Kamis, 15 Agustus 2013

(Ngaji of the Day) “Moratorium “ Idul Fitri, Mengakhiri Sikap Permusuhan


“Moratorium “ Idul Fitri, Mengakhiri Sikap Permusuhan

Oleh: Abdullah Hamid*

 

Pengertian moratorium secara letterlijk berarti penundaan. Namun dalam konteks tulisan ini secara istilah mengalami perluasan, merupakan keputusan untuk mengakhiri selamanya. Penggunaan istilah ini mengingatkan penulis pada Moratorium TKI yang disebabkan banyak kasus penganiayaan terjadi menimpa mereka, dan sebagai simpati penulis kepada mereka yang tidak mungkin bisa mudik untuk berlebaran bersama keluarga, karena bekerja jauh di tanah rantau.


Perhelatan pesta demokrasi Bangsa Indonesia dipastikan tahun depan. Dimana tahapan tahun ini baru saja menetapkan DCS DPRD dan DPR RI dan di sejumlah parpol bergulir Konvensi Capres. Kecenderungan menjelang PEMILU 2014 ini seperti biasa sikap persahabatan dan permusuhan semakin kentara. Mereka mulai memilah-milah, memetakan mana lawan mana kawan. Kadang tak segan-segan menggasak meski korbannya masih terbilang saudara sendiri, karena di ranah politik saudara abadi adalah kepentingan. Kadang karena emosional dan ambisinya, sampai kehilangan akal sehat, tidak obyektif lagi, menghalalkan segala cara. Situasi tersebut tentunya sangat rentan bagi kehidupan sosial.


Maka persaingan politik tersebut perlu dikelola secara dinamis dan produktif dalam kerangka fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan. Memang bisa dimaklumi, di negeri ini mewarisi banyak raja, gudangnya asset pemimpin. Namun sekaligus berpotensi konflik, persaingan, sikut sana-sini, kecemburuan, dan penuh intrik.


Dengan momentum Idul Fitri 1434 H ini sesungguhnya ummat Islam melakukankan testimoni pengakuan dosa diiringi keinginan yang tulus berma’af-ma’afan, atau dalam tradisi di Indonesia dikenal dengan istilah halal bi halal. Hendaklah dilakukan bukan basa-basi atau cuma seremonial. Namun harus dilandasi semangat suci/ ritual untuk kembali kepada kehidupan yang fitri. Mengakhiri sikap permusuhan dalam dada dan tindakan. Bukan sebaliknya, membangkitkan rasa permusuhan. Dalam kehidupan pribadi/ rumah tangga, bertetangga, pergaulan, bahkan kehidupan berbangsa. Agar dalam bermasyarakat dapat hidup tenang, bersahabat, penuh kekeluargaanm, saling mendukung dan membantu. Sebagaimana kepribadian bangsa kita yang dikenal ramah dan guyub. Tidak berangasan, bersumbu pendek. Meski disadari tantangan hidup sekarang ini yang dihadapi bisa dibilang sangat keras. Di tengah perekonomian Indonesia yang belum kunjung membaik 100% dan degradasi nilai-nilai, ditengarai semakin menguatnya mental materialistik.


Maka nilai-nilai puasa dan idul fitri harus mampu melepas ego pribadi dan golongan. Mengutamakan kepentingan agama dan negara. Mengatasi kepentingan politik yang sempit atau picik. Meski semakin mendekati Hari H-Pemilu semakin banyak godaan uang panas yang terkumpul dan beredar. Hendaklah jangan kemaruk dan berkelahi. Bersiap mental lah. Maukah mengesampingkan pragmatisme, lebih mempertimbangkan akal sehat atau idealisme. Bukankah nilai-nilai puasa, idul fitri dan menunaikan Zakat fitrah dan mal mengajarkan pentingnya menerima atau memberi justru untuk membersihkan harta kita.. Meningkatkan kepedulian sosial atau kepekaan terhadap sesama. Sehingga setelah melewati fase puasa ramadhan diharapkan dapat menahan hawa nafsu yang dipicu haus kekuasaan/ tahta, harta dan wanita dengan cara merawat hati, kebersihan jiwa.


Agar hati selalu terjaga, Ulil Hadrawi memberikan rumusan atau resep hendaklah kita menghindar dari empat perkara ini, yaitu: riya’, ujub, takabbur, serta hasad. Riya’ adalah pamer, Riya menurut imam al-Ghazali adalah mencari kedudukan di hati manusia dengan cara mempertontonkan ibadah dan amalnya. Dengan kata lain riya’ selalu mencari modus pencitraan dirinya. Kedua ‘ujub Menurut al-Ghazali ujub adalah sifat merasa diri serba berkecukupan dan berbangga hati atas nikmat yang dimilikinya, dan lupa cuma titipan Allah kelak akan sirna. Ujub merupakan induk dari sifat takabbur, bedanya jika takabbur berdampak pada pihak yang ditakabburi, kalau ujub terbatas pada dirinya sendiri. Sabda Rosulullah saw:


“Ujub itu bisa memakan amal amal baik sebagaimana api makan kayu bakar” (al-hadist).


Ketiga adalah takabbur adalah merasa dirinya lebih sempurna dari yang lainnya, Kesombongan adalah dosa pertama yang dilakukan oleh makhlukNya (iblis) terhadap Allah swt.


Firman Allah swt : Turunlah engkau dari surga karena engkau menyombongkan diri didalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya engkau termasuk orang orang yang hina” (Al-A’raf:13).


Keempat adalah hasad atau dengki. Untuk menjelaskan hal ini cukuplah petikan seorang sufi dalam kitab Risalah Qusyairiyah bahwa “orang dengki adalah orang yang tak beriman sebab dia tidak merasa puas dengan takdir Allah”. Sementara ulama yang lain berpendapat orang yang dengki adalah orang yang selalu ingkar karena tidak rela orang lain mendapatkan kenikmatan. Indikasi dari sifat dengki adalah menipu atau berpura-pura apabila dihadapan orang lain, mengumpat apabila orang lain itu pergi, dan menyumpahi apabila musibah tak kujung tiba pada orang itu.”


Mengenai pendalaman keempat penyakit ini sudah bisalah kiranya kita meraba diri masing-masing. Penulis hanya bisa mengingatkan saja, merasa belum pantas untuk memberikan nasehat. Namun yang jelas, biasanya keempat tersebut satu mata rantai penyakit yang saling terkait antara satu dan lainnya. Sehingga apabila mengidap salah satu maka dapat pula mengidap yang lainnya.


Lantas bagaimana cara menghiasai hati? Selanjutnya al-Ghazali berpesan dalam kitab mizanul amal, bahwa hendaknya hati dihias dengan empat induk kesalehan, yakni hikmah, kesederhanaan (‘iffah), keberanian (syaja’ah) dan keadilan (‘adalah). Beliau menjelaskan bahwa kerelaan memaafkan orang yang telah menzaliminya adalah kesabaran dan keberanian (syaja’ah) yang sempurna. Kesempurnaan ‘iffah terlihat dengan kemauan untuk tetap memberi pada orang yang terus berbuat kikir terhadapnya. Serta kesediaan untuk tetap menjalin silaturrahim terhadap orang yang sudah memutuskan tali persaudaraan adalah wujud dari ihsan yang sempurna. Mampu menegakkan keadilan terhadap diri dan keluarganya serta orang lain.


Untuk menjaga hati dari kekacauan atau bolak baliknya iman, setiap manusia itu dhaif perlu selalu taqarrub kepada Allah SWT, agar selalu ingat Yang Kuasa, tetap dalam suasana religiositas tinggi (fresh), misalnya antara lain dengan menjalani lelaku Tombo Ati Sunan Bonang, meliputi 5 perkara:1, Membaca Qur’an dengan maknanya, 2.Sholat malam, 3.Dekat dengan Orang Sholeh (masih hidup atau telah meninggal), 4. Perut tidak kekenyangan, 5.Dzikrullah yang lama/ sesering mungkin. Dan di dalam kehidupan pribadi dan masyarakat menjadikan Rasulullah SAW menjadi panutan utama atau uswatun hasanah, bukan sekedar udwatun hasanah. Beliau terbukti, tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin sosial dan politik paling sukses sepanjang abad.


Adapun ciri-ciri rusaknya hati yang harus diwaspadai dan setiap muslim harus menghindarinya antara lain:ghibah (menjelekkan orang lain, suka adu domba), pendusta, khianat, dan tamak (tidak ada puasnya).
Sehingga dengan pengendalian diri atau hati tersebut, insyaallah iklim demokrasi di Indonesia akan kondusif, karena perjalanan bangsa dikawal dengan nilai-nilai agama, diharapkan roda pemerintahan dan sendi kehidupan masyarakat tetap berjalan tertib, kokoh, dan berwibawa. Memberikan kekuatan berdirinya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Gemah ripah loh jinawi. Rizqi mengalir berkah. Dibangun dari fondasi masyarakat marhamah, penuh kasih sayang dan taat hukum. Jarang terdengar lagi berita negatif segala bentuk kriminalitas duka lara pemilu yang berdarah-darah yang miris, apalagi sampai merambat ke masalah keluarga, lembaga pendidikan bahkan birokrasi (kekuasaan) dan ormas, bukan saja parpol. Dimana tantangan rakyat ke depan di samping masalah ekonomi juga menghadapi tirani politik atau belenggu kepentingan sesaat dan sektarian.


Dalam situasi demikian dituntut bersikap independent dan adil, beraktualisasi secara berani, terbuka dan cerdas, tetap berkomitmen dan konsisten memperjuangkan nasib rakyat atau kepentingan ummat yang lebih besar atas dasar peri kemanusiaan yang universal. Maka dituntut juga kemampuan menggandeng semua kekuatan politik dan non politik untuk membangun kepentingan bersama yang lebih luas dan mendasar.

 

*Pengasuh Pesantren Budaya Asmaulhusna (SAMBUA) Lasem dan Pengelola Pokjar Beasiswa Bidik Misi Prodi Administrasi Negara UPBJJ-UT Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar