Rabu, 21 Agustus 2013

Kang Said: Kekerasan Akan Selalu Kalah


Kekerasan Akan Selalu Kalah

Oleh: Said Aqil Siradj

Harian Kompas, Senin, 19 Agustus 2013


Bulan Ramadhan yang baru kita lalui telah menempa kedirian kita dalam meraih pencerahan spiritual.


Apabila kita membaca sejarah, di bulan Ramadhan, banyak ulama yang mendapatkan pengalaman pencerahan (futuhat). Ibnu Arabi meraih makrifat di bulan Ramadhan. Al-Ghazali melakukan penyepian (khalwat) selama tiga bulan: Rajab, Syakban, dan puncaknya Ramadhan. Sayangnya, Ramadhan tahun ini "ternoda" tindakan kekerasan membabi buta. Kita saksikan peledakan bom di Wihara Ekayana, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Aksi penembakan sadis terhadap anggota polisi terjadi sebanyak dua kali di Jakarta. Juga, kasus penembakan pegawai LP Wirogunan, Yogyakarta.


Berbagai sinyalemen bermunculan tentang motif di balik tindak kekerasan itu, mulai dari motif pribadi, motif bernuansa politik, balas dendam, hingga tindakan terencana kelompok teroris. Kita perlu menyadari di negeri kita hingga kini masih bercokol kelompok teroris yang setiap saat melakukan aksinya. Mereka masih bergentayangan membuat ketakutan publik. Dari banyak aksi teroris yang terjadi belakangan ini terlihat sasaran diarahkan ke aparat kepolisian.


Sejarah kekerasan


Tujuan aksi teror memang menciptakan ketakutan publik dan kecemasan yang meluas. Karena itu, masyarakat tak perlu tercekat oleh ketakutan berlebihan. Jika masyarakat menjadi takut, itu berarti tujuan teror berhasil. Terorisme sudah berusia renta. Berabad-abad dunia tak pernah sepi dari aksi yang dilakukan kelompok radikal-ekstrem. Motivasi yang melandasinya campur aduk: politik, sosial, hingga keagamaan. Keresahan sekelompok orang yang semakin menggumpal kemudian meledak dan terjadilah aksi brutal.


Maka, banyak yang memandang, ada satu hal yang bisa dimanunggalkan sebagai motif terorisme, yaitu ketidakadilan. Ini dapat diungkap dari sejarah kata teror sendiri. Kata teror faktanya baru masuk dalam kosakata politik pada masa revolusi Perancis. Selanjutnya, di abad ke-19 hingga abad ke-20, istilah terorisme menjadi taktik perjuangan revolusi. Dari sinilah, banyak yang memahami pada awalnya terorisme lahir akibat kekisruhan politik yang konotasinya tak lepas dari hilangnya keadilan.


Namun, bukankah ketidakadilan itu akan selalu muncul dalam setiap peradaban yang terbangun? Atau bisakah dunia ini adil, sekalipun dengan berlakunya hukum "langit"? Ini sebuah kepenasaran filosofis. Secara awam, sering kali muncul celotehan, di dunia ini tak akan ada keadilan. Sepertinya inilah utopia yang terus-menerus digemakan atau bahkan sengaja dijadikan sebagai "asupan demagogi" agar massa menjadi "tenang" atau "berkobar" dalam menanti datangnya keadilan yang diimpikan.


Apakah bangkitnya terorisme semata-mata akibat adanya ketidakadilan? Inilah yang perlu dipertanyakan ulang. Memang ada dorongan ketidakadilan yang berakibat pada tindakan teror. Sayyid Quthub, yang dikenal sebagai tokoh penggerak radikalisme di Mesir, dulunya seorang yang flamboyan dan pernah kuliah di Amerika. Setelah kekalahan perang bangsa Arab dari Israel, tiba-tiba bergolak pikirannya dan ia kemudian memilih jalan radikal. Sikap radikalisme Quthub ini makin kalap dengan pencarian legitimasi dari penafsiran literalismenya terhadap teks-teks Al Quran. Ayat-ayat Al Quran dijadikan sebagai hujjah untuk membenarkan pemikiran dan tindakan radikalnya. Hingga, oleh banyak ulama Mesir seperti Dr Ali Syu'aibi, Quthub dianggap sebagai biang pengafiran, pertumpahan darah, dan terorisme.


Di sini terpampang bahwa tindakan terorisme sangat berdekatan dengan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan. Artinya, tindakan terorisme tak selalu identik dengan adanya ketidakadilan. Dalam sejarah Islam, munculnya aliran-aliran (firqah) selalu berkait keragaman dalam menafsir sumber-sumber primer dalam Islam, yaitu Al Quran dan Hadis. Kekalapan dalam menafsir teks keislaman berakibat pada sikap radikal. Misalnya, munculnya kelompok Khawarij yang dipandang sebagai awal kemunculan radikalisme Islam, juga akibat dari penafsiran yang terlalu kaku terhadap teks keislaman.


Penafsiran yang sedemikian literalis-puritan ini berujung pada tindakan pembunuhan terhadap Ali bin Abi Thalib. Mereka menganggap Ali telah salah dalam mengambil keputusan untuk berdamai dengan Muawiyah. Keputusan Ali divonis tak berdasar pada Al Quran. Bagi mereka, la hukma illa lillah, tidak ada hukum kecuali dari Allah. Model penafsiran inilah yang mendorong mereka melakukan tindakan sadis dengan membunuh Ali. Pelaku terorisme bisa dipastikan puritan dalam derajat yang sangat radikal, meski tak berarti puritan pasti teroris. Sosok Quthub dapat diposisikan sebagai sosok puritan radikal. Sejarah kemudian mencatat, kemunculan Wahabi makin mendekatkan paham puritan sebagai "benih" radikalisme dan terorisme.


Dr Ali Jumah, mufti Mesir menganggap Salafi Wahabi sebagai gerakan militan dan teror. Puritanisme selalu bersifat arogan dan menganggap dirinya paling benar sehingga mudah menyesatkan kelompok lain. Dan ini bisa menimbulkan efek radikal. Ali Jumah sendiri pernah berhadapan dengan tokoh Wahabi Mesir, yaitu Abu Ishaq al-Huwaini, yang sering mencaci maki dan menyesatkan dirinya.


Gagalnya kekerasan


Sejarah perkembangan Islam di Nusantara menunjukkan keberhasilan dakwah tergantung pada cara yang digunakan. Pendekatan konfrontatif yang mengedepankan kekerasan terbukti gagal dan justru membuahkan penolakan. Islam di Indonesia memang pernah disampaikan dengan cara keras, seperti yang dilakukan ulama Syekh Subakir. Dengan pasukan 400 orang, ia menyerang Ki Darmawangsa di Dhoho, Kediri, yakni pedepokan Hindu. Akibat penyerangan ini, Ki Darmawangsa terpaksa memanggil bantuan dari Prabu Airlangga. Syekh Subakir dan pengikutnya dapat ditumpas pasukan Airlangga.


Kurun berikutnya datang lima ulama, di antaranya Syekh Ibrahim as-Samarkandi dan Syekh Jumadil Kubra. Mereka mendekati para petani miskin dan mengajak bersama-sama menyerbu Majapahit. Usaha ini pun berakhir dengan kekalahan.


Ratusan tahun Islam datang ke Indonesia tak pernah maju. Islam bisa maju ternyata hanya perlu 50 tahun, yaitu di masa Wali Songo. Kejayaan ini diraih para wali karena kecerdikan dan kebijaksanaan mereka dalam hal strategi berdakwah. Melalui jalur kebudayaan dan jaringan perkawinan, Wali Songo sukses merebut hati penduduk pribumi secara masif hanya dalam kurun separuh abad. Ini bukti kita harus terus mengobarkan sikap dan tindakan kedamaian dan kesantunan demi melawan kekerasan.


Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU


Sumber: Kompas Cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar