkan, tapi hingga kini penanganannya selalu mentok.
Mungkin karena kebencian tersebut diarahkan kepada lawan kubu pemerintah.
Tak bisa dimungkiri, saya dan mungkin sebagian masyarakat,
khususnya sebagian umat Islam, merasakan hal tersebut belakangan ini. Kenapa
kalau dari kelompok non pemerintah selalu jadi sasaran penindakan? Ini
pertanyaan, ada apa sih sebenarnya?
Karena itu, ada baiknya kondisi tersebut bisa dikoreksi. Saya
berharap hukum bisa ditegakkan secara adil dan berimbang. Kalaupun norma
terkait hate speech digunakan, gunakanlah secara setara, tanpa pandang bulu.
Agar semua sama rata sama rasa di mata hukum.
Jangan satu kelompok dilindungi dengan segala cara, tapi kelompok
lain dengan mudahnya ditindak. Padahal, kasus dan tuduhannya relatif sama. Jika
hukum dijadikan alat kekuasaan, ini sudah masuk pada arah kesewenang-wenangan.
[]
JAWA POS, 11 Desember 2017
Yusril Ihza Mahendra ; Ketua Umum Partai Bulan Bintang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar