Jumat, 15 Desember 2017

Nasaruddin Umar: Lain Radikal Lain Fanatik



Lain Radikal Lain Fanatik
Oleh: Nasaruddin Umar

MESKIPUN memiliki persamaan, antara radikal dan fanatik tetap berbeda. Para pengamat dan pemerintah bisa keliru membuat kebijakan jika keduanya disamakan. Kekeliruan seperti ini bisa mendatangkan dampak lebih jauh. Kita tidak menginginkan penyelesaian satu masalah dengan mengorbankan kelompok yang sesungguhnya tidak berdosa.

Terkadang orang dicap dengan sesuatu yang negatif dengan segala akibatnya hanya karena istilah yang digunakannya rancu. Misalnya si A adalah fanatik. Akhirnya si A harus menanggung akibatnya sebagai orang yang dijauhi sebagian masyarakat karena banyak orang mengindikasikan atau menyamakan antara fanatik dan radikal, apalagi teroris.

Padahal, antara pengertian fanatik dan radikal sangat berbeda. Radikal selalu menjadi konotasi negatif, setingkat di bawah teroris, sedangkan fanatik belum tentu radikal. Bahkan mungkin ada orang yang fanatik, tetapi sikap dan pikirannya moderat atau mungkin agak liberal. Radikal tidak pernah mau mengakomodasi garis moderat apalagi liberal. Karena itulah mereka disebut kelompok radikal. Lagi pula radikalisme bisa berujung teroris, sedangkan fanatik tidak mengarah ke sana.

Agama juga bisa menjadi korban karena istilah yang dilekatkan kepadanya. Contohnya, di Amerika Serikat, masyarakat sering menyebut Islam sebagai agama jihad. Konotasi jihad dalam kosakata bahasa Inggris populer sering diidentikkan dengan radikal dan teroris.

Akibatnya, Islam yang begitu luhur nilai-nilainya direduksi menjadi agama teroris, agama kekerasan, agama radikal, dan istilah negatif lainnya. Contoh lain, kata madrasah selalu dikonotasikan dengan sekolah kelompok radikal yang akan memproduk orang-orang jihadis dalam arti kelompok radikal.

Pekerjaan penulis paling berat saat beberapa waktu lalu ke Amerika Serikat ialah meluruskan makna jihad dan madrasah, baik melalui ceramah dan diskusi maupun melalui media cetak dan elektronik. Untungnya penulis orang Indonesia, berbagai pihak menganggapnya paling netral berbicara tentang Islam.

Sesungguhnya fanatik berarti orang-orang yang menjalankan ajaran agamanya, khususnya dalam bidang ubudiyah, secara konsisten. Mereka istikamah menutup aurat, menjalankan seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangan-Nya, dan tetap memberikan ruang bagi orang lain menganut dan mengamalkan ajaran agama mereka masing-masing.

Karena itu, tidak semua perempuan berhijab, laki-laki berjenggot-berkumis, beratribut Timur Tengah, dan bercelana jingkrang itu beraliran keras (hard liner) atau kelompok radikal. Sepanjang mereka tidak memaksakan kehendaknya atau secara frontal menyalahkan orang lain yang berbeda dengannya, bahkan toleransi tetap dipertahankan, maka tidak ada alasan mengatakan mereka itu kelompok radikal.

Populasi komunitas seperti ini cenderung makin berkembang di dalam masyarakat. Mereka tidak boleh digeneralisasi sebagai kelompok radikal hanya karena identitas fisik. Banyak kelompok radikal bahkan sudah sedang menjalani hukuman di penjara dengan tuduhan teroris, tetapi rambutnya gondrong, celana jeans kumal, tidak berjenggot dan tidak berkumis. Namun, isi kepala dan jiwanya betul-betul radikal bahkan sudah terbukti teroris. Radikalisme sesungguhnya adalah suatu paham yang mempunyai keyakinan ideologi tinggi dan fanatik serta selalu berjuang untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung. Radikalisme jelas jauh lebih berbahaya secara politik daripada fanatik. []

MEDIA INDONESIA, 02 Desember 2017
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar