Selasa, 26 Desember 2017

Nasaruddin Umar: Antara Kekuatan Bahasa Politik dan Bahasa Agama



Antara Kekuatan Bahasa Politik dan Bahasa Agama
Oleh: Nasaruddin Umar

PERGANTIAN tahun baru sebentar lagi. Sejumlah isu hangat yang terjadi di pada 2017 diprediksi masih akan berlanjut. Isu itu di antaranya tarik-menarik antara kekuatan bahasa politik dan bahasa agama. Isu itu diprediksi akan semakin meningkat pada 2018 seiring dengan terjadinya pilkada serentak tahun depan.

Bahasa politik lebih sering digunakan kelompok politikus nonagama, termasuk pemerintah, sedangkan bahasa agama lebih sering digunakan kelompok politikus agama ditambah dengan sejumlah aktivis ormas. Para politikus yang berbasis keagamaan sering kali menggunakan bahasa agama bukan hanya sebagai motivasi, melainkan juga untuk menyerang lawan-lawan politik mereka yang mengusung isu yang dianggap sekuler.

Namun, kelompok politikus sekuler juga sering menggunakan dalil-dalil agama di dalam melegitimasi gagasan dan program mereka sehingga sering terjadi ‘perang dalil’ satu sama lain. Sebaliknya, politisi keagamaan tidak kalah mahir juga menggunakan dasar-dasar hukum positif sebagaimana sering didengungkan lawan-lawan politik mereka.

Semakin dekat pemilu semakin kuat pertarungan antara bahasa politik dan bahasa agama. Para tokoh agama seperti para ulama berikut institusi keagamaan seperti pondok pesantren dan ormas-ormas Islam akan semakin ramai didekati politisi dan pejabat pemerintah.

Tujuan mereka, selain untuk mengamankan kepentingan, juga untuk memperoleh dukungan dari pengaruh para elite agama di dalam masyarakat. Selain pondok pesantren, ormas-ormas Islam dan kampus-kampus perguruan tinggi akan semakin banyak dikunjungi politisi dengan tujuan yang sama, yaitu untuk memperoleh dukungan aktif dari mereka untuk memenangi pertarungan politik yang sudah mulai memanas.

Seiring dengan semakin memanasnya suhu politik, masyarakat juga semakin bertambah pintar dan dewasa di dalam menyikapi berbagai ajakan dan provokasi. Masyarakat sering kali menerima semua pihak yang berkepentingan agar pada saatnya juga bisa memperoleh manfaat dari kelompok siapa pun yang tampil sebagai pemenang.

Para tokoh agama dan adat sering menunjukkan sikap netral dalam upaya menjadikan diri mereka sebagai ‘gula’. Di mana ada gula di situ pasti akan dikerumuni semut. Tidak mengherankan bila menjelang pemilihan, banyak bangunan baru berdiri di lingkungan pondok-pondok pesantren, bantuan dari para pihak yang memerebutkan pengaruh.

Para tim sukses jauh-jauh hari sudah mulai aktif mengidentifikasi sasaran-sasaran yang efektif bisa memberikan pengaruh positif kelompok mereka. Menjelang hari H, biasanya sudah terbentuk jurkam-jurkam yang terlatih. Setiap jurkam memperlihatkan kebolehannya di dalam memikat massa pendukung yang akan mendukungnya di dalam pemilihan anggota legislatif.

Berbagai model dan cara dilakukan para kandidat. Banyak calon berusaha memancing emosi umat dengan menggunakan bahasa agama, baik bahasa lisan, tulisan, maupun bahasa tubuh. Ayat-ayat dalam kitab suci digunakan untuk mendukung diri dan partai mereka. Seolah-olah para caleg tiba-tiba menjadi fasih di dalam melantunkan ayat-ayat kitab suci meskipun sebelumnya mereka jarang terdengar menggunakan bahasa agama di dalam keseharian. Bukan hanya mahir menggunakan bahasa agama, melainkan juga dengan lincah menggunakan atribut-atribut keagamaan meskipun masyarakat tahu sebagian di antara mereka setelah terpilih bagaikan ‘lupa kacang akan kulitnya’.

Bahasa tulisan juga semakin canggih di dalam memilih dan mengutarakan ayat dan hadis. Banyak artikel muncul di dalam media-media publik termasuk media sosial dengan terampil memaknai sejumlah ayat atau hadis sebagai kekuatan untuk memengaruhi publik. Demikian pula dalam bahasa tubuh, banyak caleg tiba-tiba dengan terampil menggunakan peci atau surban seolah mereka ingin menyaingi para habib. Padahal, apa yang dilakukan tidak lain hanya untuk menyosialisasikan diri dengan komunitas agama yang ditarget sebagai calon konstituen.

Perang dalil

Jika politik aliran semakin menguat, di situlah awal terjadinya perang dalil-dalil agama karena setiap kelompok sudah memiliki tokoh pendamping yang mumpuni. Ketika Ibu Megawati di dalam pemilihan umum periode lalu dicekal sejumlah lawan politiknya yang memanfaatkan kaum agamawan untuk mengatakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, hal itu ternyata sangat efektif merepotkan Ibu Megawati.

Untung saja ada kelompok yang lebih netral memberikan klarifikasi bahwa ayat yang mengatakan, ‘Laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan…’, adalah ayat yang berhubungan dengan urusan rumah tangga, bukan ayat yang berhubungan dengan dunia publik. Demikian pula hadis yang mengatakan, ‘Barangsiapa yang memberikan kekuasaan kepemimpinan pada diri seorang perempuan maka tunggulah kehancurannya’, adalah sebuah hadis yang berlaku secara khusus, yaitu reaksi spontanitas Nabi menanggapi diangkatnya Raja Kisru (Persia) sebagai pemimpin pengganti ayahnya yang wafat.

Pengerahan partisipasi massa dengan menggunakan bahasa agama juga sangat efektif. Belum tentu pemerintah mampu mengerahkan partisipasi masyarakat ke dalam sebuah pertemuan akbar, sungguhpun disediakan kendaraan. Namun, jika yang mengundang adalah pemimpin spiritual, massa akan berjubel datang walaupun dengan biaya sendiri. Banyak pengalaman di berbagai tempat membuktikan hal ini. Wajar jika saat-saat seperti sekarang ini pemimpin spiritual sedang jual mahal karena memang taruhannya juga tidak kecil. Jika pemimpin spiritual terlalu jauh turun ke gelanggang politik praktis, serta-merta ummatnya akan meninggalkannya.

Dalam dunia birokrasi, bahasa agama sebaiknya lebih banyak dilibatkan untuk mendukung rencana pembangunan untuk kemaslahatan umat dan bangsa, yang biasanya dilakukan pemerintah yang terpilih. Pengalaman menunjukkan, sebagus apa pun sebuah program pemerintah tanpa didukung para pemimpin agama, akan terancam krisis partisipasi masyarakat.

Masih ingat kita ketika program Keluarga Berencana (KB) pada 1970-an semula mengalami krisis partisipasi masyarakat karena sama sekali tidak melibatkan para ulama dan pemimpin agama. Sebagian di antara mereka mengharamkan KB. Akan tetapi, pemerintah mengubah strategi, mendahulukan pemuka agama dalam kampanye program KB, maka hasilnya luar biasa, kita berkali-kali mendapatkan International Award dari PBB terhadap keberhasilan KB di Indonesia
.
Desakralisasi ajaran agama

Kekhawatiran yang muncul ialah terjadinya desakralisasi ajaran agama karena agama menjadi tumpangan bagi berbagai kepentingan di luar agama itu sendiri. Upaya untuk melakukan desakralisasi ajaran agama dilatarbelakangi beberapa faktor. Ada desakralisasi ajaran karena kepentingan politik seperti penafsian simbol-simbol agama untuk melindungi calon pemimpin di luar garis mainstream agama (Islam). Contohnya upaya sekelompok orang untuk memisahkan secara total antara urusan agama dan negara yang dalam Islam merupakan satu kesatuan atau sistem yang sulit dipisahkan dengan keseluruhan nilai-nilai Islam.

Ada juga dengan kepentingan ekonomi, misalnya keenganan untuk membicarakan soal riba di dalam sebuah sistem perekonomian hanya lantaran ingin menyedot keuntungan lebih banyak. Ada kepentingan etnik, misalnya lebih mengedepankan kriteria etnik kedaerahan ketimbang nilai-nilai universal keagamaan hanya karena ingin mengunggulkan etinisitasnya. Yang lainnya karena demi kepentingan sains, kloning manusia nekat dilakukan sementara urusan bodi manusia itu tabu dalam Islam.

Pada sisi yang berbeda, terdapat sekelompok orang yang melakukan sakralisasi nilai-nilai profan. Sebuah nilai yang diperjuangkan, sesungguhnya, bukan nilai sakral melainkan diupayakan untuk disakralkan dengan menggunakan bahasa agama lantaran ada kepentingan tertentu. Sakralisasi semacam ini berpotensi mengaburkan batas antara nilai yang bersumber dari agama dan nilai yang datang dari luar agama. Tegasnya, sakralisasi nilai-nilai nonsakral sama bahayanya dengan desakralisasi nilai-nilai sakral.

Sosok teladan Nabi

Kita perlu memahamkan kepada mereka dan mungkin untuk diri kita sendiri bahwa hakikat agama, khususnya Islam yang dengan namanya sendiri berarti ‘damai, selamat, tenteram’. Aksi yang merobek rasa kemanusiaan universal dilakukan dengan menggunakan bahasa agama inilah yang perlu diluruskan kembali. Jangan sampai sejarah kelam agama, seperti yang terjadi pada masa kegelapan (The Dark Age) di Eropa, terulang kembali karena agama hanya menjadi alat legitimisasi kepentingan politik dan golongan.

Kini sudah saatnya umat Islam berpikir kritis dan harus hati-hati terhadap setiap ajakan untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama. Jangan sampai itu bukan murni bersumber dari agama, melainkan hanya penafsiran dari agama yang dilakukan sekelompok orang yang punya kepentingan tertentu. Pemahaman secara kritis terhadap orisinalitas agama perlu pencerahan baru (new purification) untuk mengajak generasi baru Islam yang sudah terkontaminasi hal negatif terhadap opini publik tentang kekerasan yang dilakukan segelintir orang yang mengatasnamakan agama, padahal sesungguhnya hanya pemahaman subjektivitasnya terhadap agama itu sendiri.

Dalam menghadapi hiruk-pikuk politik tahun depan, ada baiknya kita mengenang pribadi sosok teladan Nabi Muhammad SAW. Ia memiliki beberapa kapasitas dan menampilkan kapasitas-kapasitas itu secara ideal. Ketika tampil sebagai Nabi atau pemimpin agama, ketika itu ia tampil sangat mengesankan. Seluruh perkataan, perbuatan, dan pengakuan (taqrir)-nya oleh para ulama ushul disepakati menjadi hujjah (mengikat bagi umatnya). Ketika ia tampil sebagai kepala negara, panglima angkatan perang, hakim yang memutuskan perkara umatnya, seorang pengamat politik, dan seorang pribadi suami di depan istri-istrinya, seorang ayah di depan anak-anaknya, ia juga tampil dengan penuh kepercayaan diri seolah tanpa cela.

Diperlukan kecerdasan dan kematangan bagi politisi di dalam memperjuangkan gagasan dan cita-cita mereka. Jangan sampai hanya kepentingan sesaat tetapi kita merelakan kearifan lokal yang sudah terbangun selama berabad-abad dibiarkan hancur. Generasi baru masyarakat bangsa Indonesia masih sangat membutuhkan orisinalitas kepribadian bangsanya yang santun dan beradab. []

MEDIA INDONESIA, 13 Desember 2017
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar