Istilah Halal Bihalal Muncul dari Solo?
Pada saat Lebaran, masyarakat Indonesia
mengadakan acara halal bihalal atau bersilaturahmi untuk saling memaafkan.
Di masyarakat Jawa, tradisi ini disebut juga dengan Sungkeman. Konon tradisi
ini dari kota Solo.
Menurut keterangan Kanjeng Gusti Pangeran
Haryo (KGPH) Puger, Pengageng Kasentanan Keraton Surakarta, tradisi sungkeman
di Keraton Kasunanan Surakarta, dan Kadipaten Pura Mangkunegaran, pertama kali
dilakukan di era KGPAA Sri Mangkunegara I.
“Saat itu, beliau bersama seluruh punggawanya
berkumpul bersama dan saling bermaafan setelah salat Id dilakukan,” kata Gusti
Puger, Kamis (8/8) lalu.
Namun seiring dengan pergolakan yang terjadi
di Nusantara pada saat itu, pihak Keraton sendiri tak bisa leluasa menggelar
tradisi sungkeman.
Penyebabnya karena kaum kolonial mencurigai tradisi sungkeman, sebagai
pertemuan terselubung untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Bahkan, pernah suat kali saat terjadi prosesi
sungkeman di gedung Habipraya, Singosaren, saat Lebaran pada tahun 1930,
Belanda nyaris saja menangkap Ir Soekarno, dan dr R. Radjiman Widyodiningrat
yang merupakan dokter pribadi SISKS Paku Buwono (PB) X, Raja Keraton Surakarta.
“Jadi memang sangat diawasi pihak kolonial
saat itu. Tapi karena peristiwa itulah, akhirnya PB X justru malah membuka
tradisi sungkeman menjadi semacam open house seperti sekarang,” jelas Gusti Puger.
Senada, Kanjeng Raden Arya (KRA)
Hudayaningrat, salah satu pengamat sejarah di kota Solo membenarkan jika
tradisi Halal
Bihalal berasal dari Solo. Menurutnya semua itu berawal dari sabda
PB X, saat peristiwa pengepungan oleh Belanda di Gedung Habipraya terjadi saat
hari raya Idul Fitri tahun 1930.
“Betul sekali. Saat itu Ir Soekarno, dan dr
Radjiman Widyodiningrat mau ditangkap Belanda, karena dituduh menggalang masa
untuk melawan kolonialisme di Gedung Habipraya saat Lebaran,” ungkap
Hudayaningrat.
PB X yang juga berada di lokasi pada saat
itu, spontan menjawab jika itu bukan aksi penggalangan masa, tapi halal bi halal
saat Lebaran. Dan yang dimaksud halal bi halal yang sungkeman itu sendiri.
“Para ulama Keraton Surakarta sendiri pada
saat itu bingung apa arti halal bi halal. Tapi karena itu sabda Raja yang
juga merupakan pemuka agama tertinggi di Surakarta, maka dianggap menjadi
sebuah kesepakatan bersama, dan terus dipakai hingga sekarang,” kata
Hudayaningrat. []
(Ajie Najmuddin/Red:Anam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar