Melihat Allah, Mungkinkah?
(2-Habis)
Melihat Allah di akhirat
Pada dasarnya permasalahan ini dapat
dikelompokkan menjadi dua pembahasan: Pertama, Kelompok yang menetapkan
ru’yatullah fil akhirat Imam Asy’ari di dalam kitabnya Maqalaat al-Islamiyyin
mengatakan bahwa:
جملة
ما عليه اهل الحديث والسنة الاقرار بالله وملائكته....الى ان قال.. ويقولون اِن الله سبحانه وتعالى يرى بالابصار يوم القيامة
كما يرى القمر ليلة البدر يراه المؤمنون ولا يراه الكافرون لانهم عن الله محجوبون
فال الله عز وجل "كلا انهم عن ربهم يومئذ لمحجوبون"
Di antara pendapat Ahlussunnah adalah orang
mukmin kelak di akhirat dapat melihat Allah SWT dengan mata, sebagaimana dapat
melihat bulan purnama dengan mata (artinya, tidak ada kesamaran dan keraguan
dalam melihat-penulis), dan hal ini tidak berlaku bagi orang kafir seperti
dalam firman-Nya (QS. Al-Tathfif 15);
Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada
hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka.
Bahkan Imam Syafi’I saking begitu yakinnya
bahwa kelak di akhirat Allah SWT dapat dilihat ia berani mengatakan:
امَا
والله ِ لَوْ لَمْ ُيوقِنْ محمد بن ادريس بِاَنَّه يَرَى رَبَّه فِى المَعاد لمّا
عَبِدَه فى الدنيا
Ingatlah, aku bersumpah atas nama
Allah SWT, andaikan Muhammad bin Idris tidak yakin bahwa ia kelak akan meliat
Tuhannya di akhirat, niscaya ia tidak akan menyembah-Nya di dunia.
Banyak teks-teks baik al-kitab, maupun
al-sunnah mengenai masalah ru’yah (melihat Allah). Di samping al-kitab
dan al-sunnah, terjadinya ru’yah di akhirat juga telah menjadi konsensus
di antara para sahabat (Al-Bajuri, tt; 71). Adapun dalil-dalil mengenai ru’yatullah
fil akhirat antara lain;
QS.Al-Qiyamah 22-23,
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari
itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.
Kata النظر pada ayat di atas menurut Al-Juba’i
(W 303 H) seorang tokoh Mu’tazilah yang menafikan ru’yah adalah الانتظار (menunggu)
di samping itu kata الى menurutnya adalah
kalimat isim yang mempunyai arti النعمة (nikmat) sehingga makna ayat di atas
menurutnya adalah منتظرة نعمة ربها (menunggu nikmat Tuhannya). (Al-Bajuri, tt
: 71).
Apa yang di katakan oleh Al-Jubai di atas,
menurut Al-Bajuri, tidak dapat dibenarkan, karena kata النظر mempunyai beberapa penggunaan sesuai dengan rangkain dan
ke-muta’addi-annya (transitif). Jika ia muta’addi dengan
sendirinya, maka bermakna التوقف والانتظار (berhenti dan menunggu) seperti dalam
firman-Nya, QS Al-Hadid 13. Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil
sebahagian dari cahayamu.
Jika muta’addi menggunakan فى mananya adalah التفكروالاعتبار
(berpikir dan mengambil
pelajaran) seperti dalam firman-Nya, QS Al-A’raf 185, Dan apakah mereka
tidak berpikir dan mengambil pelajaran (terhadap) kerajaan langit dan bumi?
Jika muta’addi menggunakan الى maka maknanya adalah المعاينة
بالابصار (pengamatan dengan
mata) seperti dalam firman-Nya QS. Al-An’am 99. Perhatikanlah buahnya di
waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya.
Dengan demikian, bahwa kata النظر ketika disandarkan pada الوجه yang
mana الوجه adalah termasuk tempatnya mata,
maknanya adalah “melihat”, dan ini merupakan pendapat semua mufassir, dari
golongan ahlussunnah dan ahlul hadist tegas Abu al-‘Izz dalam tulisannya
(Al-Qadli ‘Iyadh, Vol I : 209).
QS. Yunus, 26:
Bagi orang-orang yang berbuat baik,
ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi
debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka
kekal di dalamnya.
Kata al-husna pada ayat di atas adalah
surga, sedangkan kata wa ziyadah, menurut jumhur al-mufassirin
adalah melihat Allah (Al-Bajuri, tt: 71).
QS. Al-Muthaffifin 15:
Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka
pada hari itu benar-benar tertutup dari Tuhan mereka.
Menurut Al-Zujaj, ayat di atas menunjukkan
bahwa kelak Allah SWT dapat dilihat di hari kiamat. Jika tidak, maka ayat di
atas tidak ada faidahnya, dan juga “ketidakdapatan melihat Allah SWT” bagi
orang kafir juga bukan sesuatu yang hina, dan Allah telah memberitahukan (QS
Al-Qiyamah 22-23) bahwa orang mukmin akan melihat-Nya dan orang kafir akan
terhalang dari (melihat)-Nya (Al-Qurthubi, 2002, Vol X : 216).
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dari Jarir (Al-Bukhori no 7435),
قال
النبي صلى الله عليه وسلم انكم سترون ربكم عِيانا
Nabi bersabda sesungguhnya kalian akan
melihat Tuhanmu dengan jelas.
Meskipun Ahlussunnah menetapkan adanya ru’yah,
namun perlu digarisbawahi bahwa ru’yah tersebut tanpa adanya takayyuf
(cara melihat objek) sebagaimana berlaku pada sesuatu yang hadist (baru),
seperti muqobalah (berhadapan), jihah (adanya arah tertentu), tahayyuz
(bertempat) dan sebagainya karena ru’yah di sini merupakan suatu
kekuatan yang dijadikan oleh Allah bagi makhluk-Nya tanpa adanya sarat muqobalah,
tahayyuz dan lain sebagainya (Al-Bajuri, tt : 71-72).
Kedua, kelompok yang menafikan ru’yatullah
fil akhirat
Di antara kelompok-kelompok yang menafikan
hal ini adalah Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Imamiyah (Abi al-‘Izz, Vol
I; 207). Adapun dalil yang digunakan oleh kelompok Mu’tazilah sebagaimana
dijelaskan Imam Fahruddin Al-Razi (W 606 H) antara lain adalah sebagai berikut
(Al-Razi, tt, Vol I : 295-296):
QS. Al-An’am 103;
Dia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah
yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Menurut Al-Razi, berdasarkan ayat di atas
mereka berpegang teguh pada dua hal; pertama, tiada seorang pun yang dapat
melihat Allah, kedua, ayat di atas mencegah seseorang dapat melihat-Nya.
Adapun penjelasan tentang keduanya menurut
Al-Razi adalah sebagai berikut:
Persoalan:
Idrak jika disandarkan pada
al-bashar adalah al-ru’yah wal ibshar (melihat dengan mata)
dengan alasan bahwa tidak sah menetapkan salah satunya (ru’yah atau idrak)
lantas menafikan satunya lagi, maka tidak sah apabila dikatakan رأيته وما ادركته بعيني (saya melihatnya dan saya tidak dapat mencapainya dengan mata
saya), begitu pula ادركته بعيني وما رايته (saya dapat mencapainya dengan mata saya,
dan saya tidak melihatnya). Hal ini menunjukkan bahwa idrak al-bashar
dan ru’yah adalah satu. Jika demikian, (menurut mereka) Allah menafikan
bahwa tiada seorang pun yang dapat melihat Allah dengan mata kepala kapan pun
itu.
Bantahan:
Argumen ini dipatahkan oleh Imam Fahruddin
Al-Razi sebagai berikut :
“Kita tidak bisa menerima bahwa idrak
adalah ungkapan dari ru’yah, idrak adalah ungkapan dari kata al-wusul
(sampai / mencapai ), seperti ungkapan ادرك الغلام
اذا صار بالغا seorang
pemuda telah (mencapai) menginjak remaja ketika ia baligh ادركت الثمرة اذا وصلت الى حد النَّضْجِ buah telah masak ketika
sampai (pada batas) matang.
Allah berfirman dalam QS. Al-Syu’ara 61,
Maka setelah kedua golongan itu saling
melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: "Sesungguhnya kita benar-benar
akan tersusul."
Selanjutnya Al-Razi berkata, jika engkau
telah mengetahui (akan hal) ini, maka kami katakan “sesungguhnya seseorang
ketika melihat sesuatu dan ia melihatnya dari ujung hingga akhirnya, maka
kepadanya dikatakan انه ادركه (sesunguhnya ia telah mencapainya) dengan ketentuan bahwa ia
telah meliputi semua yang ia lihat. Dan tentunya hal ini hanya berlaku bagi
sesuatu yang ada ujung dan akhirnya, sedangkan Allah Maha Suci dari hal ini.
Dengan demikian menafikan idrak belum tentu menafikan ru’yah.
Persoalan:
Dalam ayat tersebut Allah memuji dirinya
bahwasannya tiada sesuatu pun pandangan mata yang dapat melihatnya, dan “setiap
sesuatu yang ketiadaanya adalah madh (terpuji) maka keberadaannya adalah
naqsu (tercela)” dan hal ini (naqsu) muhal bagi Allah. Dengan demikian,
ru’yah adalah sesuatu yang dicegah atau dilarang.
Bantahan:
Konteks ayat لا
تدركه الابصار adalah tamadduh (pujian) yang menunjukkan bahwa ru’yatullah
adalah sesuatu yang jaiz. Jika ru’yatullah tidak jaiz,
maka tidak ada tamadduh dalam ayat tersebut. Secara logis bahwa
substansi sesuatu yang ma’dum (tidak ada) itu tidak terlihat, dan
sesuatu yang dirinya sendiri tidak terlihat maka “ketidakkelihatannya” tersebut
tidak akan menetapkan madh (pujian) atau ta’dzim (pengagungan).
Berbeda jika pada diri sesuatu tersebut jaiz terlihat, lalu sesuatu
tersebut mempunyai kemampuan (qudroh) untuk menghalangi penglihatan
sehingga ia tidak tercapai oleh penglihatan maka dengan kemampuan yang dimiliki
inilah menunjukkan adanya madh (pujian) dan ta’dzim (pengagungan).
Dengan demikian, ayat لا تدركه الابصار menunjukkan bahwa Allah Ta’ala
‘wenang” terlihat (Abdul Al-Rumi, 1985: 71-72).
Disamping itu, menurut Al-Razi, tentang apa
yang mereka katakan كل ماكان عدمه مدحا كان وجوده
ممتنعا setiap sesuatu yang ketiadaanya adalah madh (terpuji) maka
keberadaannya adalah terlarang” kontradiktif dengan pendapat mereka sendiri
yang mengatakan bahwa Allah memuji dengan menafikan kezaliman pada diri-Nya
seperti dalam QS Fussilat 46, "Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu
menganiaya hamba-hamba-Nya." Begitu pula dalam QS. Shad 27, Allah
memuji dengan menafikan ‘abats (sia-sia) pada diri-Nya,"Dan kami tidak
menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah
(sia-sia)."
Namun, pada satu sisi mereka berpendapat bahwa
Allah SWT mampu melakukan kezaliman dan melakukan sesuatu yang sia-sia
(al-Razi, Vol I, tt 300). Mestinya jika mereka konsisten dengan pendapat mereka
yang mengatakan “كل ماكان عدمه مدحا كان وجوده ممتنعا setiap
sesuatu yang ketiadaanya adalah madh (terpuji) maka keberadaannya adalah
terlarang” tentu mereka akan mengatakan bahwa muhal (terlarang) jika
Allah berbuat kezaliman.
Persoalan:
QS. Al-A’raf 143 ...لن
تراني... sekali-kali kamu
(Musa) tidak akan dapat melihat-Ku.
Menurut mereka kalimat di atas menunjukkan litta’bid,
(selamanya) sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Fath 15: Katakanlah: "Kamu
sekali-kali tidak (boleh) mengikuti Kami.”
Jika demikian, berarti Nabi Musa tidak (akan)
pernah melihat Allah sama sekali, dan hal ini juga berlaku bagi orang lain
tegas Al-Razi.
Bantahan:
Menurut Imam Al-Razi, bahwa kalimat “لن “ tidak
menunjukkan litta’bid dengan dalil firman Allah SWT QS. Al-Baqarah 95, ولن يتمنوه ابدا (dan
sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya) karena
sesungguhnya mereka mengharapkan kematian di akhirat seperti dalam QS.
Al-Zukhruf 77, ونادوا يامَالِكُ لِيَقْضِ علينا رَبُّكَ
قال اِنكم مَّاكِثُون mereka berseru “ Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh
kami saja.” Dia menjawab “kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).
Hal yang sama (لن bukan
litta’bid) juga ditegaskan oleh Syekh Jamaluddin bin Malik seperti
dikutip oleh Al-Qadli Ali bin Ali bin Muhammad bin Abi Al-‘Izz al-Dimasyqi
sebagai berikut (Abi Al-‘Izz, tt: 214);
ومَن
رَأى النَّفْيَ بِ لنْ مُؤَبَّدا فقَوْلَهُ ارْدُدْ وَسِوَاهُ فَاعْضُدَا
Barangsiapa berpendapat bahwa kata
“lan” adalah penafian selama-lamanya, maka tolaklah pendapatnya dan ambillah
pendapat selainnya.
Persoalan:
QS. Al-Syura 51: Dan tidak mungkin bagi
seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan
wahyu atau di belakang tabir.
Menurutnya, ayat ini menunjukkan bahwa orang
yang berbicara dengan Allah SWT, sesungguhnya orang tersebut tidak melihat-Nya.
Jika waktu kalam (berbicara) orang tersebut tidak melihat-Nya secara otomatis
selain waktu kalam juga tidak melihat-Nya. Hal ini tidak ada yang
menselisihinya (Al-Razi, tt: 296).
Bantahan:
Wahyu adalah mendengarkan kalam dengan
cepat, dan bukan mengenai terhalangnya ru’yah atau tidak. Oleh karena
itu mana yang menunjukkan tentang kenafiannya ru’yah?
Persoalan:
Allah Ta’ala tidak menyebut ru’yah
dalam Al-Qur’an kecuali mengingkarinya (tidak membenarkan), hal itu terdapat
pada tiga ayat,
Pertama : QS. Al-baqarah 55,
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata:
"Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah
dengan terang Karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya
Kedua: QS. An-Nisa’ 153.
Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu
menurunkan kepada mereka sebuah Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka
Telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. mereka berkata:
"Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata". Maka mereka disambar
petir Karena kezalimannya,
Ketiga : QS. Al-Furqon 21
Berkatalah orang-orang yang tidak
menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami: "Mengapakah tidak diturunkan
kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?"
Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar
Telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman".
Pengingkaran (ru’yah) pada ayat-ayat
di atas menunjukkan bahwa ru’yatullah adalah sesuatu yang terlarang.
Bantahan:
Isti’dzam atau pengingkaran
(tidak membenarkan) permintaan ru’yatullah karena semata-mata bentuk
kedurhakaan dan keras kepala mereka, seperti permintaan mereka agar diturunkan
malaikat (Al-Furqon 21), padahal menurut Al-Razi turunnya malaikat adalah
sesuatu yang jawaz dan tidak ada yang menentangnya, karena permintaan
mereka (agar diturunkan malaikat) adalah bentuk kedurhakaan mereka, maka Allah
pun tidak membenarkan permintaanya (Al-Razi, tt: 300).
Kesimpulan:
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan
bahwa ru’yatullah (melihat Allah) di dunia merupakan sesuatu yang jaiz
aqlan, namun yang mendapat kesempatan hanyalah Rasulullah SAW semata,
dan itu pun beliau dapat melihat-Nya dengan kedua mata. Pendapat ini menurut
Imam An-Nawawi adalah pendapat yang kuat dari kalanngan mayoritas ulama. Namun
perlu diketahui, bahwa hal ini bukan berarti Rasulullah mengetahui hakikat
Allah, akan tetapi bertambahnya idrak (memahami dan mengenal) kepada Allah pada
diri Rasulullah, dan idrak ini pun tidak sampai pada batas ihathah
(meliputi) terhadap kesempurnaan Allah SWT.
Sedangkan ru’yatullah dengan kedua mata,
di akhirat menurut Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana dijelaskan oleh Imam
Al-Asy’ari adalah sesuatu yang nyata bagi orang mukmin. Sedangkan kelompok
Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Imamiyah, mereka menafikan hal ini. Wallahu
a’lam. ***
(Khifni Nasif, Sekretaris Aswaja Center GP
Ansor Kudus, Pengajar di Madrasah Diniyah Darul Ulum Ngembalrejo Kudus)
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar