Rabu, 14 Agustus 2013

(Ngaji of the Day) Perang Melawan Hawa Nafsu Belum Usai


Perang Melawan Hawa Nafsu Belum Usai

Oleh: Abd. Mun’im

 

Idul Fitri merupakan puncak dari rangkaian ibadah puasa. Ketika hilal dapat dilihat di penghujung bulan Ramadhan maka di hari itu juga seluruh umat Islam diharuskan untuk berbuka dan melaksanakan shalat hari raya sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "La tashumu hatta tarawul hilal wala tufthiru hatta tarauhu". Artinya: Janganlah kalian berpuasa kecuali kalian melihat hilal (bulan) dan janganlah kalian berbuka kecuali melihatnya (hilal)".

 

Demikianlah, sesuai dengan makna harfiyahnya. Idul fitri = hari berbuka, maka di hari ini kewajiban umat Islam menahan diri dari makan dan minum secara hawa nafsu sepanjang bulan Ramadhan telah selesai. Bahkan puasa tepat di hari ini sama sekali tidak diijinkan atas alasan apapun juga.

 

Namun apakah perang melawan hawa nafsi telah selesai? Tentu tidak. Satu bulan puasa hanya merupakan latihan untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi pada bulan-bulan berikutnya.

 

Akan tetapi dengan selesainya kewajiban puasa, bukan berarti seluruh umat Islam bisa berpesta pora dan meluapkan segala keinginan yang sebelumnya sempat tertahan di bulan puasa. Karena jika hal itu terjadi maka latihan pengendalian diri selama Ramadhan tidak berhasil dengan baik.

 

Terlebih lagi jika Idul Fitri dianggap sebagai hari raya kebebasan untuk makan dan minum dan berpesta pora maka dikhawatirkan kita akan menjadi terlampau berlebihan sehingga melanggar larangan Allah: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A’raf 7: 31).

 

Dengan kata lain, dalam ayat ini, Allah memperingatkan kita untuk hidup bersahaja dan jauh dari prilaku konsumtif, baik dalam sandang pangan maupun papan. Tidak perlu membeli pakaian yang mahal-mahal serta berpesta pora dalam hal makanan dan minuman.

 

Dalam konteks Idul Fitri kali ini, sikap berlebih-lebihan dan konsumtif kiranya tidak seharusnya ditumbuhkembangkan. Karena bagaimanapun juga, ibadah puasa merupakan ibadah yang ditujukan untuk membersihkan diri dan mengendalikan keinginan kita menjadi makhluk yang konsumeris. Sebaliknya, Ibadah puasa menyokong kita untuk merasakan ketidakberdayaan orang-orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan makan dan minum mereka sehari-hari.

 

Oleh sebab itu, tidak selayaknya kita mengenakan pakaian yang sangat mahal ketika umat Islam yang lain tidak dapat membelinya. Karena hal tersebut sama saja dengan memperdalam jurang kesenjangan sosial yang di bulan puasa ingin dikikis dari kehidupan sosial kita.

 

Yang seharusnya dikembangkan dalam situasi dan kondisi bangsa dan masyarakat kita yang hidup dalam keprihatinan ini adalah sikap kita untuk kembali kepada spirit kemanusiaan. Semangat untuk memandang diri kita sama dengan anggota masyarakat yang lain tanpa membeda-bedakan si kaya dan si miskin. Lebih jauh, semangat memandang diri kita sebagai bagian dari kehidupan orang lain dan melihat kehidupan orang lain sebagai bagian dari kehidupan kita sendiri.

 

Dengan demikian, maka Idul Fitri tahun ini, dapat mempererat tali silaturrahim di seluruh lapisan masyarakat, menekan kerakusan terhadap materi atau pola hidup konsumeristik serta menggantikannya dengan keinginan untuk saling berbagi serta memperkukuh kembali bangunan umat Islam sebagai satu bangunan yang utuh. Amin ya Rabbal ‘Alalamin.

 

* Abd. Mun’im

Alumni Universitas Islam Malang (Unisma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar