Haluan
Keselamatan
Oleh:
Yudi Latif
Apa yang
lebih mencemaskan dalam praktik penyelenggaraan negara saat ini bukanlah
merebaknya perilaku koruptif, melainkan motif korupsi. Korupsi penyelenggara
negara tak lagi didesak oleh dorongan kebutuhan hidup, tetapi oleh syahwat
keserakahan hidup. Demi penghidupan, banyak orang merendahkan harga diri dengan
mengabaikan prinsip-prinsip kehidupan. Dengan demikian, korupsi hanyalah puncak
dari gunung es kekalutan nilai hidup dan arah hidup. Kekalutan nilai hidup dan
arah hidup merupakan ancaman terbesar bangsa. Bahtera negara takkan karam hanya
karena kurang adidaya atau sumber daya, melainkan karena kekacauan sistem nilai
yang menjerumuskannya ke jalan salah kelola.
Agar
negara berjalan ke arah benar, warga negara harus mengingat trayek sejarah
bangsa. Di atas jalur sejarah bersama, arah negara dituntun oleh dasar
falsafah, norma, dan haluan berencana nan menyeluruh berlandaskan nilai dan
aturan dasar negara. Jika Pancasila berisi falsafah dasar, konstitusi
mengandung aturan dasar, haluan negara memberi arahan dasar. Kaidah Pancasila
dan konstitusi takkan bisa dijalankan secara benar tanpa prinsip-prinsip
direktif yang tepat.
Dalam
menyusun dan menjalankan haluan negara, anak-anak negeri harus menyalakan cinta
negeri di hati. Mereka bukan pendu- duk bak penghuni hotel yang menumpang tidur
tanpa merasa memiliki dan merawat. Mereka adalah warga negara peduli sebagai
pandu pejuang kemajuan negara. Pangkal terdasar ketegaan menyalahgunakan
kekuasaan karena melunturnya cinta negeri.
Jika
korupsi ingin ditumpas, yang pertama harus kita miliki adalah jiwa patriotisme.
Bukan patriotisme militeristik, melainkan berhubungan erat dengan kesalehan
keseharian dalam memenuhi kewajiban kewargaan dan ketaatan hukum, menempatkan
kepentingan negeri di atas kepentingan sendiri. Sejalan dengan itu, agama
dimuliakan dengan menjunjung tinggi akhlaknya. Selama warga republik tetap
beriman dengan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, bukan dalam dosa dan
keburukan, mereka akan kuat dari godaan korupsi. Semua itu harus dibarengi
dengan kedisiplinan. Kedisiplinan yang menjaga dan melaksanakan supremasi
hukum.
Untuk
itu, negara harus mengemban fungsi pendidikan. Basis legitimasi negara bukan
saja kemampuannya dalam menampung aspirasi dan melayani kepentingan rakyatnya,
melainkan juga oleh kesanggupannya untuk bertindak sebagai pendidik (tutor)
bagi rakyatnya tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dengan
mengembangkan budaya kewargaan (citizenship).
Salah
satu misi negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Usaha negara untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa ini tidak hanya terbatas pada ukuran-ukuran
kecerdasan diri yang bersifat personal (seperti dalam ukuran intelligent
quotient) tetapi juga kecerdasan diri bersifat publik.
Hendaklah
diingat kedirian manusia terdiri atas dua bagian: kedirian bersifat privat
(private self)—kedirian bersifat personal dan khas, dan kedirian bersifat
publik (public self)—kedirian yang melibatkan relasi sosial. Keduanya bisa
dibedakan, tetapi tak bisa di- pisahkan. Kelemahan utama kecerdasan diri
manusia Indonesia sangat mencolok pada aspek kedirian yang bersifat publik.
Mudah dilihat bagaimana orang-orang dengan pribadi baik terseret arus negatif
begitu mengemban jabatan publik. Hampir semua hal bersifat kolektif (parpol,
lembaga perwakilan, birokrasi, aparatur hukum, bahkan organisasi keagamaan)
mengalami masalah integritas.
Krisis
pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kelemahan proses pendidikan
dan pembudayaan dalam mengembangkan ”kecerdasan kewargaan” (civic intelligence
quotient). Pendidikan terlalu mene- kankan kecerdasan personal, dengan
mengabaikan usaha mempertautkan keragaman kecerdasan personal itu ke dalam
kecerdasan kolektif kewargaan. Akibatnya, banyak manusia baik dan cerdas tidak
menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar
kewajiban dan haknya).
Padahal,
bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk tidak mungkin bisa dijumlahkan
menjadi kebaikan bersama kalau tidak menemukan bilangan penyebut sama (common
denominator), sebagai ekspresi identitas dan kehendak bersama. Karena itu,
pendidikan kecerdasan kewargaan berlandaskan Pancasila merupakan kunci
integritas. Manakala tanda-tanda negara berjalan tanpa panduan nilai dan salah
arah, pandu pejuang harus merasa terpanggil untuk mengembalikannya ke jalan
benar dengan memperkuat pendidikan kewargaan dengan memancangkan kembali
markah-markah haluan negara.
Markah-markah
haluan negara terkait pengembangan kecerdasan kewargaan itu harus mengandung
haluan bersifat ideologis dan strategis-teknokratis. Penyusunan haluan
dilakukan dengan memadukan pendekatan deduktif dan induktif. Pendekatan
deduktif untuk menyusun prinsip-prinsip direktif yang bersifat ideologis.
Pendekatan induktif untuk menyusun prinsip-prinsip direktif yang bersifaf
strategis-teknokratis, dengan jalan menampung berbagai aspirasi. Dengan cara
itu, rencana pembinaan bisa selaras dengan nilai-nilai penuntun; saat sama
memiliki relevansi kuat dengan kebutuhan masyarakat. []
KOMPAS,
28 November 2017
Yudi
Latif ; Kepala UKP-PIP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar