Perang Melawan Hawa Nafsu
Belum Usai
Oleh: Abd. Mun’im
Idul Fitri merupakan puncak dari rangkaian
ibadah puasa. Ketika hilal dapat dilihat di penghujung bulan Ramadhan maka di
hari itu juga seluruh umat Islam diharuskan untuk berbuka dan melaksanakan shalat
hari raya sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "La tashumu hatta tarawul
hilal wala tufthiru hatta tarauhu". Artinya: Janganlah kalian berpuasa
kecuali kalian melihat hilal (bulan) dan janganlah kalian berbuka kecuali
melihatnya (hilal)".
Demikianlah, sesuai dengan makna harfiyahnya.
Idul fitri = hari berbuka, maka di hari ini kewajiban umat Islam menahan diri
dari makan dan minum secara hawa nafsu sepanjang bulan Ramadhan telah selesai.
Bahkan puasa tepat di hari ini sama sekali tidak diijinkan atas alasan apapun
juga.
Namun apakah perang melawan hawa nafsi telah
selesai? Tentu tidak. Satu bulan puasa hanya merupakan latihan untuk menjadi
manusia yang lebih baik lagi pada bulan-bulan berikutnya.
Akan tetapi dengan selesainya kewajiban
puasa, bukan berarti seluruh umat Islam bisa berpesta pora dan meluapkan segala
keinginan yang sebelumnya sempat tertahan di bulan puasa. Karena jika hal itu
terjadi maka latihan pengendalian diri selama Ramadhan tidak berhasil dengan
baik.
Terlebih lagi jika Idul Fitri dianggap
sebagai hari raya kebebasan untuk makan dan minum dan berpesta pora maka
dikhawatirkan kita akan menjadi terlampau berlebihan sehingga melanggar
larangan Allah: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu di setiap (memasuki) mesjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A’raf 7: 31).
Dengan kata lain, dalam ayat ini, Allah
memperingatkan kita untuk hidup bersahaja dan jauh dari prilaku konsumtif, baik
dalam sandang pangan maupun papan. Tidak perlu membeli pakaian yang mahal-mahal
serta berpesta pora dalam hal makanan dan minuman.
Dalam konteks Idul Fitri kali ini, sikap
berlebih-lebihan dan konsumtif kiranya tidak seharusnya ditumbuhkembangkan.
Karena bagaimanapun juga, ibadah puasa merupakan ibadah yang ditujukan untuk
membersihkan diri dan mengendalikan keinginan kita menjadi makhluk yang
konsumeris. Sebaliknya, Ibadah puasa menyokong kita untuk merasakan
ketidakberdayaan orang-orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhan makan dan
minum mereka sehari-hari.
Oleh sebab itu, tidak selayaknya kita
mengenakan pakaian yang sangat mahal ketika umat Islam yang lain tidak dapat
membelinya. Karena hal tersebut sama saja dengan memperdalam jurang kesenjangan
sosial yang di bulan puasa ingin dikikis dari kehidupan sosial kita.
Yang seharusnya dikembangkan dalam situasi
dan kondisi bangsa dan masyarakat kita yang hidup dalam keprihatinan ini adalah
sikap kita untuk kembali kepada spirit kemanusiaan. Semangat untuk memandang
diri kita sama dengan anggota masyarakat yang lain tanpa membeda-bedakan si
kaya dan si miskin. Lebih jauh, semangat memandang diri kita sebagai bagian
dari kehidupan orang lain dan melihat kehidupan orang lain sebagai bagian dari
kehidupan kita sendiri.
Dengan demikian, maka Idul Fitri tahun ini,
dapat mempererat tali silaturrahim di seluruh lapisan masyarakat, menekan
kerakusan terhadap materi atau pola hidup konsumeristik serta menggantikannya
dengan keinginan untuk saling berbagi serta memperkukuh kembali bangunan umat
Islam sebagai satu bangunan yang utuh. Amin ya Rabbal ‘Alalamin.
* Abd. Mun’im
Alumni Universitas Islam Malang (Unisma)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar