Politisasi Hukum, bukan Politik Hukum
Oleh: Mohammad Mahfud MD
DENGAN mencatat berbagai persoalan hukum yang terjadi pada 2017,
problem kita dalam berhukum pada 2018 masih akan banyak diwarnai transaksi,
baik transaksi uang maupun transaksi politik. Kehidupan berhukum kita banyak
diintervensi politik dan penyuapan uang, hal yang sulit dibuktikan secara
yuridis-prosedural, tetapi terasa dan tercium kebusukannya oleh akal sehat
publik (public commonsense). Problem ini merupakan kelanjutan belaka dari
problem-problem tahun-tahun sebelumnya yang hingga kini masih sulit diatasi.
Berhukum, secara sederhana, adalah membuat aturan hukum dan
melaksanakan aturan-aturan hukum dalam upaya mencapai tujuan negara. Baik dalam
membuat maupun dalam melaksanakan aturan hukum selama 2017 kita masih mencium
aroma permainan politik dan permainan uang untuk mencari menang, bukan untuk
menemukan yang benar.
'Uang' dan 'jabatan' selalu menjadi kata kunci utama dalam
berhukum di negara kita selama beberapa tahun terakhir ini. Hiruk pikuk atau,
meminjam istilah Presiden Jokowi, kegaduhan dalam berhukum, disebabkan merebak
busuknya permainan uang dan politisasi hukum.
Gambarannya bisa ditonton secara telanjang dalam aksi hukum dan
reaksi politik atas langkah-langkah yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dalam upaya menegakkan hukum di bidang tindak pidana korupsi. Sepanjang
tahun ini negara kita gaduh karena KPK banyak melakukan operasi tangkap tangan
(OTT) dan menangani korupsi berskala besar. Oleh kelompok-kelompok tertentu,
langkah KPK selalu dipersalahkan.
Jika melakukan OTT dengan uang sitaan di lapangan hanya berjumlah
ratusan atau puluhan juta rupiah, KPK dituding hanya bisa melakukan penindakan
terhadap kasus-kasus kelas teri. Namun, jika menangani kasus-kasus besar yang
korupsinya bernilai ratusan miliar bahkan triliunan rupiah, KPK dikeroyok
beramai-ramai dengan berbagai cara.
Pokoknya, oleh para koruptor dan tangan-tangannya, KPK selalu disudutkan
pada posisi yang disalahkan. Padahal, jika KPK melakukan OTT dan menyita uang
hanya Rp100 juta atau kurang dari itu, tentu tidak bisa serta-merta dikatakan
korupsinya hanya sebesar uang yang disita itu. Dari OTT itu, bisa diungkap
korupsi yang besarnya puluhan bahkan ratusan miliar.
Contohnya, ada pejabat yang terkena OTT dengan uang sitaan Rp100
juta, tetapi ternyata uang itu hanya uang muka dari rencana korupsi yang
besarnya puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Pejabat yang bersangkutan berjanji
memuluskan izin impor sembako tertentu dengan imbalan Rp2.000 per kilogram.
Apakah korupsinya hanya sebesar uang yang disita sebesar Rp100 juta? Tentu
tidak. Hitunglah berapa besarnya, jika izin impor itu diberikan untuk 10 ribu
ton sembako yang dijanjikan. Kalikan saja 10 ribu ton dengan Rp2.000, yang
harus diberikan kepada pejabat yang bersangkutan untuk setiap kilogram.
Contoh lain, ketika ada bupati ditangkap tangan oleh KPK dengan
uang sitaan Rp50 juta, tiba-tiba orang-orang atau kelompok yang tidak suka
terhadap KPK menuding KPK hanya berani menangani korupsi yang puluhan juta
rupiah, bukan yang miliaran rupiah, pastinya tudingan yang demikian ngawur dan
asal omong. Bukti Rp50 juta itu hanyalah pintu masuk dari sebuah korupsi
menahun yang berjumlah puluhan bahkan bisa ratusan miliar rupiah.
Mengapa? Karena sang bupati melakukan korupsi sudah berbilang
tahun dan akan terus bertahun-tahun, sedangkan yang Rp50 juta hanyalah secuil
bukti yang akan membuka dan menghentikan korupsi berkelanjutan itu. Di dalam
bukti-bukti awal yang sudah diberitakan pers, bupati tersebut melakukan
pungutan sekitar Rp100 juta untuk setiap calon pegawai negeri sipil, juga
meminta jatah dalam persentase tertentu dari anggaran tahunan untuk dinas-dinas
dengan ancaman sang kepala dinas akan dicopot jika tidak kooperatif dan tidak
bisa mengamankan keinginan sang bupati.
Coba bayangkan, betapa besarnya korupsi yang sudah dilakukan
bupati dan berapa besar korupsi yang bisa terjadi jika sang bupati tidak
ditangkap tangan oleh KPK dengan bukti awal yang hanya Rp50 juta itu. Itulah,
kalau melakukan OTT dengan bukti awal yang kecil (padahal di baliknya ada
korupsi yang sangat besar), KPK dituding menindak korupsi kelas teri, tetapi
jika menangani korupsi besar seperti kasus KTP-E, dituding mengada-ada dan
mencari-cari.
Padahal, korupsi KTP-E sudah nyata ada, sudah ada yang divonis,
sudah ada yang mengembalikan uang, kartu KTP-E tidak cukup tersedia,
kontraktornya masih menagih lagi ke Kemendagri. Padahal, Kemendagri sudah
membayar lunas sesuai dengan kontrak yang kemudian telah masuk di APBN.
Independensi hakim
Isu lain yang juga mengemuka pada 2017 ialah persoalan
independensi hakim dalam memutus perkara. Ditengarai, sekurang-kurangnya oleh
media massa dan civil society organizations, ada hakim-hakim yang menyiapkan
dan membuat putusan berdasarkan transaksi dan tukar-menukar kepentingan. Jadi,
vonis sebuah perkara bisa ditukar dengan uang atau dengan promosi atau posisi
dalam karier dan jabatan.
Namanya juga ditengarai, meskipun itu sudah diyakini, kita tak
perlu menyebut nama orang dan kasusnya agar tidak berkembang menjadi liar.
Pokoknya, itu sudah merupakan gejala pelanggaran etika berat yang merusak masa
depan Indonesia.
Jika vonis hakim sudah diperjualbelikan, hancurlah masa depan
Indonesia, terkutuklah pelakunya. Penjahat moral hukum yang demikian, meski
lolos dari formalitas prosedural hukum, pelakunya akan mendapatkan sanksi
otonom. Tuhanlah yang akan turun tangan seperti terhadap yang sudah-sudah.
Hanya doa dan harapan seperti yang bisa rakyat lakukan sebagai
pihak yang tak berdaya. Harus diingat, gambaran buruk di atas menunjukkan
terjadinya politisasi hukum dan bukan politik hukum. Meskipun dari satu sudut
hukum bisa dilihat sebagai produk politik, hambatan terhadap KPK dan gejala
jual beli vonis dengan uang maupun jabatan ialah politisasi hukum, bukan
politik hukum.
Politik hukum adalah kebijakan pembuatan hukum yang menjadikan
hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, sedangkan politisasi hukum
adalah pembuatan atau langkah-langkah hukum melalui rekayasa dan kolusi
tertentu yang menjadi hukum sebagai alat untuk meraih kepentingan pribadi.
Tampaknya pada 2018 kita masih harus menghadapi problem politisasi hukum yang
merusak wajah politik hukum kita. []
MEDIA INDONESIA, 11 Desember 2017
Mohammad Mahfud MD | Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata
Negara.Ketua Mahkamah Konstitusi 2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar