Senin, 19 Agustus 2013

(Ngaji of the Day) Moral Para Politikus


Moral Para Politikus

Oleh: Moh. Achyat Ahmad

 

Gambaran masyarakat yang biasa disematkan kepada para politikus hingga kini bisa dibilang masih negatif. Untuk mengatakan bahwa moral para politikus itu seperti tikus tentu saja merupakan gambaran yang terkesan terlalu kasar dan kurang sopan, meski analogi itu ternyata yang paling mewakili. Kritik yang disampaikan kepada para politikus terutama melalui media gambar, hampir selalu diwakili oleh gambar tikus-tikus berdasi. Begitu pula kritik yang dilemparkan melalui lagu maupun puisi.


Memang, moral para politikus dewasa ini perlu dipertanyakan, atau bahkan disangsikan. Bahwa mereka adalah para calon pemimpin negeri, maka apa jadinya negeri ini jika moral dan mental mereka masih seperti tikus? Tentu saja ini akan berbahaya bagi keberlangsungan negeri ini ke depan. Karena bagaimanapun, para pemimpinlah yang menjadi nahkoda negeri, dan di tengah mereka nasib negeri ini diserahkan; hendak mereka bawa ke mana negeri ini?


Kita sebagai masyarakat akar rumput melihat, dengan mata kepala dan mata hati, tidak dengan mata kaki, bahwa tampaknya orientasi para politikus atau calon para pemimpin negeri ini rata-rata tidak untuk memperbaiki negeri, namun lebih untuk memperbaiki diri sendiri dalam pengertian yang sesempit-sempitnya: untuk mendulang materi dalam waktu sesingkat-singkatnya. Secara umum, inilah tujuan utama dari setiap para politikus.


Jika satu-satunya impian yang dikejar oleh para politikus adalah hal di atas, maka tak heran jika kemudian korupsi menjadi budaya yang merebak di negeri ini, mulai dari kekuasaan kelas kepala desa hingga tingkat istana negara. Bahkan, ketika sebagian kecil dari politikus yang korup itu akhirnya tertangkap sekalipun, tampak mereka tak malu-malunya senyam-senyum di depan kamera, kendati digelandang menuju sel tahanan.


Begitulah jadinya jika persoalannya memang sudah sejak awal. Politik kekuasaan yang wataknya keras, penuh intrik dan kecurangan yang seharusnya dijahui malah digandrungi. Bahkan, sejak jauh-jauh hari, saat bursa pemilihan pemimpin, baik di tingkat kabupaten, daerah maupun pusat masih jauh, aksi tebar posona sudah terjadi di mana-mana. Baliho-baliho dalam ukuran besar dengan gambar orang nyengir dengan beragam gaya tertampang di mana-mana; di pinggir-pinggir jalan, di bawah pohon, di tembok-tembok gedung, yang membikin suasana kota seperti dinding-dinding facebook: narisis abis.


Selanjutnya, ceritanya hampir selalu monoton. Para politikus tiba-tiba menjadi semacam manusia setengah dewa. Tiba-tiba saja mereka rajin menghadiri acara-cara bakti sosial, bahkan tidak sungkan-sungkan untuk mengaluarkan uang di acara tersebut, tentu saja disertai pengumuman layaknya iklan. Mereka juga jadi rajin berkunjung ke sana ke mari, menghampiri para tokoh masyarakat, para pendiri pesantren, para aktivis LSM, organisasi-organisasi sosial-keagamaan dan lain sebagainya, yang kadang juga perlu diliput media.


Apapun alasannya, yang jelas para politikus yang melakukan kunjungan ke sana ke mari itu tujuannya hanya satu: membeli suara rakyat. Itu sebabnya mereka tidak segan-segan mengucurkan rupiah, tak peduli berapapun nilainya dan dari mana sumbernya.


Dan, pada gilirannya, yang rugi tentu adalah masyarakat akar rumput. Hal itu tentu bukan saja murni kesalahan politisi, tapi kesalahan juga diakibatan oleh masyarakat sendiri, yang masih senang menerima bantuan-bantuan ataupun apalah namanya dari para politisi. Dan, karena yang terjadi pada hakikatnya adalah jual-beli suara, maka jangan heran jika kemudian masyarakat menjadi tidak terwakili dan tidak terayomi.

*) Sumber tulisan: Buletin SIDOGIRI, edisi-72, hal. 11-12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar