Malam Ke-29 di 400 Meter
Ketinggian
Senin, 12 Agustus 2013
Dari lantai atas Hotel Fairmont
Makkah ini saya bisa menatap Kakbah yang agung di tengah-tengah pusaran manusia
yang lagi tawaf di Masjidilharam. Di lantai inilah saya siap-siap salat Tarawih
malam itu, malam ke-29 bulan puasa. Di lantai ini pulalah saya diagendakan
bertemu pemilik kerajaan bisnis Saudi Binladin Group, Syekh Bakr bin Ladin.
Inilah
lantai tempat Syekh Bakr tinggal. Salah satu ruangannya dijadikan tempat salat.
Yakni, ruang yang persis menghadap ke Masjidilharam. Dari kaca ruang ini,
lautan manusia di bawah sana terlihat menyemut. Masjid yang terang lampunya bak
siang itu, dengan menara-menara yang gemerlap bercahaya. Manusia di dalamnya
terlihat tidak henti-hentinya memutari Kakbah.
Dari sini
pula terlihat bangunan baru yang arsitekturnya mirip Masjidilharam. Inilah
bangunan tambahan yang besarnya melebihi Masjidilharam itu sendiri. Bangunan
ini hampir jadi. Letaknya persis di sebelahnya dalam posisi menonjol karena
bertumpu di bukit yang lebih tinggi. Lokasi ini dulu dikenal sebagai Hotel
Makkah dan sekitarnya. Bulan puasa tahun depan bangunan ini jadi 100 persen.
Dari arah
atas ini pula terlihat seperempat bagian Masjidilharam yang dibongkar dan kini
dibangun lagi. Di bagian inilah BUMN PT Waskita Karya (Persero) Tbk ikut
berperan. Proyek ini didapat Waskita dari kontraktor utama Binladin. Tiap tahun
ditargetkan seperempat pembongkaran dilakukan untuk dibangun kembali. Dengan
demikian, seluruh Masjidilharam selesai direnovasi pada 2018. Berarti, selama
itu pula Waskita terus bekerja di sana. Insya Allah.
Dari
kamar khusus Syekh Bakr itu semua aktivitas di Masjidilharam dan sekitarnya
terlihat sempurna. Saya, Dirut Waskita Karya M. Choliq, dan manajer Waskita di
Arab Saudi, sudah siap di kamar itu menjelang azan Isya. Kami ditemani beberapa
staf inti Binladin Group. Termasuk adik kandung Syekh Bakr yang juga direktur
keuangan grup itu.
“Syekh
masih di sana, tapi segera tiba,” ujar salah satu staf inti Binladin Group.
Berkata begitu dia sambil menunjuk bangunan tinggi di sebelah Masjidilharam,
arah kanan depan Hotel Fairmont. Itulah bangunan tempat raja Arab Saudi dan
keluarganya tinggal untuk beribadah selama 10 hari terakhir bulan puasa.
Syekh
Bakr bin Ladin masih di gedung kerajaan itu. Kami pun salat Tarawih mengikuti
imam Masjidilharam. Sound system di kamar itu memang tersambung sound system
masjid. Azan dan suara imam juga tersambung ke seluruh kamar hotel sehingga
banyak penghuni hotel yang salat lima waktu di kamar masing-masing dengan imam
dari Masjidilharam.
Usai
salat Tarawih, yang ditunggu pun tiba. Syekh Bakr ternyata cukup santai, tanpa
tutup kepala dan bicaranya ceplas-ceplos seperti umumnya pengusaha. Di situlah
kami membicarakan proyek-proyek Waskita dan masa depannya. Termasuk keinginan
Syekh Bakr untuk terus menambah orang agar Waskita bisa ikut mempercepat
penyelesaian proyek.
“Di sini
selalu diinginkan serbacepat. Proyek lima tahun kalau bisa selesai dalam dua
tahun,” kata Syekh Bakr.
Ternyata Syekh Bakr juga sudah tahu maksud kedatangan saya. “Waskita akan kami ikutkan di proyek perluasan Masjid Nabawi di Madinah,” tegasnya. “Kalau perlu, tidak hanya proyeknya. Juga sampai pemeliharaannya,” tambahnya.
“Pokoknya
peranan Waskita harus kita tingkatkan terus,” katanya lagi. Kali ini sambil
menatap wajah-wajah staf intinya.
Entah apa yang baru dia bicarakan di gedung kerajaan di sana. Yang jelas, malam itu Syekh Bakr menyambut baik semua rencana kami. Termasuk mengundangnya untuk berinvestasi di Indonesia. “Kami akan serius masuk Indonesia,” katanya.
Yang juga
terlihat spontan adalah kata-kata terakhirnya kepada para stafnya: tiap tahun
beliau ini harus jadi tamu kita di sini, dan malam ini antarkan beliau ke atas!
Saya
tidak menyangka mendapat kesempatan naik ke ketinggian 400 meter di puncak
bangunan itu. Yakni, ke ruangan yang terletak di balik ”Jam Makkah” warna
hijau yang terlihat dari seluruh penjuru kota, bahkan terlihat dari Mina dan
Muzdalifah itu. Inilah jam terbesar yang diletakkan di ketinggian tertinggi di
dunia. Kalau Big Band London yang terkenal itu tingginya hanya enam meter, Jam
Makkah ini 43 meter!
Tulisan
“Allah” (dalam huruf Arab) yang ada di dekat jam itu terbesar dan tertinggi di
dunia. Panjang huruf alifnya saja 23 meter.
Ruangan
di balik jam itu ternyata dijadikan diorama untuk menunjukkan keagungan jagat
raya. Foto tiga dimensi matahari, lengkap dengan inti matahari, ada di situ.
Demikian juga foto tata surya, jagat raya, dan planet-planetnya. Termasuk
pergerakan putaran bumi dan planet-planet lainnya. Ayat-ayat Alquran yang
terkait dengan alam raya di-display di sana-sini.
Di ruang ini kita sungguh
mengagumi terciptanya alam raya. Dan, lebih-lebih mengagumi penciptanya.
Jam itu benar-benar raksasa. Empat buah jumlahnya untuk empat penjuru angin. Beratnya 23 ton!
Warna
dasar jam itu hijau. Warna itu dibentuk oleh lampu-lampu LED dengan background
material warna putih. Untuk menghijaukan warna empat jam itu diperlukan dua
juta lampu LED.
Jarum
jamnya dibuat warna putih yang juga terbentuk oleh lampu LED bercahaya putih,
dengan dasar material hitam.
Pilihan warna dasar hijau dan jarum putih ini berdasar hasil riset yang mendalam. “Warna hijau dan putih adalah warna yang bisa terlihat dari jarak paling jauh. Sejauh apa pun, Anda masih bisa melihat jam ini dengan jelas. Kalau warna lain, tidak akan sejelas hijau dan putih,” ujar seorang Jerman, muslim, arsitek gedung sekaligus pendesain jam ini. Saya beruntung bahwa dia diminta mendampingi saya untuk menjelaskan semua itu.
Keperluan
listrik untuk jam ini saja, ampun-ampun, 2 MW! Maklum, mesin jam itu (bisa kami
lihat dari arah belakang jam) seperti gigi-gigi mesin pabrik gula!
Di
ketinggian 400 meter itu (sekitar empat kali tinggi Monas) juga tersedia
balkon. Kita bisa ke luar gedung untuk melihat Kakbah dari atas. Juga untuk
melihat seluruh Kota Makkah. Allahu Akbar!
Tidak
hanya Fairmont yang ada di gedung ini. Juga beberapa hotel lain. Superblok ini
(disebut Clock Tower) memang sangat besar. Lantai bawahnya dibuat mal yang di
waktu salat diubah jadi tempat salat berjamaah. Lantai mal ini memang connect
dengan halaman Masjidilharam. Beberapa lantai bagian depan superblok ini juga
untuk masjid yang makmum ke imam Masjidilharam.
Di salah satu
ruang di Clock Tower ini pula saya menerima Presiden Islamic Development Bank
(IDB), Dr Ahmed Muhammed Ali, sehari sebelumnya. Terutama karena IDB memiliki
fasilitas kredit ekspor. Fasilitas inilah yang harus dimanfaatkan PT Dirgantara
Indonesia (Persero) untuk menjual pesawat ke negara-negara anggota IDB. Saya
minta manajemen PT DI serius menindaklanjutinya.
Bahkan,
kalau perlu, BUMN lain tidak usah memanfaatkan kredit IDB. Seluruh dana IDB
untuk Indonesia yang sebesar Rp 30 triliun bisa dialokasikan untuk penjualan
pesawat PT DI. Adapun untuk dermaga Pelabuhan Belawan, Medan, misalnya, Pelindo
I sebenarnya mampu membiayainya sendiri. Bahkan, bisa lebih cepat terwujud.
Kalau
BUMN lain meminjam dana itu, BUMN itu yang harus mengembalikannya. Tapi, kalau
PT DI yang dapat fasilitas itu, negara pembeli pesawat yang harus melunasinya.
Dr Ahmed terlihat antusias untuk bisa membiayai ekspor pesawat PT DI. ‚”Saya
pernah berkunjung ke PT DI di Bandung. Saya sangat terkesan,” katanya. “Waktu
itu saya diundang Dr Habibie,” tambahnya.
Indonesia
adalah anggota penting IDB. Juga salah satu pendirinya. Ulang tahun ke-40 IDB
tahun depan, ada baiknya ditandai dengan terealisasinya kredit ekspor untuk PT
DI itu. (*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar