Rabu, 20 Desember 2017

Kang Sobary: Butet Pasca-Lawak-melawak



Butet Pasca-Lawak-melawak
Oleh: Mohamad Sobary

Butet melawak dan Butet melukis itu dua hal yang berbeda. Ketika melawak, memainkan peran Sarimin, atau Sentilun, sang pembantu, dia dihargai sebagai pelawak.

Tidak ada salahnya pelawak. Ini sebuah profesi dan banyak orang yang ingin tetap  mempertahankan profesi ini. Melawak merupakan profesi mahal. Pertama, lawak ini mahal karena tugasnya memancing orang tertawa.  
  
Di masyarakat kota yang dinamis, yang orang-orangnya sibuk dan terbiasa hidup dengan ketegangan, membuat mereka kehilangan kesempatan tertawa lepas. Tertawa merupakan kekayaan manusia kota yang hilang.

Itu sebabnya kita cari. Orang datang ke Taman Ismail Marzuki (TIM) atau di pusat-pusat kesenian lain, hanya untuk tertawa. Pelawak merawat kesehatan jiwa warga kota.     

Kedua, pelawak itu mahal karena terutama untuk Butet melawak itu ‘ngrejeken’. Maksudnya mendatangkan rezeki. Dan tak jarang rezeki itu jumlahnya sangat besar. Tapi orang tak bisa memberi nilai Butet lebih dari nilai lawak tadi. Perkaranya jelas: orang sudah tahu profesi Butet hanya satu: melawak itu.

Tak bisa disangkal, sama-sama profesi, lawak dianggap kalah jauh dari ‘lawyer’  atau kon­sultan bisnis atau konsultan ‘management’. Tampilannya saja lain. Butet mengenakan seragam   Sentilun.  ‘Lawyer’ atau konsultan bisnis atau konsultan ‘management’  selalu berjas necis, dan menenteng tas mahal.
   
Mungkin akan berbeda kisahnya kalau seorang pejabat terkemuka, pandai, dikenal luas, yang masuk grup lawak dan sukses menjadi pelawak.  Penilaian orang akan tinggi sekali. Padahal kalau dilihat dari ‘lawak-melawaknya’, bisa saja masih agak jauh di bawah kualitas lawak Butet.     

Mungkin kita harus juga mencatat, Butet itu bukan pelawak dan selesai begitu saja. Dia juga aktor. Ke­turunan trah  seniman besar ini juga membawa keaktorannya dari rumah. Butet itu memiliki banyak identitas. Tapi ya itu tadi: lawaknya berhenti di lawak. Keaktorannya terkubur, tak dikenal, jarang disebut.  
 
Sebenarnya ini merugikan hidupnya. Tapi tak mengapa. Apa gunanya nama besar dalam dunia kaum aktor kalau maaf tak punya uang dan sulit mendatangkan uang? Butet lain. Dia agak pandai bergaul dengan sumber-sumber keuangan.

Dan dia pandai membuat hitungan-hitungan uang dan biaya ini dan itu secara luwes seperti pebisnis. Di tangan Butet, kelihatannya lawak-melawak itu ada hitungan bisnisnya.
        
Orang tidak tahu bahwa dia bisa melukis. Dulu dia membuat lukisan kaca. Di bidang ini, dia belum menunjukkan hasil. Lukisan kacanya jadi dan mirip lukisan orang lain, tapi tarikan garis dan blocking  warna dalam karya Butet belum menampakkan karakter.

Butet belum menyatu dengan objek yang dilukiskan di atas kaca tadi. Butet dan objeknya masih berjarak. Problem ini tak diatasi. Dia malah sibuk di bidang keaktoran tersebut dan jarak antara Butet dan objeknya  belum diatasi.

Butet belum sempat membikin dirinya dan objeknya manunggal. Sam­pai kemudian muncul karya barunya: lukisan keramik. Dia menyelenggarakan pameran tunggal di Galeri Nasional Jakarta.

Mungkin ini sebuah kejutan yang menghentak. Kita mene­mu­kan Butet yang lain, Butet yang bukan ‘cekakakan’ di atas panggung lawak. Tiba-tiba dia menampilkan karya  lukisnya dengan bahan keramik yang rentan. Kabarnya dia melukis di atas keramik itu pelan-pelan sekali. Dia membuat rencana yang tertata baik.
 
Tiga tahun lamanya dia melukis. Satu jadi, disimpan. Satu lagi jadi, disimpan lagi. Dan masa tiga tahun pun dilewati. Karyanya terkumpul. Mungkin harus dicatat di sini: ini karya soliter. Dia bekerja sendirian, dengan kreatif dan tekun dan tak berkolaborasi dengan siapa pun.

“Ini kerja reflektif” kata Butet di Galeri tersebut. Pe­lawak yang membikin orang tertawa ceka­kak­an  karena lawakannya yang jenaka, kini bicara ‘reflektif’. Tapi bukan karena itu maka karya-karyanya mengesankan secara mendalam, bahwa semua karya inilah yang memperlihatkan kaliber Butet yang sebenarnya.

Tiga tahun bekerja tekun, nyicil  satu demi satu, bukan lelucon, bukan dagelan yang membikin kita tertawa. Butet serius sekali.

Keramik dibakar dengan panas tertentu. Keliru ukuran panasnya, keramik retak atau terbelah menjadi dua. Tapi Butet tahu, barang yang sudah  retak itu tak boleh dibuang.

Keramik yang retak atau terbelah dua itu tetap dipakai seolah  retakkan itu dibuat demi gaya lukisannya. Yang retak itu di tangan Butet bukan menjadi masalah kecacatan, melainkan sebaliknya: keretakan membuat makin indahnya karya itu. Retak merupakan tanda eksentriknya sebagai seniman.

Daya tarik karya itu bukan makin berkurang, melainkan makin tinggi. Harganya? Semua karya Butet mahal. Beberapa sudah dibeli orang-orang berduit yang diundang saat pembukaan. Dan pameran tunggal dengan judul Goro-Goro itu memang sebuah goro-goro: pertanda bakal terjadinya perubahan alam dan zaman. Tapi pameran Butet pertanda kehidupan Butet berubah.

Kelihatannya semua karyanya membikin kita merenung jauh dan mendalam ke dunia artistik yang berkelas. Seolah kalau kita bicara dengan Butet harus ‘ngapurancang’, dengan tangan terlipat, hormat sekali dan penuh sopan santun.

Ini agak keliru. Karya seni yang membuat kita terpesona itu beberapa di antaranya—jumlahnya agak banyak memancing kita tertawa. Selebihnya  merupakan kritik satiris, lembut tapi menggoreskan luka.

Inilah  Butet yang lain,  bukan Butet yang kita kenal di panggung lawak itu. Dia menampilkan sisi dirinya yang dalam dan mungkin akan diikuti yang lebih dalam lagi. Tapi apa pun yang dibuatnya, kita tertawa atau senyum bukan karena unsur lawakannya, melainkan karena unsur renungannya yang jauh.

Ada seekor celeng, babi hutan, berseragam. Di ke­palanya ada satu pohon beringin. Maksudnya Golkar. Di bagian maaf pantatnya ada beberapa pohon Golkar itu.

Butet menyindir tajam, tapi halus. Silakan mencari sendiri arti simbolik di balik kritik itu. Goro-Goro  memberi kita tanda: ada yang berubah dalam hidup ini. Ada yang baru dalam hidup Butet.

Tapi ada yang tetap seperti dulu: karya Butet harus dibeli orang dengan duit yang jumlahnya banyak. Dalil bahwa barang baik di mana pun har­ga­nya mahal, berlaku di pameran Butet.

Jangan membeli karya seni dengan harga murah kalau tak ingin membikin murah har­ga kita sendiri. Dia kini mengajak kita merenung  lewat cara yang dalam, yang reflektif dan soliter. Sesudah menyaksikan pameran pun, kita terkenang beberapa karyanya dan kita tetap merenung tentang karya Butet yang harganya tinggi itu. []

KORAN SINDO, 12 Desember 2017
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar