Lain Radikal Lain Fanatik
Oleh: Nasaruddin Umar
MESKIPUN memiliki persamaan, antara radikal dan fanatik tetap
berbeda. Para pengamat dan pemerintah bisa keliru membuat kebijakan jika
keduanya disamakan. Kekeliruan seperti ini bisa mendatangkan dampak lebih jauh.
Kita tidak menginginkan penyelesaian satu masalah dengan mengorbankan kelompok
yang sesungguhnya tidak berdosa.
Terkadang orang dicap dengan sesuatu yang negatif dengan segala
akibatnya hanya karena istilah yang digunakannya rancu. Misalnya si A adalah
fanatik. Akhirnya si A harus menanggung akibatnya sebagai orang yang dijauhi
sebagian masyarakat karena banyak orang mengindikasikan atau menyamakan antara
fanatik dan radikal, apalagi teroris.
Padahal, antara pengertian fanatik dan radikal sangat berbeda.
Radikal selalu menjadi konotasi negatif, setingkat di bawah teroris, sedangkan
fanatik belum tentu radikal. Bahkan mungkin ada orang yang fanatik, tetapi
sikap dan pikirannya moderat atau mungkin agak liberal. Radikal tidak pernah
mau mengakomodasi garis moderat apalagi liberal. Karena itulah mereka disebut
kelompok radikal. Lagi pula radikalisme bisa berujung teroris, sedangkan fanatik
tidak mengarah ke sana.
Agama juga bisa menjadi korban karena istilah yang dilekatkan
kepadanya. Contohnya, di Amerika Serikat, masyarakat sering menyebut Islam
sebagai agama jihad. Konotasi jihad dalam kosakata bahasa Inggris populer
sering diidentikkan dengan radikal dan teroris.
Akibatnya, Islam yang begitu luhur nilai-nilainya direduksi menjadi agama teroris, agama kekerasan, agama radikal, dan istilah negatif lainnya. Contoh lain, kata madrasah selalu dikonotasikan dengan sekolah kelompok radikal yang akan memproduk orang-orang jihadis dalam arti kelompok radikal.
Pekerjaan penulis paling berat saat beberapa waktu lalu ke Amerika
Serikat ialah meluruskan makna jihad dan madrasah, baik melalui ceramah dan
diskusi maupun melalui media cetak dan elektronik. Untungnya penulis orang
Indonesia, berbagai pihak menganggapnya paling netral berbicara tentang Islam.
Sesungguhnya fanatik berarti orang-orang yang menjalankan ajaran
agamanya, khususnya dalam bidang ubudiyah, secara konsisten. Mereka istikamah
menutup aurat, menjalankan seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangan-Nya,
dan tetap memberikan ruang bagi orang lain menganut dan mengamalkan ajaran
agama mereka masing-masing.
Karena itu, tidak semua perempuan berhijab, laki-laki
berjenggot-berkumis, beratribut Timur Tengah, dan bercelana jingkrang itu
beraliran keras (hard liner) atau kelompok radikal. Sepanjang mereka tidak
memaksakan kehendaknya atau secara frontal menyalahkan orang lain yang berbeda
dengannya, bahkan toleransi tetap dipertahankan, maka tidak ada alasan
mengatakan mereka itu kelompok radikal.
Populasi komunitas seperti ini cenderung makin berkembang di dalam
masyarakat. Mereka tidak boleh digeneralisasi sebagai kelompok radikal hanya
karena identitas fisik. Banyak kelompok radikal bahkan sudah sedang menjalani
hukuman di penjara dengan tuduhan teroris, tetapi rambutnya gondrong, celana
jeans kumal, tidak berjenggot dan tidak berkumis. Namun, isi kepala dan jiwanya
betul-betul radikal bahkan sudah terbukti teroris. Radikalisme sesungguhnya
adalah suatu paham yang mempunyai keyakinan ideologi tinggi dan fanatik serta
selalu berjuang untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang
berlangsung. Radikalisme jelas jauh lebih berbahaya secara politik daripada
fanatik. []
MEDIA INDONESIA, 02 Desember 2017
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar