Nahdlatul Ulama dan Solidaritas Palestina
Pada tahun 1938, Ketua Umum PBNU, KH Mahfudz
Siddiq pernah diminta menghadap kejaksaan Hindia Belanda. Beliau dianggap
meresahkan, sebab beberapa hari sebelumnya, kiai muda ini menggelorakan
semangat empati kepada Palestina. Atas nama PBNU, beliau mengajak kepada
seluruh umat Islam untuk turut serta dalam aksi solidaritas terhadap Palestina
melalui: perayaan Isra' Mi'raj besar-besaran pada 27 Rajab sekaligus menyerukan
penggalangan dana untuk disumbangkan kepada rakyat Palestina dan menggemakan
pembacaan qunut nazilah. Instruksi ini juga atas restu KH M. Hasyim Asy'ari,
Rais Akbar PBNU. Seluruh konsul (Pengurus Cabang) NU melaksanakan amanah ini.
Aksi solidaritas tersebut digalang karena pada
saat itu para pemuda ekstremis Yahudi menyerang penduduk Palestina, dua puluh
tahun setelah Deklarasi Balfour ditandatangani. Atas aksi solidaritas ini, Kiai
Mahfudz ditekan agar instruksi publik ini dibatalkan. Tapi beliau tetap kukuh
dengan pendiriannya.
Di kemudian hari, menjelang berakhirnya
pendudukan Jepang, KH M. Hasyim Asy'ari lebih intens berkorespondensi dengan
Mufti Palestina, Syekh Muhammad Amin al-Husaini, mengenai nasib masing-masing
bangsanya. Bahkan, ketika Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, Palestina
adalah salah satu negara yang paling cepat mengakui kedaulatan
kita.
Langkah ini bahkan juga diikuti oleh KH
Muhammad Ilyas, mantan Menteri Agama RI, saat menjabat sebagai Duta Besar
Indonesia untuk Arab Saudi (1959-1965). Hubungan antara Indonesia-Palestina
semakin hangat.
Kiai kelahiran Kraksaan, Probolinggo ini, di
kemudian hari menyerukan pembahasan khusus mengenai Palestina dan al-Quds
(Yerussalem) pada saat menggerakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam di
Rabat, Maroko, 1969. Bahkan dalam forum negara muslim yang kemudian bernama
Organisasi Konferensi Islam (OKI) ini, Kiai Ilyas dianggap sebagai penggerak
utama kepedulian terhadap Palestina. Sebagai delegasi Indonesia, beliau tampil
moncer dalam forum internasional tersebut.
Di era Gus Dur, aksi solidaritas ini digelar
dengan berbagai cara: baik melalui aksi Malam Solidaritas Palestina, 1982, yang
digelar bersama para penyair seperti Subagyo Sastrowardoyo, Sutardji Calzoum
Bachri, D. Zawawi Imron, Taufik Ismail, Abd Hamid Jabbar, Gus Mus, dan lain
sebagainya, maupun menggiatkan kembali pembacaan qunut nazilah bagi warga
Nahdliyyin. Saat itu Gus Dur menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta sekaligus
salah satu pimpinan teras PBNU.
Tahun 1994, Gus Dur menghadiri undangan
menyaksikan penandatanganan perdamaian antara Yordania dengan Israel. Hal
ini kemudian mempengaruhi cara pandangnya, yaitu bahwa perdamaian bisa
diwujudkan apabila ada iktikad baik kedua belah pihak. Sejak ada Perjanjian
Camp David antara Mesir-Israel, 1978, maupun perjanjian Oslo, 1993, yang
mengakui adanya Otoritas Palestina, maupun perjanjian antara Yordania-Israel di
tahun 1994, tampaknya Gus Dur memilih pola win-win solution dalam melihat
masalah Palestina dan Israel ini.
Di era Gus Dur sebagai presiden, kunjungan ke
Yordania merupakan prioritas pertama dalam lawatan ke Timur Tengah. Sebab,
selain bertemu dengan Raja Abdbullah II, Gus Dur juga menemui Yassir Arafat di
Amman. Presiden Gus Dur menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina
dan perdamaian di Timur Tengah.
Di kemudian hari, ketika bertemu dengan Presiden
Palestina Yasser Arafat, dalam sebuah kunjungan kenegaraan resmi ke Indonesia
(16/8/2000), Presiden Gus Dur selaku Kepala Negara menegaskan bahwa Indonesia
terikat kepada keputusan yang dulu, yaitu bahwa kemerdekaan adalah hak segala
bangsa dan hak untuk mencapai perdamaian di Palestina ada di tangan rakyat
Palestina sendiri. “Yang dalam hal ini tentu diwujudkan dalam bentuk
keputusan-keputusan atau konferensi OKI, PBB, dan lain-lain,” ujar Presiden Gus
Dur saat jumpa pers bersama Yasser Arafat.
Bagi Gus Dur, mewujudkan perdamaian di wilayah
Palestina bisa dimulai dari kiprah Indonesia sebagai juru damai kedua belah
pihak. Sebagai juru damai, Indonesia harus bisa dipercayai oleh Palestina
maupun Israel untuk menjadi penengah. Langkah ini sudah dimulai oeh Gus Dur,
antara lain dengan menjadi anggota Simon Peres Foundation, Israel. Sebuah
langkah strategis yang sebenarnya bisa menjadi jembatan antara Yerussalem dan
Tel Aviv.
Demi mewujudkan perdamaian dan kemerdekaan
Palestina, di tengah kondisi kesehatan yang tidak stabil, Gus Dur mengunjungi
Jalur Gaza pada 20 Desember 2003. Di kota kecil ini, Gus Dur diminta berpidato.
Cucu Hadratussyekh Hasyim Asy'ari ini mulanya
berpidato dalam bahasa Inggris, karena beberapa senator AS dan pemimpin agama
dari berbagai negara serta wartawan asing yang meliput. Namun, pidato bahasa
Inggris ini kemudian diulang oleh Gus Dur dalam bahasa Arab dengan fasih
diikuti kesan-kesan Gus Dur terhadap kota Gaza dan harapannya atas rakyat
Palestina. Dalam pertemuan yang digelar di hotel sederhana di Gaza itu, Gus Dur
menyerukan kemerdekaan bagi berdirinya sebuah Negara Palestina dan keadilan
bagi seluruh rakyatnya.
Dalam kolom yang berjudul "Arti Sebuah
Kunjungan", yang berisi kesan dan pesan Gus Dur saat di Jalur Gaza, beliau
memberi kritik terhadap para elit Palestina yang sering bertengkar dan memilih
strategi perjuangan yang berbeda dan tidak seiya sekata, sekaligus memberi
contoh kenegarawanan Bung Hatta saat berdiplomasi dengan Belanda di Konferensi
Meja Bundar.
Meski mengkritik elit Palestina (dan Israel),
Gus Dur menggarisbawahi perjuangan dan kegigihan rakyat Gaza melawan senjata
modern Israel, "Bagi penulis Gaza adalah sumber perlawanan terhadap
penjajahan, dan alangkah indahnya jika perlawanan itu tidak hanya mengambil bentuk
fisik saja, melainkan juga perlawanan kultural terhadap keadaan." tulis
Gus Dur dalam kolomnya tersebut.
Lantas bagaimana memulai inisiatif
mempertemukan kubu Palestina dan Israel? Ahmad Suaedy, pimpinan Wahid
Institute, menyatakan bahwa dirinya pernah mendampingi seorang pejabat
senior Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) bidang advokasi
Anti-Semitisme untuk kawasan Timur Tengah, yang juga seorang Yahudi, untuk
bertemu Gus Dur di kantor PBNU. Diplomat itu lalu bertanya: “Apa sebaiknya yang
harus dilakukan untuk mencapai perdamaian Israel – Palestina saat ini?”
“Tegakkan keadilan dan berikan hak-hak
Palestina kepada mereka, baru bicarakan perdamaian!!" jawab Gus Dur tegas.
***
Kini, di era Kiai Said Aqil Siraj, langkah NU
mendukung kemerdekaan Palestina serta mewujudkan perdamaian di Timur Tengah
tidak berubah. Menurut NU, dalam konferensi persnya terkait manuver Donald
Trump yang mengakui Yerussalem sebagai ibukota Israel (7/12/17), mewujudkan
kemerdekaan negara tersebut bisa dimulai dari: kepedulian dan persatuan
negara-negara Arab, konsolidasi internal Organisasi Konferensi Islam (OKI)
dalam dalam bersikap satu suara mengenai kemerdekaannya, serta langkah PBB yang
memberikan legalitas dan mengesahkan Palestina sebagai anggota PBB. Selaras
dengan hal itu, PBNU selalu mendukung langkah pemerintah RI agar proaktif dalam
mendukung perjuangan Palestina, dan menyerukan kepada warga NU untuk membaca
qunut nazilah.
Wallahu A'lam Bisshawab. []
(Rijal Mumazziq Z, Ketua LTNNU Surabaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar