Khalifah Marwan II: Sang Keledai Penguasa Terakhir Umayyah
Oleh: Nadirsyah Hosen
Namanya Marwan bin Muhammad. Berkuasa hampir enam tahun. Dialah
Khalifah terakhir dari Dinasti Umayyah. Dijuluki dengan sebutan Himar atau
keledai–konon ini sebagai ungkapan sanjungan atas kesabarannya menghadapi
pemberontakan di masa pemerintahannya, seperti yang disampaikan Imam Suyuthi.
Di tangannyalah berakhir kekuasaan sebuah dinasti yang berkuasa
selama 89 tahun sejak Mu’awiyah bin Abu Sufyan menduduki kursi kekuasaan.
Bagaimana kisah khalifah terakhir Dinasti Umayyah ini? Simak yuk lanjutan
mengaji sejarah politik Islam.
Dia disebut dengan Marwan II (berkuasa pada tahun 694-750 Masehi),
untuk membedakannya dengan kakeknya, Khalifah bin Marwan bin Hakam, yang
berkuasa pada tahun 684-685 Masehi, dan sebelumnya pernah saya ulas di sini: Khalifah Marwan bin
Hakam dan Pohon Terkutuk dalam Qur’an.
Marwan II
semula adalah Gubernur Armenia. Dia tidak terima ketika Khalifah al-Walid II
dibunuh oleh pasukan Yazid III. Namun dia mengurungkan niat untuk menyerang
karena dibujuk dengan konsesi politik. Akan tetapi ketika Khalifah Yazid III
wafat, dan digantikan oleh Khalifah Ibrahim, pasukan Marwan II segera memasuki
ibu kota negara di Damaskus. Ibrahim takluk dan kemudian melarikan diri.
Kekuasaan menjadi kosong atau vakum.
Marwan II meminta pasukannya mengecek kondisi kedua anak al-Walid
II, yang bernama Hakam dan Utsman, di penjara. Mereka mendapati bahwa keduanya
telah dieksekusi. Lantas Marwan meminta jenazah keduanya dikeluarkan dari
penjara dan dikubur secara layak. Hakam dan Utsman sebelumnya merupakan calon
pengganti khalifah berdasarkan wasiat al-Walid II. Itu sebabnya Yazid III yang
mengambil alih kekuasaan dari al-Walid II juga menghabisi kedua anak yang masih
remaja itu.
Lantas siapa yang berkuasa di saat kevakuman kepemimpinan ini?
Imam Thabari menceritakan bahwa datanglah Abu Muhammad as-Sufyani dan menyapa
Marwan dengan sebutan Khalifah. Marwan terkejut dan bertanya mengapa dia disapa
dengan panggilan kehormatan sebagai khalifah.
Sufyani mengatakan bahwa sebelum Hakam bin al-Walid II wafat, yang
bersangkutan telah membuat syair yang isinya berpesan bahwa penerus tampuk
kepemimpinan adalah Marwan bin Muhammad. Saya cuplik bait awal dan akhir dari
puisi tersebut:
ألا
من مبلغ مروان عني … وعمي الغمر طال بذا حنينا
…..
فإن أهلك أنا وولي عهدي … فمروان أمير المؤمنين
فإن أهلك أنا وولي عهدي … فمروان أمير المؤمنين
Siapa yang akan memberitahu Marwan tentang aku
Dia pamanku, yang lama ku rindukan
….
Jika terjadi sesuatu padaku dan penerusku,
Jika terjadi sesuatu padaku dan penerusku,
Maka Marwan yang menjadi Amirul Mukminin.
Berdasarkan puisi wasiat yang dikisahkan oleh Sufyani itulah
orang-orang membai’at Marwan bin Muhammad sebagai khalifah yang sah penerus
takhta berikutnya. Keadaan yang genting saat itu membutuhkan legitimasi
kekuasaan yang cepat. Tidak sempat lagi diverifikasi kebenaran puisi wasiat
itu.
Perlu juga dicatat bahwa Abu Muhammad as-Sufyani ini nama aslinya
adalah Ziyad bin Abdullah bin Yazid bin Mu’awiyah. Dia keturunan langsung dari
pendiri Dinasti Umayyah, yaitu Mu’awiyah. Itu sebabnya ucapannya soal puisi
Hakam langsung dipercaya dan memberi legitimasi bagi kelangsungan Dinasti
Umayyah.
Sesaat setelah Marwan II menjadi khalifah, Imam Suyuthi bertutur
mengenai apa langkah pertama yang dilakukan Marwan II. Ternyata yang dilakukan
Marwan II cukup mengagetkan. Dia perintahkan agar kuburan Yazid III, yang sudah
meninggal dua bulan sebelumnya, dibongkar. Mayitnya dikeluarkan dan lantas
disalib di gerbang kota. Ini sebagai balas dendam karena Yazid III telah
memenggal kepala al-Walid II dan mengarak kepalanya ke tengah kota. Kekejian
akhirnya dibalas dengan kekejian, dan ini dilakukan atas nama jabatan khalifah.
Selama berkuasa, Marwan II berusaha keras menyatukan kembali
negara yang porak poranda ini. Namun pemberontakan demi pemberontakan
berlangsung terus menerus. Khawarij di Yaman semakin membesar kekuasaannya
sehingga berani terang-terangan naik haji ke tanah suci. Khawarij lantas
memberontak di Mosul, tapi berhasil dipatahkan Marwan II. Nama-nama pemimpin
Khawaij yang dikalahkan di antaranya Dahhak bin Qays dan Syaiban Abdul Azis.
Syi’ah juga semakin luas pengaruhnya. Namun pemberontakan Abdullah
bin Mu’awiyah, keturunan dari Ja’far bin Abi Thalib, berhasil dipatahkan Marwan
II. Begitu juga sejumlah daerah mulai memisahkan diri dari pusat kekuasaan di
Damaskus karena melhat ketimpangan pembangunan antara ibu kota dan daerah.
Penduduk Persia juga marah dengan cara Dinasti Umayyah menganak-emaskan
keturunan Arab, dan seolah menomorduakan penduduk non-Arab yang dikenal dengan
istilah mawali.
Mawali ini membayar pajak yang sama dengan ahlul kitab dan mereka
sulit menempati posisi penting di pemerintahan dan militer. Padahal mereka
jelas Muslim, tapi diperlakukan secara diskriminatif. Faktanya kekuasaan Islam
sudah meluas melampaui jazirah Arab dan lama kelamaan ketidakpuasaan ini
memuncak di akhir periode Dinasti Umayyah.
Jenderal
Sulaiman bin Hisyam, anak dari Khalifah Hisyam (berkuasa 723-743) yang berjasa turut menaklukkan Romawi-Byzantin, juga ikut
memberontak kepada Marwan II yang masih saudara misannya. Apa pasal? Jenderal
yang populer ini dulu dihukum cambuk dan dimasukkan penjara oleh Khalifah
al-Walid II yang khawatir akan popularitas sang jenderal.
Nah, pemerintahan Marwan II mengklaim sebagai kelanjutan al-Walid
II, maka Sulaiman pun menggerakkan pasukan yang masih setia kepadanya. Hanya
saja dia dan pasukannya kalah di daerah Kinnasrin, sehingga dia melarikan diri
ke India dan wafat di sana.
Dalam situasi yang karut marut itu, Marwan memilih menjalankan
pemerintahan dari Harran, di Mesopotamia, bukan dari Ibu Kota Damaskus. Untuk
pertama kalinya pemerintahan Dinasti Umayyah dikomandoi dari luar ibu kota.
Marwan yang memang sebelumnya berkuasa di Mesopotamia merasa lebih aman dan
dikelilingi pengikut setianya dalam menjalankan strategi melawan para
pemberontak.
Pada titik ini, Marwan II mengangkat kedua anaknya sebagai satu
paket penerus kekhilafahannya. Namun, sejarah berkata lain. Bukan anaknya yang
menggantikan Marwan II kelak.
Yang paling mengkhawatirkan untuk Marwan II adalah pemberontakan
yang dilakukan oleh kelompok Abbasiyah. Kelompok ini dipimpin oleh Abul Abbas
bin Abdullah as-Saffah. Pemberontakan dimulai dari Khurasan. Dipimpin oleh Abu
Muslim, jenderal pengikut setia Abul Abbas. Penduduk Khurasan mulai membai’at
Abul Abbas sebagai khalifah. Kubu Abbasiyah ini mengambil legitimasi dari jalur
keluarga Nabi Muhammad, yaitu keturunan Abbas, paman beliau SAW. Keluarga Nabi
yang pada masa Dinasti Umayyah tersingkirkan menemukan momentum untuk masuk ke
kekuasaan.
Dalam pertempuran di dearah Zab, pasukan Marwan II bertemu dengan
pasukan gabungan dari Abbasiyah, Syi’ah, dan penduduk Persia, yang dipimpin
oleh Abdullah bin ‘Ali (paman dari Abul Abbas). Marwan II berhasil dikalahkan.
Marwan sempat melarikan diri ke Syira dan kemudian kabarnya ke Mesir. Pasukan
Abbasiyah di bawah kontrol Shaleh, saudara Abdullah bin Ali, kemudian berhasil
menemukan Marwan II dan membunuhnya.
Imam Thabari mencatat ada yang mengatakan Marwan II wafat saat
berusia 58, atau 62 atau 69 tahun. Beliau wafat pada 6 Agustus 750. Kepalanya
dipenggal dan dibawa ke hadapan Abdullah bin Ali dan Abul Abbas, nama yang
terakhir ini kemudian dibai’at sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah.
Diceritakan oleh Imam Suyuthi bahwa penjaga lalai menjaga kepala
Marwan II, yang sudah terpisah dari tubuhnya. Tiba-tiba ada kucing masuk dan
kemudian menggigit dan memakan lidah dari kepala Marwan II. Abdullah bin Ali
kemudian mengomentari peristiwa ini: “sebuah keanehan besar di dunia ini lidah
Marwan ada dalam perut kucing!”
Keanehan tidak berhenti sampai di sana. Tumbangnya Dinasti Umayyah
diikuti dengan pembunuhan besar-besaran oleh Abbasiyah. Politik balas dendam
dimulai. 300 lebih keluarga Umayyah dieksekusi, nyaris tak tersisa. Pertumpahan
darah juga terjadi di kalangan penduduk Damaskus yang selama ini menyokong
Dinasti Umayyah. Pasukan Abbasiyah membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang.
Masjid jami’ milik Bani Umayyah mereka jadikan kandang kuda-kuda
mereka selama tujuhpuluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah
serta Bani Umayyah lainnya. Dan ketika mendapati jasad mantan Khalifah Hisyam
bin Abdul Malik (yang wafat 7 tahun sebelumnya) ternyata masih utuh, mereka
lalu menderanya dengan cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang
banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya.
Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah dan
menghamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih
menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan. Mereka
juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan
menggantungkan jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka
di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing.
Begitulah kekejian dibalas dengan kekejian, seperti yang
diceritakan ulang oleh Abul A’la al-Maududi dalam kitabnya, al-Khilafah wa
al-Mulk.
Kita perlu menarik nafas panjang membaca daftar tragedi ini.
Sejarah bagaikan cermin. Ada kisah baik dan ada pula kisah buruk. Semoga kita
bisa mengambil hikmahnya.
Tumbangnya Dinasti Umayyah membuat sejarah politik Islam memasuki
babak baru dengan aktor politik baru. Insya Allah kita akan lanjutkan membahas
para khalifah dari Dinasti Abbasiyah, yang berkuasa selama paling tidak lima
abad berikutnya (750-1258) dan berisikan 39 Khalifah, sampai kelak tumbang oleh
pasukan Mongol di Baghdad. []
GEOTIMES, 15 September 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar