Oleh:
Said Aqil Siradj
Harian Kompas, Senin,
19 Agustus 2013
Bulan
Ramadhan yang baru kita lalui telah menempa kedirian kita dalam meraih
pencerahan spiritual.
Apabila
kita membaca sejarah, di bulan Ramadhan, banyak ulama yang mendapatkan
pengalaman pencerahan (futuhat). Ibnu Arabi meraih makrifat di bulan Ramadhan.
Al-Ghazali melakukan penyepian (khalwat) selama tiga bulan: Rajab, Syakban, dan
puncaknya Ramadhan. Sayangnya, Ramadhan tahun ini "ternoda" tindakan
kekerasan membabi buta. Kita saksikan peledakan bom di Wihara Ekayana, Kebon
Jeruk, Jakarta Barat. Aksi penembakan sadis terhadap anggota polisi terjadi
sebanyak dua kali di Jakarta. Juga, kasus penembakan pegawai LP Wirogunan,
Yogyakarta.
Berbagai
sinyalemen bermunculan tentang motif di balik tindak kekerasan itu, mulai dari
motif pribadi, motif bernuansa politik, balas dendam, hingga tindakan terencana
kelompok teroris. Kita perlu menyadari di negeri kita hingga kini masih
bercokol kelompok teroris yang setiap saat melakukan aksinya. Mereka masih
bergentayangan membuat ketakutan publik. Dari banyak aksi teroris yang terjadi
belakangan ini terlihat sasaran diarahkan ke aparat kepolisian.
Sejarah
kekerasan
Tujuan aksi teror memang menciptakan ketakutan publik dan kecemasan yang meluas. Karena itu, masyarakat tak perlu tercekat oleh ketakutan berlebihan. Jika masyarakat menjadi takut, itu berarti tujuan teror berhasil. Terorisme sudah berusia renta. Berabad-abad dunia tak pernah sepi dari aksi yang dilakukan kelompok radikal-ekstrem. Motivasi yang melandasinya campur aduk: politik, sosial, hingga keagamaan. Keresahan sekelompok orang yang semakin menggumpal kemudian meledak dan terjadilah aksi brutal.
Maka,
banyak yang memandang, ada satu hal yang bisa dimanunggalkan sebagai motif
terorisme, yaitu ketidakadilan. Ini dapat diungkap dari sejarah kata teror
sendiri. Kata teror faktanya baru masuk dalam kosakata politik pada masa
revolusi Perancis. Selanjutnya, di abad ke-19 hingga abad ke-20, istilah
terorisme menjadi taktik perjuangan revolusi. Dari sinilah, banyak yang
memahami pada awalnya terorisme lahir akibat kekisruhan politik yang
konotasinya tak lepas dari hilangnya keadilan.
Namun,
bukankah ketidakadilan itu akan selalu muncul dalam setiap peradaban yang
terbangun? Atau bisakah dunia ini adil, sekalipun dengan berlakunya hukum
"langit"? Ini sebuah kepenasaran filosofis. Secara awam, sering kali
muncul celotehan, di dunia ini tak akan ada keadilan. Sepertinya inilah utopia yang
terus-menerus digemakan atau bahkan sengaja dijadikan sebagai "asupan
demagogi" agar massa menjadi "tenang" atau "berkobar"
dalam menanti datangnya keadilan yang diimpikan.
Apakah
bangkitnya terorisme semata-mata akibat adanya ketidakadilan? Inilah yang perlu
dipertanyakan ulang. Memang ada dorongan ketidakadilan yang berakibat pada
tindakan teror. Sayyid Quthub, yang dikenal sebagai tokoh penggerak radikalisme
di Mesir, dulunya seorang yang flamboyan dan pernah kuliah di Amerika. Setelah
kekalahan perang bangsa Arab dari Israel, tiba-tiba bergolak pikirannya dan ia
kemudian memilih jalan radikal. Sikap radikalisme Quthub ini makin kalap dengan
pencarian legitimasi dari penafsiran literalismenya terhadap teks-teks Al
Quran. Ayat-ayat Al Quran dijadikan sebagai hujjah untuk membenarkan pemikiran
dan tindakan radikalnya. Hingga, oleh banyak ulama Mesir seperti Dr Ali
Syu'aibi, Quthub dianggap sebagai biang pengafiran, pertumpahan darah, dan
terorisme.
Di sini
terpampang bahwa tindakan terorisme sangat berdekatan dengan pemahaman terhadap
teks-teks keagamaan. Artinya, tindakan terorisme tak selalu identik dengan
adanya ketidakadilan. Dalam sejarah Islam, munculnya aliran-aliran (firqah)
selalu berkait keragaman dalam menafsir sumber-sumber primer dalam Islam, yaitu
Al Quran dan Hadis. Kekalapan dalam menafsir teks keislaman berakibat pada
sikap radikal. Misalnya, munculnya kelompok Khawarij yang dipandang sebagai
awal kemunculan radikalisme Islam, juga akibat dari penafsiran yang terlalu
kaku terhadap teks keislaman.
Penafsiran
yang sedemikian literalis-puritan ini berujung pada tindakan pembunuhan
terhadap Ali bin Abi Thalib. Mereka menganggap Ali telah salah dalam mengambil
keputusan untuk berdamai dengan Muawiyah. Keputusan Ali divonis tak berdasar
pada Al Quran. Bagi mereka, la hukma illa lillah, tidak ada hukum kecuali dari
Allah. Model penafsiran inilah yang mendorong mereka melakukan tindakan sadis
dengan membunuh Ali. Pelaku terorisme bisa dipastikan puritan dalam derajat
yang sangat radikal, meski tak berarti puritan pasti teroris. Sosok Quthub
dapat diposisikan sebagai sosok puritan radikal. Sejarah kemudian mencatat,
kemunculan Wahabi makin mendekatkan paham puritan sebagai "benih"
radikalisme dan terorisme.
Dr Ali
Jumah, mufti Mesir menganggap Salafi Wahabi sebagai gerakan militan dan teror.
Puritanisme selalu bersifat arogan dan menganggap dirinya paling benar sehingga
mudah menyesatkan kelompok lain. Dan ini bisa menimbulkan efek radikal. Ali
Jumah sendiri pernah berhadapan dengan tokoh Wahabi Mesir, yaitu Abu Ishaq
al-Huwaini, yang sering mencaci maki dan menyesatkan dirinya.
Gagalnya
kekerasan
Sejarah perkembangan Islam di Nusantara menunjukkan keberhasilan dakwah tergantung pada cara yang digunakan. Pendekatan konfrontatif yang mengedepankan kekerasan terbukti gagal dan justru membuahkan penolakan. Islam di Indonesia memang pernah disampaikan dengan cara keras, seperti yang dilakukan ulama Syekh Subakir. Dengan pasukan 400 orang, ia menyerang Ki Darmawangsa di Dhoho, Kediri, yakni pedepokan Hindu. Akibat penyerangan ini, Ki Darmawangsa terpaksa memanggil bantuan dari Prabu Airlangga. Syekh Subakir dan pengikutnya dapat ditumpas pasukan Airlangga.
Kurun
berikutnya datang lima ulama, di antaranya Syekh Ibrahim as-Samarkandi dan
Syekh Jumadil Kubra. Mereka mendekati para petani miskin dan mengajak
bersama-sama menyerbu Majapahit. Usaha ini pun berakhir dengan kekalahan.
Ratusan
tahun Islam datang ke Indonesia tak pernah maju. Islam bisa maju ternyata hanya
perlu 50 tahun, yaitu di masa Wali Songo. Kejayaan ini diraih para wali karena
kecerdikan dan kebijaksanaan mereka dalam hal strategi berdakwah. Melalui jalur
kebudayaan dan jaringan perkawinan, Wali Songo sukses merebut hati penduduk
pribumi secara masif hanya dalam kurun separuh abad. Ini bukti kita harus terus
mengobarkan sikap dan tindakan kedamaian dan kesantunan demi melawan kekerasan.
Said Aqil
Siradj, Ketua Umum PBNU
Sumber:
Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar