Selasa, 19 Desember 2017

BamSoet: Dilema DPR di Tahun Politik



Dilema DPR di Tahun Politik
Oleh: Bambang Soesatyo

TAHUN 2018 yang sarat dengan kegiatan politik akan menjadi periode sangat dilematis bagi politisi di DPR. Mereka harus menetap­kan prioritas pilihan; menyelesai­kan tumpukan kerja di DPR atau memenuhi panggilan tu­gas partai memenangkan pil­kada dan konsolidasi menuju tahun politik 2019? 

Manuver semua partai politik (parpol) untuk  meraih keme­nang­an pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 yang se­ren­tak itu praktis meng­hadir­kan konsekuensi logis bagi semua anggota DPR. Sebagai kader andalan, se­bagi­an besar anggota DPR—juga ang­gota DPRD—harus me­nang­gapi panggilan tugas dari partainya untuk kerja pe­me­nangan. Mereka harus se­ring terjun ke daerah pemili­han untuk berkonsolidasi dengan tim pemenangan.     

Seperti diketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan tanggal pencoblo­s­an Pilkada Serentak 2018 pada 27 Juni 2018 di 171 daerah pemilihan. Pilkada Serentak 2018 akan diseleng­gara­kan di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Sebagian besar anggota DPR harus membagi konsentrasi mereka ke daerah-daerah pemilihan itu.   

Itulah dilema yang akan di­hadapi DPR pada paruh per­tama 2018. Bahkan, bisa di­pasti­­­kan bahwa dilema itu akan ber­lanjut sepanjang paruh kedua tahun mendatang sebab se­lepas Pil­kada 2018 baik parpol maupun anggota DPR/DPRD akan melanjutkan konsolidasi me­nyong­­song tahun politik 2019 untuk agenda pemilihan ang­gota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Semua par­pol dan politisi di se­mua daerah akan sangat sibuk untuk kerja pemenangan.  

Tentu saja, kesibukan se­bagi­an besar anggota DPR yang demikian padat itu akan meng­hadirkan pertanyaan tentang kerja dan penyelesaian tugas-tugas mereka di DPR. Seperti tahun-tahun terdahulu, dalam situasi seperti itu publik dan para pemerhati khususnya akan menyorot dan menyoal kinerja DPR. Kemungkinan seperti inilah yang perlu diantisi­pasi oleh pimpinan DPR. Artinya, dalam konteks memaksimalkan kinerja, 2018 benar-benar menjadi tahun per­taruhan bagi DPR.

Patut di­garisbawahi oleh pimpinan DPR bahwa publik sudah me­nyuara­kan pesimisme atas ki­nerja DPR. Apalagi, setelah DPR berkete­tap­an untuk menyederhana­kan target prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018-2019 karena alasan tahun politik tadi. Dalam dua tahun ke depan, DPR tidak fokus pada kuantitas UU, me­lain­kan kua­litas. DPR akan memilah-milah RUU apa saja yang harus diselesai­kan dalam rentang waktu dua tahun itu. Dengan kata lain, tidak semua RUU yang sudah masuk Proleg­nas prio­ritas periode 2017-2018 akan diselesaikan.   

Akibat itu, ketika sidang pari­purna DPR pada pekan ke­tiga Oktober 2017 juga menge­sah­kan anggaran pem­bangun­an gedung baru DPR sebesar Rp601 miliar, DPR lagi-lagi men­­jadi sasaran kecaman pu­blik. Ber­bagai kalangan mem­ban­ding­kan rencana gedung baru DPR itu dengan catatan kinerja DPR dalam beberapa tahun ter­akhir yang nyata-nyata jauh dari me­muaskan.   

­Satu di antara faktor yang sering digunakan publik untuk menilai kinerja DPR ada­lah melihat progres pe­nye­lesaian Prolegnas. Faktor lain yang juga sering diper­soal­kan adalah rendahnya tingkat ke­hadiran anggota DPR pada rapat-rapat Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dan rapat pari­purna. Pada masa persidangan pertama 2016-2017 misalnya tingkat ke­hadir­an hanya 41,7%. Masalah ini pernah dibahas oleh pim­pin­an DPR bersama pim­pinan fraksi-fraksi, Mahkamah Kehor­matan Dewan (MKD), dan Badan Ke­ahlian DPR.

Idealnya, saat peng­ambilan keputusan, apalagi untuk isu-isu yang sangat stra­tegis, semua anggota Dewan idealnya hadir di forum rapat paripurna. Kinerja yang masih jauh dari bagus ditambah minim partisi­pasi atau kehadiran anggota Dewan pada rapat paripurna dan rapat AKD otomatis mem­bentuk persepsi atau citra yang negatif. DPR dipersepsikan se­ba­gai institusi yang malas. Kare­na malas, tidak meng­heran­kan jika DPR menjadi tidak produktif.  

Produktivitas dan Citra   

Untuk 2018, pimpinan DPR mau tak mau harus fokus pada upaya memaksimalkan kinerja. Memang tidak mudah karena faktor tahun politik tadi. Tetapi, jika pimpinan DPR bisa menge­lola dan memastikan semua AKD tetap bekerja sesuai jadwal,  sejumlah pekerjaan bisa di­sele­sai­kan. Jika DPR bisa men­­jaga dan memacu produktivitas, per­sepsi publik lambat laun akan membaik. Memper­baiki citra DPR tidak bisa de­ngan cara-cara instan. Citra ha­rus di­perbaiki dengan menun­juk­kan hasil kerja nyata. 

Kerja nyata DPR sejatinya sangat ditentukan oleh terjaga­nya konsistensi fungsi semua AKD seperti Badan Musya­warah, Komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, Mahkamah Kehor­mat­an Dewan, Badan Urusan Rumah Tangga, Panitia Khusus, dan alat kelengkapan lain. Bagai­mana agar semua AKD itu berfungsi efektif pada tahun politik tentu saja sangat ber­gan­tung pada kearifan dan ke­pia­waian pimpinan DPR. Karena itu, pimpinan DPR ti­dak boleh terperangkap dalam suasana dilematis akibat tahun politik itu.

Pimpinan DPR bah­kan harus berani merumuskan atau membarui prioritas target yang lebih realistis misalnya dalam pembahasan dan penye­lesaian Prolegnas prioritas. Ada 46 rancangan undang-undang (RUU) masuk daftar Prolegnas 2017. Dari jumlah itu, masih banyak RUU yang belum dibahas. Terdesak oleh waktu yang semakin sempit, pimpinan Dewan kemudian menurunkan target prioritas Prolegnas 2018-2019. Fokus­nya bukan jumlah pembahasan dan penyelesaian RUU, me­lain­­kan kualitas berdasarkan ke­butuhan. 

Tetapi, mengingat waktu untuk pembahasan sangat ter­batas serta padatnya kegiatan politik banyak anggota DPR, jumlah RUU yang diprioritas­kan hendaknya lebih realistis lagi. Pemilahan RUU yang di­prioritaskan untuk periode 2018-2019 hendaknya segera dituntaskan untuk kemudian dikoordinasikan dengan pe­me­­rintah sehingga bisa dise­pakati jadwal pembahasannya. Se­telah disepakati, segera dipublikasikan sebagai infor­masi ke­pada publik.  

Agar target Prolegnas yang minimal itu bisa dicapai, pe­na­hap­a­n serta tata cara pemba­has­an RUU hendaknya di­per­baiki agar waktu yang tersisa bisa di­manfaatkan dengan efek­tif. Misalnya dalam pem­bahasan RUU, anggota DPR jangan lagi terperangkap pada debat ihwal yang  tidak prin­sipiil atau ma­salah teknis. Ang­gota Dewan harus fokus pada persoalan-per­soalan prin­sipiil dan stra­tegis. Masalah-masalah teknis seperti pilihan kata-kata, ter­masuk penyu­sun­an draf pasal-pasal, bisa di­s­erahkan pada Badan Keahlian DPR.  

Untuk memastikan terjaga­nya partisipasi anggota dalam pembahasan RUU, pimpinan DPR perlu mengingatkan para ketua fraksi untuk menyesuai­kan jadwal kegiatan setiap ang­gota fraksi di luar DPR dengan kewajiban mereka membahas RUU. Semua fraksi harus di­gugah untuk berbagi tanggung jawab dalam upaya pimpinan Dewan memperbaiki citra DPR. Perbaikan kinerja DPR juga menjadi tanggung jawab semua fraksi, bukan hanya pimpinan Dewan.  

Kinerja DPR yang mumpuni akan memperbaiki citra DPR. Artinya, antara kinerja yang baik dengan perbaikan citra me­rupakan satu paket pekerjaan yang tidak bisa dipisahkan. Kerja nyata akan memberi gam­baran tentang DPR yang pro­duktif, dan dari situ citra atau persepsi publik tentang DPR lambat laun akan membaik. 

Masih berkaitan dengan perbaikan citra DPR, pimpinan Dewan perlu mengambil inisiatif tentang perbaikan komunikasi dengan publik. Ini semacam pe­kerjaan tambahan bagi pim­pin­an Dewan pada tahun politik 2018 dan 2019. Satu di antara­nya meluruskan persepsi publik tentang cara mengukur atau menghitung kinerja DPR. Pe­lurusan per­sepsi sangat diper­lu­kan ka­rena publik sering me­nyamakan atau menyeragam­kan cara mengukur kinerja DPR dengan cara publik meng­ukur dan menghitung kinerja pemerintah.  

Kalau penyeragaman cara mengukur kinerja DPR dan pemerintah itu terus dibiar­kan, publik akan selalu ter­jebak karena sesat pikir. Se­jati­nya, di DPR tidak ada pro­yek dan karenanya tidak ada anggaran proyek. Yang ada hanyalah anggaran untuk gaji anggota dan staf serta anggar­an untuk membiayai kegiatan anggota DPR. Kerja anggota DPR adalah berpikir, me­n­awar­kan gagasan atau inisiatif dalam rapat-rapat AKD atau rapat paripurna, membahas RUU, berbicara atau menyua­ra­kan aspirasi konsti­tuen, dan menyatakan sikap se­tuju atau tidak setuju.

Ketidak­hadiran anggota DPR dalam rapat-rapat AKD atau pari­purna ti­dak selalu berarti yang ber­sang­kutan malas atau bolos. Ketidakhadiran itu bisa juga diterjemahkan sebagai per­nyata­an sikap tidak setuju. Inilah yang semestinya men­jadi acuan publik dalam menilai kinerja DPR. Pim­pin­an Dewan hen­d­aknya segera mengambil inisiatif pelurusan itu agar ke­mu­dian hari pe­nilai­an terhadap kinerja DPR lebih proporsional. []

KORAN SINDO, 11 Desember 2017
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar