Toleransi Rasulullah
dalam Peristiwa Fathul Makkah
Tahun 630 Masehi
merupakan tahun mencekam bagi kaum musyrikin Quraisy di Makkah. Perjanjian
Hudaibiyah yang mereka rusak dengan sendirinya mengakhiri kesepakatan genjatan
senjata dengan kaum Muslimin di Madinah. Kini sepuluh ribu pasukan dari Madinah
telah siap menyerbu Makkah.
Abu Sufyan, pemimpin
tertinggi musyrikin Quraisy, adalah orang yang paling diresahkan dengan kondisi
ini. Ia sadar kekuatan umat Islam berubah luar biasa dahsyat dibanding 10 tahun
lalu. Rencana memperbaiki pelanggaran berat atas perjanjian itu pernah ia
upayakan, tapi gagal.
Benar bahwa semua
orang kafir Quraisy dilanda ketakutan. Tapi Abu Sufyan pastilah orang yang
paling terpukul. Di kalangan masyarakat kota suci, dia adalah bangsawan
terhormat. Wibawanya menjulang tinggi. Sehari-hari ia dielu-elukan sebagai
tokoh yang gagah berani. Nah, di depan kekalahan peristiwa fathul makkah
(pembebasan Kota Makkah) serentetan nama besarnya musnah. Sekarang Abu Sufyan
tak hanya takut melainkan wajah mulianya juga serasa diinjak-injak.
Rupanya Rasulullah
peka dengan suasana batin Abu Sufyan. Pidato Rasulullah di hadapan penduduk
Makkah menyebut nama dedengkot pasukan musuh tersebut. “Barangsiapa masuk ke
dalam Masjidil Haram, dia akan dilindungi. Barangsiapa masuk ke dalam rumah Abu
Sufyan, dia akan dilindungi,” tegasnya.
Alangkah bahagianya
Abu Sufyan mendengar pengumuman ini. Tak tanggung-tanggung, Rasulullah seolah
menyejajarkan rumahnya dengan Masjidil Haram. Mungkin karena sebab inilah Abu
Sufyan tak lagi canggung memeluk Islam.
Sejak saat itu
satu-persatu keluarga Abu Sufyan pun mengikuti jejaknya menjadi muallaf. Bahkan
anaknya, Muawiyah bin Abu Sufyan, beberapa saat kemudian diangkat oleh Nabi
sebagai salah seorang pencatat wahyu. Tak ketinggalan, masyarakat Quraisy yang
dulu di bawah kekuasaan Abu Sufyan pun beramai-ramai menyatakan keislamannya.
Para sejarawan
mencatat, fathul makkah merupakan peristiwa monumental yang muncul dalam
sejarah umat Islam tentang etika peperangan. Kekuatan politik yang mapan sama
sekali tak menggerakkan hati Nabi untuk menjadikannya sebagai momen pelampiasan
dendam. Hasilnya, pertumpahan darah tak terjadi dan kejayaan umat Islam pun
semakin gemilang. []
(Mahbib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar