Selasa, 27 Agustus 2013

(Ngaji of the Day) Musik dan Penghayatan Religius Sufi


Musik dan Penghayatan Religius Sufi

Oleh: Muzakki Kholil

 

Imam al-Ghazali tetap bersikukuh pada pendapatnya tentang sama’, yakni konser kerohanian para sufi yang disertai pembacaan sajak dan tari-tarian. Meskipun para pakar fikih menegaskan bahwa musik itu dilarang, Imam Syafi’i memakruhkan musik dan tidak menerima kesaksian dari orang yang mendengarkan musik. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah mengharamkan. Bahkan, sebagian kalangan sufi sendiri ada yang berkomentar miring tentang nyanyian. Fudail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah perisai zina.” Abdullah bin Mas’ud bahkan menyatakan, “Nyanyian dapat menumbuhkan sifat munafik”.


Sama’ sebenarnya bersumber dari kodrat tubuh dan jiwa menusia sendiri. Manusia tidak dapat dipisahkan dari ritme atau musik, dan musik sangat penting bagi kesegaran jiwa. Ada musik yang dapat membahagaiakan dan ada yang dapat membuat sedih. Bagi sebagian besar kalangan sufi, sama’ merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada sang Khalik. Sama’ dapat mempengaruhi keadaan hati dari lupa menuju ingat kepada Tuhan. Sebagian sufi berkata, “Sama’ adalah makanan jiwa bagi ahli ma’rifat.” Sama’ dapat membawa pengdengarnya ke puncak spiritualitas yang disebut dalam istilah tasawuf dengan wajd.


Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’, setelah mengutip beberapa pendapat tentang hal-ihwal wajd, mengatakan, wajd adalah salah suatu keadaan yang dihasilkan oleh sama’, ia berupa warid (intuisi) dari Allah SWT yang datang kepada jiwa pendengarnya. Keadaan itu ada yang mengarah kepada mukasyafat dan musyahadat, dan ada yang mengarah pada perubahan pada ahwal, seperti rasa rindu, takut, dan lain-lain. Keadaan itu juga dapat membakar hati dan membersihkannya dari karat-karat nafsu yang sebagaimana api yang membakar dan menghilangkan karat-karat besi. Perubahan-perubahan yang terjadi ketika wajd juga nampak pada keadaan lahir. Ada yang sampai menangis, berteriak, bahkan ada yang naik terbang beberapa meter dari permukaan bumi.


Para sufi juga memandang bahwa sama’ berkaitan dengan tajarrud, yakni pembebasan dari alam benda melalui sarana yang berasal dari alam benda itu sendiri. Meskipun suara, bunyi, ritme, nada, dan lain-lain berasal dari alam benda yang dikuasai bentuk dan rupa, namun ia mempunyai hubungan dengan alam kerohanian yang tidak mempunyai rupa. Seperti hukum fikih yang terkait dengan hukum lahir, tapi ia bertalian dengan hakikat dan makna spritual agama.


Musik menurut tinjauan al-Ghazali secara umum bukanlah hal yang tabu. Musik menjadi hal yang tabu karena ada faktor eksternal, sedangkan hakikat musik sendiri sama dengan bunyi-bunyian yang lain seperti kicauan burung, ringkikan kuda, dll. Kecuali beberapa alat musik yang sudah di-nash keharamannya.


Al-Ghazali—seperti kebanyakan para sufi—menjadikan musik sebagai sarana untuk mencapai ma’rifat. Hati adalah tempat bersemayam rahasia-rahasia Ilahi yang tidak bisa tergali kecuali dengan sama’. Nyanyian-nyanyian indah dan merdu yang bernuansa religius dapat menembus ke dalam relung hati pendengarnya.


Banyak tarekat-tarekat yang menjadikan sama’ sebagai media zikirnya, seperti Tarekat al-Mawlawiyah, Alawiyah, Sanusiyah, dan lain-lain. Yang disebut pertama adalah tarekat yang berdiri di Anatolia (Asia Kecil) Turki pada Abad ketiga belas. Sampai sekarang merupakan tarekat yang berpengaruh di sana. Asal-muasal tarekat ini menggunakan sama’ sebagi sarana zikir mempunyai kisah yang unik. Pendiri tareakat ini, Jalaluddin ar-Rumi (604 H/1207 M-672H/1273 M), pada suatu hari dia mengunjungi sahabatnya Husamuddin, seorang pandai besi dan emas. Di depan kedai sahabatnya itu, ar-Rumi tiba-tiba terpesona mendengar pukulan palu berulang-ulang pada landasan besi. Dia seakan mendengar seruan, “Allah!, Allah!, Allah!” berulang-ulang. Dengan spontan dia menari berputar-putar sehingga menjadi wajd. Sejak itulah ia mengajarkan tari berputar seperti gasing kepada para pengikutnya disertai iringan musik dan pembacaan sajak.


Sementara itu, kelompok yang getol menolak sama’ datang dari kelompok fuqaha’ dan sebagian dari kalangan mutashawwifah sendiri. Sebagian mutashawwifah berpanangan bahwa ajaran tasawuf tidak layak terkontaminasi dengan hal-hal yang tidak serius, sebab ajaran tasawuf menekankan pada kesungguhan dan keseriuasan. Sama’ bagi mereka seperti gurauan yang tidak berfaidah. Imam adh-Dhahak bilang, “Nyanyian bisa merusak hati dan membuat murka Tuhan.” Imam Junaid mengatakan, “Bila ada seorang murid yang ingin melakukan aktivitas sama’, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya dia melakukan aktivitas yang sia-sia.”


Imam Junaid sebenarnya melakukan aktivitas sama’ seperti juga Imam Sahal at-Tasturi dan Imam Sari as-Saqati, hanya saja beliau melarang kepada seorang murid yang notabene belum memiliki kekuatan spiritual seperti mereka. Karena itu, ketika Abul Abbas Khidir AS. ditanya tentang kontroversi sama’, beliau manjawab, “Ia adalah sesuatu yang dapat membersihkan kesalahan, tapi hanya ulama yang bisa selamat di atasnya.” Ada yang mengatakan bahwa sama’ hanyalah boleh dilakukan oleh para ‘arifin yang sudah stabil, bukan seorang murid pemula.


Jadi, bukan sembarang orang yang bisa menjadikan sama’ sebagai sarana dan media untuk taqarrub kepada Allah SWT. Hanyalah jiwa yang mulia dan bersih hatinya dari kotoran serta terbebas dari belenggu hawa nafsu. Sedangkan tujuan utama sama’ adalah taqarrub kepada Allah SWT dengan bisa mencapai wajd. Sementara itu, bukan hanya dengan sama’ untuk mencapai wajd, masih banyak cara yang lain, seperti membaca dan mendengarkan al-Quran, zikir, dan lain-lain. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur, Edisi 04, Halaman 35 – 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar