Selasa, 13 Agustus 2013

(Ngaji of the Day) Idul Fitri vs. Prilaku Konsumtif


Idul Fitri vs. Prilaku Konsumtif

Oleh: Ab. Hadi Mulyono

 

Di tengah rasa bahagia menyambut hari raya Idul Fitri, lihat betapa pasar, swalayan, supermarket dan mal-mal menjadi lebih menarik untuk dikunjungi ketimbang tempat-tempat peribadatan. Bahkan tampaknya, pusat-pusat perbelanjaan ini telah menjadi tempat ibadah itu sendiri. Belanja besar-besaran seakan merupakan ekspresi keberagamaan mereka, dalam menyambut datangnya hari kemenangan.

 

Tidak! Menyambut Idul Fitri bukan dengan cara menghambur-hamburkan harta.

 

Kita mengenal istilah konsumerisme, yakni sebuah ajaran yang mengarahkan kita menjadi objek bahkan korban dari berbagai inovasi produk-produk baru yang diciptakan oleh para pemodal dan pedagang; menjadikan kita merasa membutuhkan sesuatu yang sesungguhnya tidak kita butuhkan. Singkatnya konsumerisme mengarahkan kita untuk mengkonsumsi sesuatu secara tidak wajar, entah itu barang-barang fisik ataupun berupa gaya hidup (live style).

 

Konsumerisme tidak terlepas dari banyaknya model satu produk yang diciptakan, ditambah banyaknya fasilitas penunjangnya. Juga tidak lepas dari peran media informasi yang kemudian berubah bentuk menjadi media iklan. Melalui media iklan, kehausan manusia akan informasi telah mengantarkan kita pada bentuk kecanduan sesuatu di luar batas kebutuhan kita.

 

Tak peduli sekalipun penghasilan dan anggaran keuangan keluarga tak mencukupi, yang penting bisa memborong hal-hal yang diinginkan merupakan kepuasan. Ditambah decak kagum dan sorot mata kecemburuan yang dikombinasi dengan komentar ”wah” dari para tetangga mampu membawa kita ke alam konsumerisme ini.

 

Konsumerisme bukan sesuatu hal yang baru. Sebab pada dasarnya ajaran yang satu ini ternyata sudah lama ada dan sejak awal telah mengakar kuat di dalam kemanusiaan kita (our humanity). Hal ini bisa kita lihat dari ekspresinya yang paling primitif hingga yang paling mutakhir di jaman modern ini.

 

Tendensi yang ada dalam diri manusia untuk selalu tak pernah puas (never-ending-discontentment) dengan hal-hal yang telah mereka miliki, ditambah dengan dorongan kuat ambisi pribadi dan semangat kompetisi untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada tetangga sebelah membuat pola hidup konsumerisme semakin subur dan berkembang amat cepat saja.

 

Pola hidup konsumerisme ini tak ubahnya virus yang yang mampu menular dengan amat halus dari satu individu ke individu lainnya. Apalagi bila budaya gengsi, pamor dan status sosial-keningratan masih saja dijadikan patokan untuk menilai kemanusiaan seseorang.

 

Konsumerisme ini telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia di jaman ini. Sayangnya perubahan yang terjadi ini, lebih menjurus pada hal-hal yang bersifat negatif dan menyengsarakan hidup manusia itu sendiri.

 

Nah, orang-orang yang beragama yang sudah terkena virus konsumerisme itu sering membuat-buat semacam alasan untuk memenuhi kebutuhan konsumerisnya. Dia beralasan mengkunsumsi ini dan itu dengan alasan untuk menjalankan perintah agama: agar lebih mudah menjalankan pengabdian kepada Allah SWT, tapi ternyata tidak. Alasan keagamaan hanya menjadi tameng.

 

Budaya konsumtif yang sementara ini menjadi penyakit yang sangat akut di negeri ini adalah sebab warganya terutama umat islamnya tidak menjalankan ajaran agama secara benar. Warga yang taat beragama seharusnya tidak akan dikejar-kejar oleh gemerlap produk-produk baru, terutama yang bermerek dari negeri sebrang.

 

Lebih luas lagi, masyarakat dan bangsa Indonesia masih terlalu bergantung kepada bangsa lain. Bangsa Indonesia kurang rela menerima apa adanya dan mendayagunakan anugerah yang telah diterima. Ini berbahaya. Apalagi jika ketergantungan itu justru terkait dengan produk-produk konsumsi yang sesungguhnya remeh dan tidak penting.

 

Ada baiknya kita mengulang kembali pelajaran tentang qona’ah, menerima apa adanya, menikmati harta dunia secukupnya. Rasulullah SAW menyatakan, orang yang tidak qona’ah akan mencari gunung emas yang kedua, ketiga dan seterusnya, jika dia telah mendapatkan satu gunung emas. Maka setidaknya ajaran mengenai qana’ah ini bisa mengerem prilaku konsumtif kita.

 

Kita yang bekerja keras sepanjang tahun semestinya bisa memanage harta benda yang kita cari sepanjang tahun. Hasil keringat kita mestinya bisa ditasharufkan untuk sesuatu yang lebih berguna untuk diri kita, keluarga kita dan masyarakat sekitar kita. Anda yang mudik berlebaran ke kampung halaman tidak perlu memanjakan keluarga di kampung dengan mengajak berbelanja habis-habisan berbagai barang konsumsi. Mestinya uang THR yang kita persiapkan, atau apapun namanya, bisa diberdayakan dalam bentuk usaha produktif untuk bisa dijalankan oleh keluarga atau masyarakat kampung kita.

 

Ab. Hadi Mulyono

Pengajar sosiologi perkotaan, warga nahdliyin tinggal di Bekasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar