Dai Kombatan
Oleh: Said Aqil Siroj
Bermunculannya banyak dai pertanda bahwa ada kebutuhan di
masyarakat untuk mendapatkan guyuran rohani. Masyarakat kita saat ini, dalam
banyak amatan menunjukkan gairah spiritualitas dan keagamaan yang tinggi.
Sementara fakta lain menunjukkan, masyarakat kita juga sedang dirundung
meningkatnya pemahaman, sikap, dan tindakan radikalisme.
Peristiwa terorisme yang berkali-kali terjadi, terlebih akibat
sihir Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), membuktikan eskalasi radikalisme
kerap sulit terbendung. Tampaknya ini juga fenomena mondial atau global yang
sedang bergeliat di berbagai belahan dunia. Melahirkan dai yang kompeten telah
banyak dilakukan berbagai pihak. Berbagai pelatihan dai digelar secara berkala.
Ada dai yang lahir dari pelatihan dan juga ada dai yang lahir secara natural.
Munculnya dai yang kemudian masyarakat menyebutnya sebagai “dai selebritas”
menjadi fenomena tak terelakkan akibat “pasar” yang kian membesar. Seakan tiap
dai punya “ceruk” pasar masing-masing.
Tak kaget pula, dengan berkembangnya teknologi digital, semakin
pula melahirkan “dai-dai Youtube” yang tampil dengan segala tausiah bermacam
wujud. Yang membuat kita mengelus dada, muncul lagi dai-dai produk ini yang
sering tak terkendali. Ujaran-ujaran intoleran, kebencian, dan ajakan radikal
mewarnai wajah dakwah di negeri kita. Tak sedikit yang lalu menetaskan pengikut
militan. Generasi milenial begitu mudah terseret arus radikalisme karena sihir
dakwah “keras”. Para radikalis mengendus kesempatan dan lalu bermain dengan
menyalakan bara.
Meniti dakwah moderat
Belum lama berselang, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) menyelenggarakan kegiatan yang terasa menohok. Tak seperti biasanya
dengan kegiatan yang ” monoton”, tampaknya BNPT ingin melempar “jurus”
inovatifnya yang tentu saja berdasar dari hasil penelitian secara saksama. Ada
kebutuhan yang mendesak diwujudkan sehingga meniscayakan perlunya aksi yang lebih
jitu.
Apa gerangan? BNPT menyelenggarakan “Pelatihan Public Speaking”
yang ditujukan pada peserta khusus dari para mantan napi teroris (napiter). Ada
30 napiter dari berbagai daerah, termasuk daerah-daerah berzona “merah”. Mereka
dikumpulkan di sebuah resor di Bogor selama empat hari dan digodok oleh para
pelatih kampiun. Materi yang diajarkan mulai dari pelatihan motivasi, hingga
bagaimana mampu berbicara terampil, ditambah pelatihan bagaimana tampil
memesona di depan layar kamera.
Dari sejumlah informasi, pelatihan itu menuai sukses. Para peserta
merasa mendapat “sesuatu” yang baru. Peserta “binaan” BNPT ini berharap
kegiatan yang seperti itu bisa rutin diadakan. Dan, yang terpenting, bagi
peserta ada tindak lanjut. Karena bagi mereka, kegiatan berdakwah sudah menjadi
panggilan. Hanya mereka perlu diberikan wadah yang pasti. Mereka butuh
“panggung” untuk mementaskan pengalaman “tragis” mereka saat berada dalam
jeratan radikalisme.
Ternyata, pelatihan ini sedari awal dirancang berkesinambungan dan
peserta nantinya akan disalurkan BNPT melalui kegiatan berkala Forum Koordinasi
Pencegahan Terorisme (FKPT) yang merupakan perpanjangan tangan BNPT di daerah.
Kegiatan pelatihan itu sejatinya sepadan dengan istilah “pelatihan
dai” yang umum dilaksanakan. Kedahsyatan pelatihan model BNPT bisa
dilihat dari pesertanya yang semua mantan napiter. Semua mantan kombatan yang
pernah melakukan aksi teror dan terlibat jaringan teroris. Semua adalah
sosok-sosok gaek dan terlatih. Tidak ada satupun yang “unyu-unyu”. Dan,
mereka sekarang sudah “tobat” serta berikrar kembali ke NKRI.
Para eks kombatan ini tepat diberi pelatihan dakwah.
Pertama, mereka sudah memiliki “modal” dari sisi pengetahuan keagamaan
maupun keterampilan berkomunikasi. Mereka ada yang memang berasal pendidikan
keagamaan dan berprofesi menjadi “ustaz”. Dengan kepiawaiannya, terbukti mereka
terampil menarik pengikut yang militan.
Dari sinilah, perlu pelatihan kembali untuk menyatukan visi dan
misi dalam bingkai kebangsaan dan keindonesiaan. Mereka harus diajak
menyuarakan dakwah yang damai dan menangkal kampanye radikal.
Kedua, para eks kombatan ini mempunyai banyak pengalaman di dunia
radikalisme. Bagaimana proses mereka awal terpengaruh dan lalu masuk jaringan
radikal hingga kemudian melakukan amaliyat teror. Pengalaman mereka
penting untuk disampaikan kepada masyarakat dalam rangka menjadi ibroh
(pelajaran berharga) sehingga meresap sebagai hikmah (wisdom) bagi masyarakat
untuk bersigap menghindar dari pesona radikalisme. Dengan kata lain, ini mampu
menjadi daya tangkal masyarakat dari radikalisme dan terorisme.
Ketiga, dari segi kebutuhan dan momentum pelatihan ini sangat
tepat diadakannya di saat menjamurnya “dai-dai kalap” yang melempar kebencian
dan mengajak pada jalan radikal. Sudah banyak generasi bangsa ini jadi korban
dengan tiba-tiba menghujat keluarganya dan mengumpat NKRI serta aparaturnya
dengan ungkapan thoghut, kafir, bidah atau sirik? Begitu juga anak muda yang
menghunus pisau melawan aparat. Atau pelemparan bom molotov ke kantor polisi
dan bahkan pembakaran kantor polisi seperti yang terjadi di Sumatera Barat.
Mereka menjadi lone wolf yang begitu liar dan ganas karena
berlebihan (ghuluw) dalam sikap keagamaannya akibat tebaran dakwah picik baik
dari saluran “manual” maupun “dunia maya”.
Saatnya “dai kombatan”
Nah, jelaslah manfaat pelatihan dai kombatan. Ini menjadi
bukti betapa pentingnya melahirkan dai dari mantan napiter. Selama ini mungkin
kita lebih terperangah oleh dai-dai dari habitat “normal” saja. Nyatanya, tak
jarang mereka membuat masyarakat jenuh dan bukan tak mungkin melahirkan sikap
apatis terhadap model, sosok atau juga “menu-menu” dakwah yang begitu-begitu
saja. Masyarakat perlu mendapatkan curahan kerohanian baru agar bisa meraih
cara pandang luas serta mampu menjadikan pelajaran berharga.
Kini, kita perlu lebih menoleh pada mereka yang pernah berada di
“jalan yang salah” karena gairah keagamaan yang menyala-nyala tanpa sikap
kritis atau akibat “kecanggihan” komunikasi para mentor radikal. Kita tak bisa
menepis fakta bahwa menjadi radikal atau moderat adalah buah dari pelatihan.
Sebagai tandingan, karena itu pelatihan dakwah yang membawa pada sikap
moderasi, toleransi dan inklusif perlu digencarkan dengan sasaran utama mereka
yang punya pengalaman di jejaring radikalisme.
Pendekatan lunak sebagai strategi utama deradikalisasi terorisme
yang telah dijalankan selama ini memerlukan langkah-langkah lebih inovatif.
Negara kita sudah mendapat acungan jempol dari negara lain karena dipandang
berhasil menanggulangi terorisme. Kita tentu bangga. Namun, kita akan lebih
bangga bila mampu melahirkan sosok-sosok “dai kombatan” yang dulunya mereka
mendakwahkan kekerasan dan anti-NKRI, sekarang beralih mendakwahkan kedamaian
dan cinta NKRI. []
KOMPAS, 29 November 2017
Said Aqil Siroj ; Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar