Rabu, 13 Desember 2017

Gara-gara Qunut Nazilah untuk Palestina, Belanda Panggil Ketua PBNU



Gara-gara Qunut Nazilah untuk Palestina, Belanda Panggil Ketua PBNU

Menghadapi penjajahan Belanda di tanah air tentu hal yang sangat merepotkan bagi Nahdlatul Ulama (NU). Taruhannya bukan semata penderitaan diri mereka sendiri kala itu, tapi juga nasib  generasi mereka di masa yang akan mendatang. Hak ekonomi dirampas, pendidikan dikekang, dan aspirasi politik dikebiri.

Namun demikian, apakah NU terjebak pada nasionalisme sempit? Ternyata tidak. Empatinya yang besar juga menjalar ke belahan dunia lain yang mengalami nasib yang serupa, salah satunya bangsa Palestina. NU geram dengan usaha Israel yang dengan semena-mena mencaplok tanah Palestina. Ini juga penjajahan.

Dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri mengungkapkan bahwa sejak bangsa Arab berjuang untuk kemerdekaan Palestina, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada tangal 12 November 1938 telah menyerukan kepada seluruh partai dan organisasi umat Islam di Indonesia serta Pucuk Pimpinan Warmusi (Wartawan Muslimin Indonesia) di Medan, agar umat Islam memberikan sokongan moral dan material kepada para pejuang Palestina dalam memerdekakan tanah air mereka.

Di antara bentuk solidaritas tersebut PBNU mengimbau umat Islam untuk membaca qunut nazilah dalam tiap-tiap sembahyang fardhu. Qunut nazilah lebih dari sekadar bacaan doa selepas ruku' yang lazim diamalkan ketika kondisi bencana atau situasi genting lainnya. Seruan qunut nazilah mengandung dimensi politik yang luas. Ia sebentuk protes keras berskala internasional atas kezaliman kaum pendatang yang menamakan diri bangsa Israel terhadap bangsa Palestina.

Sikap NU ini tentu berpotensi mengundang empati balasan dari bangsa-bangsa Arab atas bangsa Indonesia yang tengah dijajah Belanda. Tak heran, sehubungan dengan qunut nazilah ini pada tanggal 27 Januari 1939, Ketua PBNU KH Machfuzh Shiddiq dipanggil oleh Hoofparket Belanda di Jakarta. Pemerintah kolonial Belanda melarang NU melakukan gerakan qunut nazilah untuk pejuang Palestina.

Qunut nazilah juga sempat berlangsung setahun berturut-turut ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara sepihak meresmikan negara Israel pada 1948. Deklarasi negara baru ini dimotori oleh Amerika dan Soviet. Rakyat Indonesia saat itu mendesak pemerintah Indonesia bersikap tegas atas kebijakan tersebut. Dewan Keamanan PBB mesti meninjau ulang keputusannya terhadap berdirinya Israel.

NU tentu tahu, Palestina tak hanya dihuni penduduk Muslim. Tapi keberadaan tempat suci Masjid al-Aqsa dan ikatan kemanusiaan (ukhuwah basyariyah) cukup menjadi alasan untuk melakukan kecaman dan pembelaan tersebut. Berkat penjajahan Israel, rakyat Palestina terlunta-lunta, menderita secara fisik dan psikis, dan sebagian terusir dari tanahnya sendiri.

Di tengah solidaritas untuk Palestina yang tak kunjung henti, pada Desember 1948 Indonesia didera situasi yang sangat mencekam. Belanda melakukan agresi militer II yang dimulai dari Yogyakarta sebagai ibu kota negara waktu itu. Situasi kian gawat ketika para tokoh dan pemimpin republik ini ditangkapi sehingga mendorong dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra.

Demikianlah luasnya spektrum perjuangan NU. Lahir batin ia berkorban menumpas penjajahan di tanah air sendiri, tapi juga tak menutup mata atas fenomena yang sama di penjuru bumi lainnya. Kenapa? Karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa. []

(Mahbib)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar