Tidak Ada Diskriminasi
Oleh: Alil Wafa
“…Dan anak laki-laki tidaklah sama seperti
anak perempuan…” (QS. Ali Imran [3]: 36)
Sebagian orang kadang terjerumus dalam
kesalahan di saat mendefinisikan kata adil dengan mengartikan dan
mengidentikkannya dengan persamaan, padahal tidak ada konsekuensi antara
keadilan dan persamaan. Memang sebagian keadilan mempunyai arti persamaan tapi
tidak semua persamaan itu berarti keadilan. Oleh karena itu, definisi yang
tepat untuk keadilah ialah “memberikan hak pada pemiliknya” atau “menempatkan
sesuatu pada tempatnya”. Berdasarkan definisi di atas, Islam telah berlaku adil
dengan memberikan hak dan menempatkan perempuan pada tempatnya sesuai dengan
kodrat yang ia miliki.
Sekilas, sepertinya memang ada beberapa
aturan Islam yang cenderung lebih memberatkan dan tidak memihak wanita.
Semisal, auratnya lebih susah dijaga disbanding lelaki, wanita perlu meminta
izin dari suaminya apabila mau keluar rumah tetapi tidak sebaliknya, wanita
persaksiannya kurang jika berbanding lelaki, wanita menerima warisan lebih
sedikit daripada lelaki, wanita perlu menghadapi kesusahan mengandung dan
melahirkan anak, wanita wajib taat kepada suaminya, sementara suami tak perlu
taat kepada pada istrinya, talak terletak di tangan suami bukan istri, wanita
kurang dalam beribadah karena adanya haid dan nifas yang taka da pada lelaki,
dan perbedaan-perbedaan lain dalam melaksanakan rutinitas ibadah.
Benar, kalau hanya dipandang dengan satu
mata, tanpa membuka sebelah mata yang lain. Namun, pola pandang seperti ini
adalah cara pandang parsial yang tidak sportif. Karena dari sudut yang lain,
ternyata banyak sekali aturan-aturan syariat yang justru memposisikan wanita di
atas kaum Adam.
Beberapa gambran, semisal; aurat wanita
memang jauh lebih ketat daripada pria. Wanita seperti terkekang dengan aturan
berbusana dalam Islam. Tetapi tidakkah kita berpikir bahwa, benda yang mahal harganya
akan dijaga dan dibelai serta disimpan di tempat yang teraman dan terbaik.
Sudah pasti berlian, intan, dan permata tidak akan dibiarkan terserak. Itulah
bandingannya dengan seorang wanita.
Wanita memang wajib taat kepada suami. Islam
mengharuskan wanita untuk ‘mentuhankan’ suaminya. Tetapi, bukankah lelaki wajib
taat kepada ibunya yang notabebenya seorang wanita tiga kali lebih utama
daripada ayahnya?
Wanita menerima warisan lebih sedikit
daripada lelaki. Bagian wanita hanya separuh dari jatah yang diterima
laki-laki. Tetapi, tahukah bahwa harta warisan yang diteriam wanita menjadi
milik pribadinya dan tidak perlu diserahkan kepada suaminya. Sementara apabila
lelaki menerima warisan, ia wajib juga menggunakan hartanya untuk istri dan
anak-anaknya.
Wanita perlu bersusah payah mengandung dan
melahirkan ana, sedang lelaki tidak ikut menanggung penderitaannya. Tetapi,
tahukah bahwa setiap saat dia didoakan oleh segala makhluk, maliakat dan
seluruh makhluk Allah SWT di muka bumi ini. Dan, tahukah jika ia meninggal
dunia karena melahirkan adalah syahid dan surga menantinya.
Di akhirat kelak, seorang lelaki akan
dipertanggungjawabkan terhadap wanita: istrinya, ibunya, anak perempuannya dan
saudara peremuannya. Bukankah itu berarti bahwa seorang wanita, tanggung jawab
terhadapnya ditanggung oleh empat orang lelak; suaminya, ayahnya, anak
lelakinya dan saudara lelakinya.
Seorang lelaki wajib berjihad di jalan Allah
SWT, sementara bagi wanita jika taat akan suaminya, serta menunaikan tanggung
jawabnya kepada Allah SWT, maka ia kan turut menerima pahala setara seperti
pahala orang pergi berjihad di jalan Allah SWT tanpa perlu mengangkat senjata.
Seorang wanita boleh memasuki pintu surga
melalui pintu surga mana saja yang disukainya, cukup dengan empat syarat saja,
yaitu salat lima waktu, puasa di bulan Ramadan, taat kepada suaminya dan
menjaga kehormatannya. Dan masih banyak lagi gambaran lainnya.
Sebenarnya apa yang telah menjadi ketetapan
di dalam agama Islam, melalui wahyu-wahyu dari Allah SWT dan Sunnah Rasul SAW,
bukanlah sebagai permasalahan melainkan berupa sejumlah karunia. Islam adalah
salah satu yang dianut, bukan hanya berdasarkan doktrin-doktrin dokmatis,
tetapi juga dengan pertimbangan hasil olah nalar, olah jiwa, dan keteladanan
pemeluk-pemeluknya, sehingga tidak pantas setiap ketentuan dalam Islam dianggap
sebagai permaslahan atau sesatu yang akan menjadi beban pederitaan. Jika ada
yang menganggap ketentuan dari Allah SWT dan Rasul-Nya adalah adalah suatu
permasalahan, maka itu karena ketidaktahuan dan rasa pengingran belaka.
Yakinlah bahwa sebagai Dzat yang Maha
Pencipta, maka sudah pasti Ia yang Maha Tahu akan manusia, sehingga segala
peraturan hukumnya adalah yang terbaik bagi manusia dibandingkan dengan segala
peraturan buatan manusia.
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur, Edisi 71, Halaman 30 – 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar