Senin, 19 Agustus 2013

BamSoet: Sengkuni di Seputar Presiden

Sengkuni di Seputar Presiden

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Selama lima tahun pertama masa kepresiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ia selalu menunjukkan tindak tanduk yang terjaga, sopan, tenang, bahkan bila dihampiri masalah yang bertubi ia mampu menahan emosi. Yudhoyono terkesan serba formulatif dan tidak spontan dalam bereaksi. Yudhoyono dinilai kerap berusaha menguasai masalah secara menyeluruh, hati-hati dalam mengambil keputusan, dan mempertimbangkan banyak hal serta melibatkan banyak orang. Oleh karena itu, Yudhoyono sering terkesan lamban dan kurang tegas.

Mungkin bisa jadi di ruang yang tidak tertangkap publik, ia menampilkan hal sebaliknya. Tapi, ya itu tadi. Masyarakat mendapat kesan bahwa SBY selalu lama dalam mengambil keputusan, terlalu hati-hati, dan ragu-ragu. Kecenderungannya menghindari konflik dan terlalu hati-hati membuatnya kurang berani mengambil risiko.

Namun citra itu separuh pudar dimasa-masa akhir pemerintahan era kedua Susilo Bambang Yudhoyono. Ia mulai sulit menahan emosi. Kita lalu menemukan sosok presiden yang tiba-tiba bisa marah, tidak hanya kepada para bawahannya--para menteri atau gubernur-- tapi juga kepada anak-anak SD yang kelelahan dan mengantuk setelah berjam-jam menunggu dimulainya acara yang dihadiri Bapak Presiden.

Juga di bulan puasa, Presiden tak mampu menahan emosi. 13 Juli 2013, saat sepertiga pertama Ramadan sedang berjalan, Presiden Yudhoyono memimpin rapat kabinet terbatas membahas ketersediaan pasokan kebutuhan Ramadan dan Idul Firti 1434 H. Rupanya, dalam rapat tersebut, Presiden tidak berkenan dengan hasil kerja dua orang menterinya: Menteri Pertanian Suswono dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Mereka berdua dimarahi Presiden karena belum berhasil menstabilkan harga daging sapi.  Kala itu, harga daging sapi memang melesat hingga di atas Rp. 100 ribu per kilogram. Rencana pemerintah untuk mengatasi kenaikan harga tersebut melalui impor daging sapi, ternyata tidak berjalan lancar.

Syahdan, salah satu penyebab lain marahnya Presiden adalah mampetnya informasi yang mestinya segera diterima orang nomor satu di Indonesia tersebut. Bahkan sang presiden sendiri mengakui, ia pernah terlambat mengetahui adanya persoalan penting di negeri ini, gara-gara tidak segera diberi informasi oleh para pembantunya. Ihwal ini terkait dengan terjadinya kerusuhan di LP Tanjung Gusta, Medan, Kamis, 11 Juli 2013. Kala itu, para napi berontak dan membakar fasilitas LP klas I Medan tersebut.

Tentu saja, karena telat mendapat informasi, Presiden marah besar. Apalagi, perkembangan kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas I Tanjung Gusta justru dia peroleh dari social media, bukan dari anak buahnya.  "Terpaksa saya sampaikan ketidaksenangan saya terhadap sejumlah isu. Apa yang saya sampaikan ini penting dan kritikal bagi masyarakat," kata Yudhoyono.  "Soal LP (Tanjung Gusta) Medan, saya justru tahu lebih dulu dari media massa, sejumlah televisi internasional sudah meliputnya. Dibanding informasi yang saya dapat dari sistem,"  ujarnya, melanjutkan dengan nada meninggi.

Masalahnya, setelah peristiwa marah-marah tersebut, tak lantas ada tindakan konkret yang layaknya dilakukan seorang presiden yang kecolongan. Hingga dua minggu setelah kejadian, semua berjalan seperti biasa. Mereka yang mengurusi soal penjara masih berada di posisinya. Mereka yang seharusnya memberikan informasi kepada presiden, juga tampak adem-ayem saja.
Presiden malah terlihat sudah melupakan amarahnya dalam petaka Tanjung Gusta—juga dalam kisruh harga daging sapi. Ketika tampil di hadapan publik, pada 16 Juli 2013—lima hari setelah tragedi Tanjung Gusta dan tiga hari setelah emosi karena harga daguing sapi-- yang terlihat justru senyum lebarnya yang berpendar-pendar. Ibu Negara, Ny. Ani Yudhoyono juga sama-sama tersenyum. Rupanya, ada kesepakatn soal negeri ini, di antara kedua orang anggota first family  itu  "Kami telah sepakat bahwa Ibu Ani tidak akan maju, dari keluarga hanya Pramono Edhie yang ikut konvensi," kata Yudhoyono.

Dan pernyataan Yudhoyono diamini Ani Yudhoyono. "Ya betul," kata ibu Ani sambil mengajak tos SBY dalam acara buka puasa di Istana, yang diadakan Presiden bersama para pemimpin redaksi media masa.

Kesepakatan di dalam keluarga soal kandidat pengganti Yudhoyono sebagai presiden RI, yang bakal habis masa jabatannya pada 2014, seakan membuat Yudhoyono kembali riang dan melupakan duka Tanjung Gusta atau mahalnya harga daging sapi. Yudhoyono yang tadinya dicitrakan kerap mengutamakan nilai sehingga apabila bertentangan dengan logika, nilai akan didahulukan, kini tampak agak berbeda. Yudhoyono terlihat lebih spontan dalam bereaksi.

Namun, ada kalanya Yudhoyono juga tak ambil pusing dengan situasi dan komentar orang banyak. Maka, tidak selamanya pemeo dari zaman Yunani klasik, ‘vox populi vox dei’—suara rakyat adalah suara Tuhan, mendapatkan pembenarannya di keseharian. Lihat saja polemik panas seputar pemberian penghargaan World Statesman Award yang diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada awal kuartal kedua 2013. Protes boleh saja merebak di masyarakat. Yang jelas, jauh-jauh hari pun Presiden SBY sudah menyatakan akan tetap berangkat ke Amerika Serikat untuk menerima penghargaan dari organisasi nirlaba, Appeal of Conscience Foundation (ACF) itu

“Untuk diketahui, saya menerima penghargaan itu sebagai Presiden, bukan sebagai pribadi Susilo Bambang Yudhoyono,” kata Presiden SBY di Bandara Halim Perdana Kusumah, sebelum keberangkatannya itu.
Namun yang menarik, pada kesempatan tersebut Presiden mengakui bahwa dirinya mengetahui adanya penolakan dari berbagai pihak atas penghargaan yang diterimanya itu. Dan barangkali sebagai sebuah apologi mengapa dirinya tetap memilih untuk berangkat dan menerima, Presiden hanya berkata,”Saya menghormati, menghargai pandangan seperti itu sebagaimana saya menghormati dan menghargai pandangan-pandangan yang berbeda juga dari masyarakat kita," kata Presiden.

Sebelumnya memang rencana pemberian penghargaan toleransi beragama itu telah memicu perdebatan panas di dalam negeri. Beberapa tokoh masyarakat, termasuk mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Buya Ahmad Syafii Maarif, segera menolak rencana pemberian penghargaan itu.

Kritikan juga datang dari Rohaniwan sekaligus ahli filsafat Franz Magnis Soeseno yang berhasil membuat wacana tersebut tak hanya mengemuka, melainkan kembali membuka keaslian sikap para pembantu Presiden. Sebagaimana Syafii Maarif, Franz Magnis juga menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak pantas mendapat penghargaan di bidang toleransi tersebut. Pasalnya, menurut Franz Magnis, pemerintahan di bawah SBY tidak cukup melindungi kaum minoritas di Tanah Air.

Istana tentu saja tidak tinggal diam. Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha menanggapi kritikan itu. Menurut Julian, Presiden SBY layak mendapatkan penghargaan tersebut. Julian beralasan, tidak hanya ACF--lembaga pemberi penghargaan itu--merupakan organisasi yang kredibel, tetapi karena secara faktual pun Presiden SBY berhasil meningkatkan toleransi beragama itu dalam kehidupan keseharian warga negara Indonesia.

Rekannya di Istana, Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, bahkan menilai toleransi beragama di Indonesia dalam tahun- tahun terakhir, terutama dalam kepemimpinan Presiden SBY, justru membaik.

Sampai di situ polemik yang berlangsung masih tergolong sehat. Masuknya Sekretaris Kabinet, Dipo Alam—seorang aktivis mahasiswa di tahun 1970-an, ke dalam debat tersebut justru membuat polemik itu tak sekadar menjadi keruh, melainkan bisa disebut picik dan—dalam bahasa gaul saat ini, norak. Alih-alih tetap berkepala dingin dengan membahas persoalan yang diperdebatkan, yakni layak tidaknya SBY menerima penghargaan itu seiring kinerjanya, Dipo malah membawa debat publik tersebut pada tataran pribadi.  

Dipo kemudian mengata-ngatai Magnis bermata dangkal. “Jadi kata-kata Pak Magnis, dia matanya dangkal, melihat Indonesia seolah-olah hanya ada di TV," katanya. Dipo lebih jauh bahkan memasuki persoalan pribadi yang bernuansa SARA.  Melalui akun twitternya, @dipoalam49, Dipo menilai surat terbuka Franz Magnis kepada Appeal of Conscience Foundation, tidak akurat. Di akun twitter itu Dipo berkicau, “Masalah khilafiyah antarumat Islam di Indonesia begitu banyak, jangan dibesarkan oleh yang nonmuslim, seolah simpati kepada minoritas diabaikan." Tentu saja yang disebutnya nonmuslim itu adalah Franz Magnis.

Kicauan itu pula yang segera mendapatkan kritik banyak pihak. Mantan Menteri Ristek, Muhammad AS Hikam pun menilai kicauan Dipo itu mencerminkan mindset  yang secara total berlawanan dengan nilai-nilai   luhur Pancasila, khususnya kebangsaan, persatuan, dan demokrasi. AS Hikam mengaku bingung, bagaimana mungkin seorang menteri di kabinet yang memiliki latar belakang aktivis dan terpelajar seperti Dipo bisa melakukan hal tersebut.
“Dipo Alam ini bukan saja mencemari nama  baik pemerintah dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikenal sebagai representasi Indonesia  yang  demokratis. Ini juga merupakan kesalahan fatal pejabat Negara yang semestinya menjadi contoh bagi rakyat bagaimana seharusnya mengelola bangsa yang majemuk,” kata AS Hikam.

Pernyataan paling keras datang dari pengamat politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargens. Tanpa basa-basi, Boni langsung mengatakan Dipo Alam itu mestinya dibawa ke psikiater.

Melihat perkembangan tersebut, tak pelak publik melihat bahwa keberangkatan Presiden SBY itu tak lepas dari ‘bisikan’ para pembantu dekatnya yang kerap berperilaku seperti Sengkuni - tokoh wayang yang senang mencari muka dan mengadu domba. Persoalannya, bukan sekali ini Presiden melakukan hal yang menurut publik kurang patut ia seriusi. Selama kepemimpinannya, beberapa hal yang terkesan salah atau ganjil berkali-kali dilakukan SBY. Tentu saja semua itu tak lepas dari keberadaan para pembisik yang berada di lingkungan terdekat (inner cyrcle) Presiden.

Tidak Bisa Berbuat Banyak

Peristiwa di atas menjelaskan kepada kita (sebagai contoh kasus), betapa peran orang-orang dekat presiden kerap memperburuk kepemimpinan nasional. Cawe-cawe inner cyrcle Presiden membuat pemerintahan tidak cukup efektif mengatasi masalah-masalah bangsa dan negara. Padahal, sang pemimpin itu sendiri yang sudah menjanjikan banyak hal, yang disampaikan dalam program kerjanya selama memerintah negeri ini.

Boleh jadi, presiden kesulitan mewujudkan janjinya kepada rakyat karena ada persoalan serius yang terjadi di lingkungan kepemimpinannya, yang kemudian menjadi “benalu” terhadap efek kinerja secara keseluruhan.

Masih ada waktu untuk segera memperbaiki dengan ketegasan dan langkah kerja yang kongkrit. Saya masih memiliki optimisme yang besar terhadap pemerintahan ini. Sama dengan optimisme saya akan hadirnya seorang pemimpin mendatang, yang energi dan pikirannya hanya untuk rakyatnya. Dia adalah pemimpin yang tegas, memiliki energi yang kuat, berani serta bertanggung jawab kepada rakyatnya. Dia kokoh bersama rakyat saat berada di tengah badai politik intern yang kerap menjerumuskannya. Dan dia juga memiliki visi yang jauh ke depan tentang pembangunan bangsanya.

Meski di tengah politik pragmatisme yang sangat kuat mencengkram sistem politik kita, saya yakin bahwa pemimpin yang ideal dan bebas pengaruh dari para pembisik atau sengkuni itu akan muncul. Saya, anda, dan kita semua bertanggung jawab ikut melahirkan tokoh-tokoh pemimpin nasional yang seperti ini. (Baca Selengkapnya dalam Buku "Presiden dalam Lingkaran Para Sengkuni" - Terbit September 2013). []

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar