Arah Baru dari Empat Jurus Mobil Listrik
Oleh: Dahlan Iskan
KINI ada dua aliran besar dalam penggunaan energi mobil
listrik. Aliran baterai dan aliran hydrogen fuel cell. Tesla, Amerika, sudah
memilih baterai sebagai sumber energinya: baterai lithium. Pilihan itu bisa
dilihat dari keseriusan Tesla membangun pabrik baterai. Baru. Besar. Luas.
Luasnya 1 juta hektare. Lokasinya di sisi utara Negara Nagian Nevada. Hanya
setengah jam bermobil dari Kota Reno. Awal tahun lalu, saat saya ke sana,
sebagian bangunan pabrik itu sudah jadi. Inilah bangunan pabrik terbesar kedua
di dunia setelah Boeing.
Jepang kelihatannya memilih hydrogen fuel cell. Di
Jepang, mobil listrik dengan energi fuel cell sudah mulai dipasarkan. Saya
menduga pilihan itu didasarkan pada strategi khusus: menghindari ketergantungan
pada Tiongkok. Bahan baku baterai lithium memang dikuasai Tiongkok. Jepang
tidak memiliki sumber rare earth (tanah jarang) sama sekali. Tiongkok-lah yang
menguasai rare earth. Bahkan mencapai lebih 80 persen rare earth dunia. Jepang
bisa takut suatu saat Tiongkok berulah. Misalnya, melarang pengiriman rare
earth ke luar negeri. Amerika (dan Jepang) pernah sewot gara-gara Tiongkok,
delapan tahun lalu, mempersulit ekspor rare earth.
Ke mana arah mobil listrik Tiongkok sendiri? Dulu,
ketika saya masih bebas pergi ke luar negeri, saya sering ke Tiongkok. Antara
lain untuk mengamati arah mobil listrik di sana. Awalnya saya lihat Tiongkok
tidak mau ke baterai atau fuel cell. Tiongkok lebih tertarik pada
superkapasitor. Sampai-sampai ingin mempelajari apa itu superkapasitor. Saya
penasaran. Saya berusaha ketemu ahlinya. Berhasil. Tapi, sang ahli ternyata
tidak mau membuka diri. Ini karena terkait dengan rahasia militer. Apa boleh
buat. Saya bertemu dengan ahli tersebut, tapi tidak mendapat apa-apa. Hanya
berkenalan dan makan-makan.
Pulang ke Indonesia, saya mencari tahu: apakah
Indonesia memiliki ahli superkapasitor? Saya kaget. Ternyata tidak ada. Lebih
tepatnya saya tidak menemukan. Saya sudah ke BPPT, ke ITB, ke ITS, ke Gadjah
Mada. Tidak ada yang ahli superkapasitor. Itu lima tahun lalu. Saat saya
menjabat menteri BUMN. Lalu, saya dengar ada ahli superkapasitor di Universitas
Widya Mandala Surabaya. Dia lulusan Australia. Saat saya ke kampusnya, ternyata
ahli tersebut mengaku baru ingin jadi ahli. Dia dalam tahap meneliti apakah
pelepah pisang bisa jadi bahan superkapasitor. Saya berharap saat ini, lima
tahun kemudian, sudah lahir apa yang saya cari itu.
Sejak itu saya tidak mengikuti lagi perkembangan
superkapasitor. Tiba-tiba, pekan lalu, meledak berita besar di Amerika:
superkapasitor dipastikan bisa jadi pilihan sumber energi untuk mobil listrik.
Tentu perkembangan ini menarik. Tidak perlu menggunakan rare earth sebagai
bahan baku.
Hampir bersamaan dengan itu, muncul juga berita besar
lainnya: baterai sodium. Artinya, baterai ini menggunakan air laut sebagai
bahan penghubung katode. Penemunya adalah anak muda yang dari namanya saya
pikir asli Indonesia: Dr Rana Mohtadi. Ternyata anak ini kelahiran Jordania.
Toyota USA yang mewadahi anak itu yakin sekali: sodiumlah masa depan baterai.
Tidak ada risiko terbakar, tidak berat, tidak cepat habis, murah, dan bahan
bakunya tersedia di semua lautan di segala penjuru dunia.
Ternyata bukan hanya Rana Mohtadi yang bisa mengoreksi
kelemahan lithium. Penemu lithium sendiri sudah menemukan bahan penyempurna
lithium itu. Tidak bisa terbakar, awet, ringan, daya jangkau sepuluh kali lebih
jauh, dan harganya lebih murah.
Penemu lithium puas sekali dengan penyempurnaannya
tersebut. Saat menemukan lithium dulu, Profesor John B. Goodenough masih
berumur 35 tahun. Kini umurnya sudah 90 tahun. Masih aktif sebagai pengajar dan
peneliti di Universitas Texas di AS. Yang hebat, di usia 90 tahun dia masih
menemukan sesuatu yang sangat penting: menyempurnakan penemuannya sendiri.
Profesor Goodenough tidak hanya belajar atas kekurangan
teknis lithium. Lithium adalah penemuan yang hebat. Tapi, dia juga mendengarkan
keluhan publik: proses mewujudkan penemuan itu menjadi produk terlalu lama.
Masyarakat baru bisa membeli baterai lithium lebih 20 tahun kemudian. Terlalu
lama.
Mengapa begitu? Akankah penemuan ini juga baru bisa
dibeli puluhan tahun yang akan datang? Tidak. Profesor Goodenough juga tidak
sabar. Di masa lalu Profesor Goodenough hanya menjual hak patennya kepada satu
perusahaan. Terlalu bergantung pada kemampuan satu perusahaan itu untuk memulai
memproduksinya. Pembeli paten juga melihat dulu apakah pasar sudah bisa menerima
atau belum. Itulah penyebab utama mengapa penemuannya tidak bisa segera
dinikmati masyarakat. Harganya pun menjadi mahal.
Untuk penemuannya kali ini, Profesor Goodenough berubah
strategi. Memberikan hak paten kepada banyak perusahaan sekaligus. Karena itu,
beliau yakin dalam tiga tahun ke depan baterai pengganti lithium sudah bisa
beredar di pasar. Diakuinya, sejak ditemukan dulu, kemajuan lithium sangat
lambat. Hanya 10 persen/lima tahun. Kini, dengan penemuan barunya itu, lithium
meloncat 1.000 persen sekaligus.
Semua perkembangan tersebut tentu kian menambah gairah
maraknya mobil listrik. Selama ini mobil listrik memang masih mahal. Itu
semata-mata karena masalah baterai. Harga baterai saja sudah 50 persen dari
harga mobil. Tapi, tidak lama lagi semua hambatan tersebut teratasi. Mau tidak
mau mobil listrik benar-benar akan menguasai dunia.
Ke mana arah penelitian kita? Baterai lithium? Hydrogen
fuel cell? Superkapasitor? Baterai sodium? Atau belajar santet saja? (*)
JAWA POS, 04 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar