Idul Fitri vs. Prilaku
Konsumtif
Oleh: Ab. Hadi Mulyono
Di tengah rasa bahagia menyambut hari raya
Idul Fitri, lihat betapa pasar, swalayan, supermarket dan mal-mal menjadi lebih
menarik untuk dikunjungi ketimbang tempat-tempat peribadatan. Bahkan tampaknya,
pusat-pusat perbelanjaan ini telah menjadi tempat ibadah itu sendiri. Belanja
besar-besaran seakan merupakan ekspresi keberagamaan mereka, dalam menyambut
datangnya hari kemenangan.
Tidak! Menyambut Idul Fitri bukan dengan cara
menghambur-hamburkan harta.
Kita mengenal istilah konsumerisme, yakni
sebuah ajaran yang mengarahkan kita menjadi objek bahkan korban dari berbagai
inovasi produk-produk baru yang diciptakan oleh para pemodal dan pedagang;
menjadikan kita merasa membutuhkan sesuatu yang sesungguhnya tidak kita
butuhkan. Singkatnya konsumerisme mengarahkan kita untuk mengkonsumsi sesuatu
secara tidak wajar, entah itu barang-barang fisik ataupun berupa gaya hidup
(live style).
Konsumerisme tidak terlepas dari banyaknya
model satu produk yang diciptakan, ditambah banyaknya fasilitas penunjangnya.
Juga tidak lepas dari peran media informasi yang kemudian berubah bentuk
menjadi media iklan. Melalui media iklan, kehausan manusia akan informasi telah
mengantarkan kita pada bentuk kecanduan sesuatu di luar batas kebutuhan kita.
Tak peduli sekalipun penghasilan dan anggaran
keuangan keluarga tak mencukupi, yang penting bisa memborong hal-hal yang
diinginkan merupakan kepuasan. Ditambah decak kagum dan sorot mata kecemburuan
yang dikombinasi dengan komentar ”wah” dari para tetangga mampu membawa kita ke
alam konsumerisme ini.
Konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru.
Sebab pada dasarnya ajaran yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal
telah mengakar kuat di dalam kemanusiaan kita (our humanity). Hal ini bisa kita
lihat dari ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di
jaman modern ini.
Tendensi yang ada dalam diri manusia untuk
selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment) dengan hal-hal yang telah
mereka miliki, ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat
kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat
pola hidup konsumerisme semakin subur dan berkembang amat cepat saja.
Pola hidup konsumerisme ini tak ubahnya virus
yang yang mampu menular dengan amat halus dari satu individu ke individu
lainnya. Apalagi bila budaya gengsi, pamor dan status sosial-keningratan masih
saja dijadikan patokan untuk menilai kemanusiaan seseorang.
Konsumerisme ini telah mengubah banyak aspek
dalam kehidupan manusia di jaman ini. Sayangnya perubahan yang terjadi ini,
lebih menjurus pada hal-hal yang bersifat negatif dan menyengsarakan hidup
manusia itu sendiri.
Nah, orang-orang yang beragama yang sudah
terkena virus konsumerisme itu sering membuat-buat semacam alasan untuk
memenuhi kebutuhan konsumerisnya. Dia beralasan mengkunsumsi ini dan itu dengan
alasan untuk menjalankan perintah agama: agar lebih mudah menjalankan pengabdian
kepada Allah SWT, tapi ternyata tidak. Alasan keagamaan hanya menjadi tameng.
Budaya konsumtif yang sementara ini menjadi
penyakit yang sangat akut di negeri ini adalah sebab warganya terutama umat
islamnya tidak menjalankan ajaran agama secara benar. Warga yang taat beragama
seharusnya tidak akan dikejar-kejar oleh gemerlap produk-produk baru, terutama
yang bermerek dari negeri sebrang.
Lebih luas lagi, masyarakat dan bangsa
Indonesia masih terlalu bergantung kepada bangsa lain. Bangsa Indonesia kurang
rela menerima apa adanya dan mendayagunakan anugerah yang telah diterima. Ini
berbahaya. Apalagi jika ketergantungan itu justru terkait dengan produk-produk
konsumsi yang sesungguhnya remeh dan tidak penting.
Ada baiknya kita mengulang kembali pelajaran
tentang qona’ah, menerima apa adanya, menikmati harta dunia secukupnya.
Rasulullah SAW menyatakan, orang yang tidak qona’ah akan mencari gunung emas
yang kedua, ketiga dan seterusnya, jika dia telah mendapatkan satu gunung emas.
Maka setidaknya ajaran mengenai qana’ah ini bisa mengerem prilaku konsumtif
kita.
Kita yang bekerja keras sepanjang tahun
semestinya bisa memanage harta benda yang kita cari sepanjang tahun. Hasil
keringat kita mestinya bisa ditasharufkan untuk sesuatu yang lebih berguna
untuk diri kita, keluarga kita dan masyarakat sekitar kita. Anda yang mudik
berlebaran ke kampung halaman tidak perlu memanjakan keluarga di kampung dengan
mengajak berbelanja habis-habisan berbagai barang konsumsi. Mestinya uang THR
yang kita persiapkan, atau apapun namanya, bisa diberdayakan dalam bentuk usaha
produktif untuk bisa dijalankan oleh keluarga atau masyarakat kampung kita.
Ab. Hadi Mulyono
Pengajar sosiologi perkotaan, warga nahdliyin
tinggal di Bekasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar