Sorgum,
Sapi, dan Burung di Belu
Senin, 26 Agustus 2013
Pesawat militer CN 295 TNI-AU
mendarat mulus di landasan yang hanya 1.200 meter yang masih berdebu di
Atambua, Belu. Kabupaten yang berbatasan dengan Timor Leste. Itulah kali
pertama saya naik pesawat yang sudah lama saya sebut-sebut namanya, tapi belum pernah
saya rasakan terbangnya.
Cuaca
pagi Atambua sangat cerah. Meski mulai menggersang, udaranya enak, tidak panas
menyengat: 28 derajat Celsius. Ini berbeda dengan kedatangan saya ke Atambua
lima bulan lalu. Saya harus lewat jalan darat dari Dili, Timor Leste. Itu
karena mendung tebal terus menggelayut di langit Atambua sepanjang hari. Itulah
hari pencanangan gerakan sorgum dengan langkah awal uji coba penanaman pertama.
Hujan terus mengguyur upacara. Wah, ini pertanda akan tersendat atau justru
sebaliknya, akan berkah.
Hujan itu
ternyata berkah. Sabtu lalu, ketika saya ke Atambua lagi, sorgumnya sudah
panen. Bagus lagi. Murid-murid SMK Atambua dan SMK Kupang juga sudah bisa
memamerkan semua peralatan buatan mereka: pemerah batang sorgum untuk jadi gula,
perontok biji sorgum, penyosoh, alat destilasi bioetanol, pencacah ampas, mixer
pupuk, dan seterusnya.
Ini hasil
dari pendidikan dua bulan di Jakarta. Anak-anak SMK itu memang dikirim ke
Jakarta untuk melakukan reverse engineering. Dengan demikian, Atambua tidak
bergantung pada alat-alat impor atau buatan pabrik. Mereka bisa bikin sendiri.
Dan kalau rusak, bisa memperbaiki sendiri. Tidak akan terulang cerita lama:
Bantuan peralatan untuk pedesaan kebanyakan tidak berfungsi karena begitu rusak
tidak tahu cara memperbaikinya.
Bupati
Belu Joachim Lopez tidak hanya gembira karena sorgumnya sudah panen, tapi lebih
gembira lagi karena telah terjadi perubahan cara berpikir petani. Itu yang dia
ucapkan di panggung. Bupati Belu memang lagi ingin mengubah pola pikir
masyarakatnya.
Lopez
berhasil mengubah adat lama yang sangat menghambat upaya meningkatkan
perekonomian masyarakat. Misalnya adat kematian. Bupati mengeluarkan peraturan
baru: Orang meninggal harus segera dikubur. Paling lama dua hari. Tidak boleh lagi
mayat ditahan sampai seminggu. Apa hubungannya dengan ekonomi?
“Kalau
mayat ditahan selama tujuh hari, berarti ada tujuh sapi yang dipotong,”
katanya. Itu berarti upaya mengembangkan ternak sapi hanya habis dibuat pesta.
Apalagi, banyak juga yang sampai berutang untuk membeli sapi itu.
Apa
sanksi bagi yang menahan mayat lebih dari dua hari” Jelas: Tidak akan ada
pendeta yang datang untuk memberkati pemakamannya. Untuk itu, Bupati Lopez
minta dukungan Keuskupan Atambua. Uskup setuju. Kini setiap ada kematian,
maksimum hanya dua sapi yang dipotong.
Demikian
juga saat banyak sapi memangsa tanaman muda sorgum. Bupati bikin kesepakatan
dengan masyarakat adat. Ketua adat pun membuat keputusan: Kalau ada sapi yang
masuk ke ladang sorgum, sapinya boleh dipotong. Sejak itu, tidak ada lagi
tanaman sorgum yang rusak. Pernah terjadi satu sapi lolos ke ladang sorgum.
Ketua adat benar-benar memutuskan untuk memotong sapi itu. Aman.
Setelah
sorgumnya berbuah, muncul ancaman baru. Kali ini masyarakat adat tidak mungkin
lagi bisa mengatasi: serbuan burung! Ribuan burung datang bertengger di pucuk
sorgum! Sambil mematuk-matuk.
Saya
terpikir, kinilah saatnya minta bantuan mahasiswa. Terutama fakultas pertanian
dan elektro. Merekalah yang kini harus menemukan cara mengatasi burung. Yang
bisa menemukan ide yang realistis-aplikatif akan saya beri hadiah.
Dirut PT
Batantekno Dr Yudiutomo Imardjoko yang ahli nuklir terkemuka di dunia itu
(termasuk ahli nuklir untuk tanaman dan makanan) akan mengumumkan di website PT
Batantekno (www.batantek.com) detail
sayembara tersebut.
Batantekno
sendiri akan mencoba berbagai ilmu dan teknologi yang mereka kuasai, namun
siapa tahu ada mahasiswa atau dosen yang memiliki ide yang lebih baik.
Batantekno
memang ditugasi untuk mengurus sorgum di NTT sebagai bentuk pengabdian untuk
daerah miskin. Dananya berasal dari PT Pertamina, PT Askes, dan beberapa BUMN
lain. Tapi, teknologi dan manajemennya diserahkan ke Batantekno.
Saya
salut dengan kegigihan tim Batantekno ini. Dr Yudiutomo, yang pada umur 35
tahun sudah dipanggil Kongres Amerika Serikat untuk mempertanggungjawabkan
penemuannya di bidang nuklir, ingin menuntaskan soal sorgum ini.
Waktu itu
Yudi ikut mengajukan rancangan teknologi penyimpanan sampah nuklir yang bisa
bertahan sampai 10.000 tahun. Karena dianggap hebat, Yudi dipanggil kongres.
Dia diminta memaparkan penemuannya. Akhirnya, Yudi terpilih masuk tiga terbaik
rancangan penyimpanan sampah nuklir di AS. Tiga-tiganya disetujui untuk
diikutkan tender di masa yang akan datang.
“Disertasi
doktor saya di AS memang soal penyimpanan sampah nuklir,” kata Yudi.
Kini Yudi
dan Batantekno dipercaya oleh perusahaan nuklir AS untuk merancang reaktor
nuklir buat kedokteran di sana. Saya pun mengizinkan Batantekno untuk membuat
perusahaan patungan dengan perusahaan nuklir AS.
Waktu
saya meninggalkan Atambua untuk ke Rote, Flores, dan Bali, Yudi masih tinggal
di Atambua. Setelah panen sorgum ini, dia masih harus menuntaskan model
bisnisnya. Agar keberlanjutan proyek sorgum ini lebih terjamin.
Di Rote
saya juga bertemu dengan seorang bupati yang hebat: Lens Haning. Dia juga
berhasil mengubah kebiasaan yang menyulitkan pengembangan ekonomi
masyarakatnya. Dia keluarkan peraturan baru: Upacara-upacara adat hanya boleh
menyembelih satu ekor sapi.
Rakyat
bisa menerima aturan baru itu. Terbukti, Haning terpilih lagi untuk periode
kedua. Tinggal menunggu pelantikannya.
Bupati
Haning juga punya tekad lain: Saya sanggup mengeluarkan daerah ini dari status
daerah tertinggal kalau pemerintah pusat membangunkan tiga bendungan irigasi di
Rote. Biaya masing-masing hanya sekitar Rp 15 miliar!
Begitulah!
Harapan, hope, dan optimisme bisa muncul di mana-mana dan dari siapa saja,
dengan berbagai jabatannya. (*)
*) Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar