Rabu, 27 Desember 2017

Azyumardi: Adicerita Hamka (3)



Adicerita Hamka (3)
Oleh: Azyumardi Azra

Adicerita Hamka tentang Indonesia modern yang dibayangkannya belum selesai. Seperti diungkap James Rush, Hamka’s Great Story: A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia (edisi Inggris 2016; Indonesia 2017) dalam adiceritanya Hamka membayangkan lebih jauh tentang ‘Islam untuk Indonesia’.

Atas dasar bacaannya yang akurat tentang sejarah, Hamka menolak ‘negara Islam’ dan/atau khilafah. Menurut Hamka, kekhalifahan sudah menjadi masa lalu; dan karena itu tidak lagi relevan untuk masa kini dan mendatang. Bagi dia, teokrasi juga tidak relevan; “Indonesia seharusnya tidak menjadi teokrasi”.

Dalam adiceritanya, Hamka memandang, sistem politik yang diadopsi para pendiri bangsa sudah tepat. Dia menjelaskan, adopsi demokrasi sudah tepat pula karena demokrasi kita [Indonesia] juga punya akar dalam Islam.

Dalam kaitan itu, Rush mengutip Hamka yang menyatakan: “Berabad-abad lalu Nabi Muhammad menunjukkan caranya. Dia dan para sahabat mempraktikkan satu bentuk demokrasi, di mana keputusan-keputusan penting dibuat dengan musyawarah (syura).

Selain itu, nilai-nilai modern demokrasi sudah ada dalam Alquran dan hadis. Nilai-nilai itu mencakup kesetaraan semua manusia di mata Allah, kebebasan dari tirani, kebebasan berpikir dan berbicara, dan keadilan sosial. Nabi Muhammad sendiri tidak menetapkan bentuk pemerintahan tertentu, termasuk khilafah”.

Hamka menegaskan, Alquran dan contoh dari Nabi Muhammad sendiri memberikan kebebasan kepada umat Islam memilih bentuk pemerintahan yang cocok dengan zamannya. Dengan argumen itu, Hamka mendukung negara Indonesia merdeka yang memilih bentuk republik berdasarkan prinsip dan nilai demokrasi.

Perjalanan demokrasi Indonesia tidak selalui sesuai dengan adicerita Hamka. Dia mengecam Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan Presiden Sukarno melalui Dekrit Juli 1958. Hamka menyebut Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk ‘totalitarianisme’ Sukarno.

Sikap Hamka seperti itulah yang membuatnya memuat tulisan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta berjudul ‘Demokrasi Kita’ dalam majalah Panji Masyarakat yang dia pimpin. Mengkritik Demokrasi Terpimpin, akibatnya Panji Masyarakat terkena pemberedelan oleh Presiden Sukarno.

Berdasarkan pengetahuannya yang dalam tentang sejarah dan refleksinya mengenai Indonesia, Hamka menerima Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 dengan UUD 1945. Bagi Hamka dalam kaitan dengan eksistensi Indonesia, ada beberapa prinsip yang tidak bisa diubah. Di antara yang paling pokok tidak boleh diubah itu adalah Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan kerangka berpikir seperti itu, dalam kesimpulan Rush, Hamka selalu menentang upaya untuk menjadikan Indonesia negara Islam. Bagi Hamka, bukan negaranya yang harus menjadi Islam; tetapi masyarakatnya—mengisi dengan [nilai-nilai] Islam. “Indonesia sebagai ‘negara Islam’ bakal terbukti karena kehidupan umat kita”.

Adicerita Hamka tentang negara Indonesia modern juga mencakup toleransi beragama. Dalam konteks itu, Hamka mengutip ajaran Nabi Muhammad SAW; berbuat buruk terhadap non-Muslim (dalam sejarah Rasulullah, terutama orang Kristiani dan Yahudi yang memiliki tradisi kenabian yang sama) sama saja dengan berbuat buruk terhadap Nabi.

Lebih jauh, dalam buku kecil Islam dan Demokrasi (1946), Hamka menguraikan lebih lanjut tentang toleransi terkait dengan sila pertama Pancasila—Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi Hamka itulah dasar negara yang autentik.

Selanjutnya: “Walau Tuhan punya banyak nama, hanya ada satu Tuhan. Dan Tuhan-lah yang memberikan tanah yang cantik molek ini kepada leluhur kita, lama sebelum mereka menjadi umat Buddha, Hindu, Muslim, dan Kristen”.

Dalam karya yang ditulis di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, Hamka menegaskan: \"Dalam saat penting ini, kita jangan terpecah belah dari sesama orang Indonesia. Justru, marilah kita puja ‘Tuhan Yang Maha Esa' itu menurut agama dan keyakinan kita masing-masing, marilah kita berdoa dalam sembahyang kita, kiranya tanah pemberian-Nya ini senantiasa diberinya perlindungan”.

Rush menyimpulkan, Hamka sangat percaya dengan keselarasan antaragama. Dia sering berbicara tentang sejarah toleransi Islam. Pemeluk berbagai agama harus hidup berdampingan secara damai sebagai bangsa Indonesia dengan beribadah sendiri-sendiri.

Meski demikian, Hamka menegaskan, saling hormat menghormati adalah kunci keselarasan dan kerukunan itu. Mencoba mengajak umat suatu agama pindah ke agama lain jelas melanggar rasa hormat itu. Hamka tidak menyembunyikan kegusaran tentang masalah ini. []

REPUBLIKA, 14 Desember 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar