Pertamina yang Harus Lebih
Merdeka
Senin, 19 Agustus 2013
Ucapan selamat itu mula-mula saya
ragukan. Karena itu saya tidak segera menanggapi. Masak sih Pertamina sudah
berkembang sehebat itu? Sudah bisa masuk Fortune Global 500? Maka, SMS dari
wartawan itu saya abaikan.
Tapi,
kian sore SMS sejenis terus berdatangan. Kepada salah seorang yang saya kenal
tidak biasa guyon, saya balas SMS itu: benarkah Pertamina masuk Fortune Global
500? Beritanya dari mana? Sumbernya tepercaya?
Ternyata
datang balasan: berita itu bersumber dari konferensi pers resmi Fortune,
majalah ekonomi perusahaan terkemuka Amerika Serikat. Jadi, berita itu bukan
isapan jempol atau olok-olok.
Saya
masih belum percaya. Saya hubungi Dirut Pertamina Karen Agustiawan untuk
mengecek apakah dia juga sudah mendapat berita itu. Sama. Sudah. Dia juga cukup
hati-hati. Dia melakukan check and recheck. Ternyata benar adanya.
Majalah
ini sudah puluhan tahun, tiap tahun, melakukan pemilihan 500 perusahaan
terbaik. Daftar itu diumumkan setahun sekali di majalah yang sangat prestisius
itu. Sudah begitu legendarisnya daftar 500 perusahaan terbaik dunia versi
majalah Fortune itu sehingga banyak CEO memiliki target untuk bisa masuk
Fortune Global 500.
Saya pun
demikian. Saya berharap di akhir masa jabatan saya sebagai menteri akan ada
salah satu BUMN yang berhasil masuk Fortune Global 500. Cita-cita seperti itu
bukan hanya saya yang memiliki. Satu kelompok ekonom Indonesia pernah
merumuskan road map untuk kemajuan Indonesia di tahun 2020. Salah satu
rumusannya adalah: pada 2020 diharapkan sudah ada lima perusahaan Indonesia
yang masuk Fortune Global 500.
Bahwa
Pertamina yang menjadi perusahaan pertama Indonesia yang berhasil masuk Fortune
Global 500 awalnya tidak banyak diperhitungkan. Perkiraan awal dulu, swastalah
yang pertama masuk kelompok itu. Misalnya dari Grup Salim, Prajogo Pangestu,
Grup Astra, kelompok Gudang Garam, atau kelompok Djarum. BUMN dengan
keterbatasannya di bidang pengembangan perusahaan tidak banyak diharap.
Terutama di akhir-akhir masa Orde Baru.
Tapi,
begitu dua tahun lalu laba Pertamina mencapai Rp 23 triliun dan 2012 naik
menjadi Rp 25 triliun, laju BUMN ini tidak akan bisa dikejar swasta. Apalagi
kalau harga elpiji boleh mengikuti harga pasar. Laba Pertamina tahun lalu bisa
naik Rp 5 triliun menjadi Rp 30 triliun. Ini karena dari bisnis elpiji 12 kg
saja, Pertamina rugi Rp 5 triliun.
Meski
begitu, saya tidak menyangka bahwa tahun ini Pertamina sudah masuk Fortune
Global 500. Secepat-cepatnya, saya perkirakan, baru tahun depan. Bahkan, nomor
urutnya pun tidak terlalu diharap sebegitu tinggi: 122. Semula saya mengira di
nomor 360, atau bahkan 420 pun oke. Yang penting sudah berhasil masuk Fortune
Global 500.
Tentu
senang sekali Pertamina bisa di nomor urut 122. Hanya saja, beban psikologi dan
beban kerja Pertamina menjadi lebih berat.
Terutama
apakah iklim untuk Pertamina tetap bisa sebaik sekarang. Kedua, apakah
Pertamina tidak dikejar perusahaan-perusahaan lain dari Amerika, Eropa, atau
Tiongkok. Terutama setelah krisis di AS tidak lagi seburuk tahun lalu dan
krisis di Eropa juga mulai menunjukkan tanda-tanda bisa diatasi.
Maka, tidak
ada jalan lain bagi Pertamina, kecuali terus bekerja lebih keras. Juga harus
terus meningkatkan integritas. Agar manajemen tidak banyak diganggu intervensi,
berbagai kepentingan, dan korupsi.
Meningkatkan
produksi minyak mentah dalam negeri tidak bisa ditawar. Jalannya memang lebih
sulit, tapi bukan tidak bisa. Pertamina masih memiliki sekitar 5.000 sumur tua
yang sudah tidak produktif. Siapa pun sepakat bahwa sumur tua itu masih bisa
direvitalisasi.
Sambil
mengerjakan sumur baru yang akan memakan waktu lebih lama, revitalisasi
sumur-sumur tua akan bisa menghasilkan peningkatan produksi lebih cepat.
Hasilnya memang tidak banyak, tapi kalau dikerjakan serentak di ribuan sumur,
jumlah perkaliannya luar biasa juga. Pertamina sudah melangkah ke tiga arah
itu: mencari sumur baru, merevitalisasi sumur-sumur tua, dan masuk ke
sumur-sumur produktif yang ada secara business-to-business.
Langkah-langkah
cepat itu juga memerlukan dukungan yang cepat pula dari SKK Migas yang dulu
bernama BP Migas. Inilah yang membuat saya lenger-lenger ketika mendengar
Kepala SKK Migas Prof Dr Ir Rudi Rubiandini ditangkap KPK. Saya sebagai menteri
BUMN dan dia sebagai kepala SKK Migas sedang merumuskan penyederhanaan izin
usaha migas.
Pertamina
sungguh berharap penyederhanaan perizinan itu bisa dilakukan SKK Migas.
Untunglah, jajaran di SKK Migas tetap komit pada penyederhanaan perizinan itu.
Dengan atau tanpa Rudi Rubiandini.
Sebagai
langkah pertama, empat lokasi sumur tua mulai direvitalisasi. Kali ini bekerja
sama dengan perusahaan swasta dan asing. Setelah percaya diri bahwa sumur tua
benar-benar bisa direvitalisasi, tim Pertamina sendiri harus mampu melaksanakan
tanpa harus bekerja sama dengan pihak lain.
Saya
percaya anak-anak muda Pertamina sanggup membuktikannya. Tim Brigade 300K
Pertamina yang dibentuk untuk itu akan bisa mengerjakannya.
Misalnya
saja Hermawandi. Dia menemukan teknologi baru yang sederhana untuk revitalisasi
sumur tua. Dia namakan teknologi itu: X-Flow. SKK Migas sudah setuju Hermawandi
mencobanya di 15 sumur tua di Siak, Riau. Sudah delapan bulan dilakukan.
Hasilnya
luar biasa. Sumur yang semula hanya menghasilkan 3 barel minyak mentah per hari
bisa meningkat menjadi 60 barel per hari. Kini Hermawandi sudah lebih percaya
diri. Dia ajukan lagi untuk bisa dicoba di 50 sumur tua. Izin sedang diajukan
ke SKK Migas dan sudah dalam proses persetujuan.
Tapi, 50
dari 5.000 sumur tua masih terlalu sedikit. Pertamina harus mendorongnya lebih
agresif. Kalau perlu memfasilitasi agar Hermawandi bisa memproduksi alat-alat
X-Flow lebih banyak dan lebih cepat. Agar jangan hanya bisa memproduksi
peralatan X-Flow 15 buah sebulan. Dengan perizinan yang juga lebih cepat dan
masal.
Kalau
5.000-an sumur tua itu bisa direvitalisasi dengan cepat, dalam setahun kenaikan
produksi minyak mentah akan bisa naik sampai 60.000 barel per hari. Satu jumlah
yang sangat besar untuk ukuran Indonesia saat ini. Lalu bisa mengurangi impor
minyak kita yang rakus akan devisa negara.
Saya
percaya Pertamina bisa melakukan itu dengan cepat. Orang teknologi, orang
lapangannya, dan orang operasinya tidak boleh kalah dengan orang keuangannya.
Saya bangga bahwa Pertamina kini juga sudah bisa jadi contoh untuk kecepatan
laporan keuangan. Padahal, di masa lalu laporan keuangan Pertamina sangat
terkenal leletnya.
Tahun ini
laporan keuangan Pertamina berhasil menjadi yang tercepat di seluruh BUMN.
Laporan keuangan tahun 2012 sudah bisa diselesaikan di bulan Februari 2013.
Padahal, Pertamina adalah grup perusahaan yang anak-anaknya begitu banyak, yang
jaringannya begitu luas, dan yang ragam usahanya dari paling hulu ke paling
hilir. Dan skala keuangannya ratusan triliun. Toh bisa menyelesaikan laporan
keuangan di bulan Februari.
Sungguh
tidak mudah mencapai prestasi itu. Swasta besar pun sudah kalah oleh Pertamina
di bidang ini.
Karena
itu, ketika Karen Agustiawan mengajukan permintaan untuk melakukan rapat umum
pemegang saham (RUPS) di akhir Februari lalu, saya langsung menyetujuinya.
Itulah RUPS pertama di tahun ini di linngkungan BUMN. Saat itu saya juga tidak
mendengar ada swasta yang sudah mampu menyelenggarakan RUPS lebih cepat dari
Pertamina.
Bayangkan
kalau Pertamina bisa merdeka dari segala macam intervensi dan kepentingan.
Alangkah besarnya dia! (*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar