Tujuh Syarat yang Membuat
Seseorang Wajib Jumat
Jumat merupakan salah satu shalat yang
diwajibkan selain shalat fardlu 5 waktu yang dilakukan setiap hari. Shalat
Jumat dilaksanakan satu minggu sekali, tepatnya pada waktu dhuhur hari Jumat,
menggantikan kewajiban shalat dhuhur. Namun, kewajiban Jumat tidak dibebankan
kepada seluruh orang.
Ada kriteria tertentu orang-orang yang
diwajibkan menjalankan Jumat atau diistilahkan dengan syarat wajib pelaksanaan
Jumat. Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri dalam Syarh al-Yaqut al-Nafis
menyebutkan bahwa syarat wajib Jumat ada tujuh. Sekiranya tidak terpenuhi, maka
tidak wajib menjalankan Jumat. Berikut ini 7 syarat wajib Jumat:
Syarat pertama, kedua, dan ketiga adalah
Islam, akil baligh, dan berakal. Ketiga syarat ini berlaku di setiap kewajiban
ibadah lainnya, tidak terkecuali shalat Jumat. Sebab bila tidak terpenuhi, maka
seseorang tidak terkena beban (taklif) melakukan kewajiban-kewajiban syari’at.
Sehingga Jumat tidak diwajibkan atas non-Muslim, anak kecil yang belum akil
baligh, orang gila dan orang epilepsi.
Syarat keempat dan kelima adalah merdeka dan
laki-laki. Tidak seperti shalat fardlu lainnya, Jumat tidak dibebankan kepada
hamba sahaya dan perempuan serta khuntsa (orang yang tidak jelas jenis
kelaminnya). Hal ini berdasarkan hadits Nabi Saw:
الْجُمُعَةُ
حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ
مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Jumat adalah kewajiban bagi setiap Muslim
secara jamaah kecuali empat orang. Hamba sahaya yang dimiliki, perempuan, anak
kecil dan orang sakit”. (HR. Abu Daud).
Namun demikian, sunah bagi tuannya hamba
untuk memerintah hamba sahayanya melaksanakan Jumat. Demikian pula bagi
perempuan tua, sunah melaksanakan Jumat dengan catatan tidak khawatir
menimbulkan fitnah, mendapat izin dari suaminya (bagi yang telah menikah) dan
dengan memakai pakaian sederhana. Makruh bagi perempuan muda menghadiri Jumat
meskipun dengan pakaian sederhana dan telah mendapat izin suaminya. Dalam kitab
Hasyiyah al-Syarwani disebutkan:
وَيُسَنُّ
لِسَيِّدِ قِنٍّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ فِي حُضُورِهَا وَلِعَجُوزٍ فِي بِذْلَتِهَا
حَيْثُ لَا فِتْنَةَ أَنْ تَحْضُرَهَا كَمَا عُلِمَ مِمَّا مَرَّ أَوَّلَ صَلَاةِ
الْجَمَاعَةِ
قَوْلُهُ : وَلِعَجُوزٍ فِي بِذْلَتِهَا - أَيْ يُسَنُّ الْحُضُورُ
لِعَجُوزٍ إلَخْ حَيْثُ أَذِنَ زَوْجُهَا أَوْ كَانَتْ خَلِيَّةً وَمَفْهُومُهُ
أَنَّهُ يُكْرَهُ الْحُضُورُ لِلشَّابَّةِ ، وَلَوْ فِي ثِيَابِ بِذْلَتِهَا ع ش
أَيْ وَأَذِنَ زَوْجُهَا
“Sunah bagi sayyid mengizinkan hambanya untuk
menghadiri Jumat. Demikian pula sunah bagi wanita tua sekiranya tidak ada
fitnah untuk menghadirinya seperti diketahui dalam keterangan yang lalu di awal
bab shalat jamaah. Demikian pula Sunah menghadiri Jumat bagi wanita tua dengan
catatan mendapat izin dari suaminya atau bagi wanita tua yang tidak memiliki
suami. Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa makruh menghadiri Jumat bagi
perempuan muda meskipun dengan pakaian sederhana dan mendapatkan izin dari
suaminya”. (lihat Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala
Tuhfah al-Muhtaj, juz.2, hal.443, Dar al-Fikr-Beirut, cetakan pertama tahun
1997).
Syarat keenam, sehat jasmani. Mengingat dalam
menghadiri Jumat dibutuhkan stamina yang cukup prima, sehingga Jumat hanya
dibebankan kepada orang yang sehat. Maka tidak wajib Jumat bagi orang sakit.
Disamakan dengan orang sakit dalam hal tidak diwajibkan Jumat, yaitu
orang-orang yang terdapat uzur dalam meninggalkan shalat jamaah. Dalam arti,
kriteria uzur dalam permasalahan shalat jamaah juga berlaku dalam bab Jumat.
Batasan uzur yang dapat menggugurkan shalat Jumat
dan jamaah menurut Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri dalam Syarh al-Yaqut
al-Nafis kembali kepada dua kaidah. Pertama, sekiranya terdapat kepayahan yang
parah (masyaqqah syadidah) dalam menghadiri Jumat. Seperti disebabkan sakit,
cuaca terlampau panas, cuaca terlampau dingin dan lain sebagainya. Kedua,
sekiranya menghadiri Jumat berdampak terbengkalainya kemashlahatan yang tidak
dapat digantikan orang lain. Maka tidak wajib Jumat bagi petugas kepolisian
yang mengamankan lalu lintas, perawat orang sakit, penjaga pos keamanan warga
dan lain sebagainya. (lihat Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri, Syarh
al-Yaqut al-Nafis, hal. 207-208, Dar al-Minhaj-Jedah, cetakan ketiga tahun
2011).
Syarat ketujuh, bermukim. Sehingga tidak
wajib Jumat bagi orang yang sedang bepergian meski jarak tempuhnya tidak sampai
batas jarah diperbolehkan mengqashar shalat. Namun, gugurnya kewajiban Jumat
bagi musafir dengan catatan perjalanannya dengan tujuan yang mubah dan
dilakukan sebelum terbit fajar subuh hari Jumat.
Apabila perjalanannya dengan tujuan maksiat
atau ditempuh setelah subuh, maka wajib bagi musafir menjalankan Jumat di
tengah perjalanannya. (lihat Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah
al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, juz.2, hal.443, Dar al-Fikr-Beirut, cetakan
pertama tahun 1997).
Wallahu a’lam.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar