Ki Sunan
dan Ki Juru
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Sejak berabad-abad yang lalu
hingga — barangkali — berabad-abad yang akan datang, salah satu sumber tegangan
sosial atau konflik peradaban dalam masyarakat dan Negara manusia, adalah
perbenturan antara otoritas Negara dengan otoritas agama. Segala jenis
pertentangan, pada skala kehidupan sehari-hari maupun yang lebih luas dan lebih
sistemik, sesungguhnya disumberi oleh pertentangan dasar tersebut.
Sesudah
Abad Pertengahan, peradaban masyarakat Eropa mengalami kebangkitan rasionalisme
yang mencerahkan sejumlah kegelapan nilai dasar manusia. Salah satu hasilnya
adalah filosofi sekularisme yang secara tegas memilahkan otoritas Negara dari
otoritas agama.
Sejak itu
wilayah agama menjadi sangat terbatas pada lingkar privacy setiap orang. Agama
“tidak boleh” seenaknya mengatur kehidupan manusia dari dapur, kamar mandi,
gardu hingga istana Negara. Ia hanya punya kapling yang hanya menyangkut
komunikasi antara individu dengan Tuhan. Lalulintas di jalan raya, juga
lalulintas uang dan birokrasi, bukan Agama yang berhak mengaturnya. Teokrasi
adalah momok dari masa silam yang tak boleh bangkit kembali dari kuburnya.
Dalam
sejarah pra-Indonesia, konflik semacam itu sesungguhnya telah ada, setidaknya
secara embrional.
Raja-raja
Majapahit memang memeluk ramuan unuk antara Hindu dengan Budha, tetapi konsep
kerajaan dan kepemerintahan yang berlaku sama sekali berada di tangan Raja dan
lingkarannya. Secara “natural”, otoritas negara ketika itu telah mengatasi
kekuasaan Agama.
Tatkala
Brawijaya terakhir bersedia “memangkas rambut”-nya atas fetakompli Raden Patah,
kemudiaan Nyoo Lay Wa — Gubernur Majapahit ketika Demak telah membawahinya — dibunuh
beramai-ramai oleh sisa rakyat Majapahit non-muslim: seolah-olah teokrasi Islam
sedang didirikan.
Pemerintahan
Demak dilatari oleh kewibawaan dan otoritas politik para Wali. Islam pesisir
memberi format pada pelaksanaan pemerintahan kesultanan dan kehidupan
rakyatnya. Meskipun ketika itu telah ada perbedaan approach politik dan
kultural antara para Wali bang-wetan di Surabaya dan Gresik dengan Wali pesisir
utara Kudus Semarang, di mana Sunan Kudus telah menerapkan suatu model persuasi
Islam terhadap idiom-idiom kebudayaan Jawa — tetapi dominasi otoritas Agama
atas kerajaan tetap sangat menonjol.
Sampai
akhirnya Sunan Kalijaga menegaskan pendekatan kultural itu secara lebih masuk
ke dalam rempelo ati kebudayaan Jawa. Sampai akhirnya ia mendorong transformasi
untuk menseimbangkan antara dua orotitas itu dan melatarbelakangi pola
kekuasaan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Dan akhirnya Arya Penangsang mbrodol
ususnya oleh tombak Jebeng Sutawijaya.
Barangkali
memang menarik posisi Pajang: tidak terlalu pesisir, tidak terlalu pedalaman.
Seolah-olah letak geografis Pajang mewakili peletakan strategi penyeimbangan
otoritas itu.
Tetapi
yang terjadi adalah Panembahan Senopati menggantikan legitimasi Wali dengan
Nyai Roro Kidul, yang sebenarnya sekedar merupakan perlambang dari otoritas
kekuasaan Jawa. “Negara” dalam terminology Panembahan Senopati — atas konsep
yang disusun oleh Ki Mondoroko Juru Martani — jumbuh dengan kebudayaan Jawa itu
sendiri.
Strategi
Ki Juru adalah merangkul Agama dalam batas formalism politik, tapi
menghambatnya secara kultural. Ketika cucu Sultan Agung kemudian tak mampu lagi
mempertahankan moderasi strategi ini, yang terjhadi adalah ekstremitas
kekuasaan Negara di mana ribuan Kyai dibantai habis.
Itulah
“Abad Pertengahan” dalam sejarah Jawa.
Otoritas
Agama kemudian terkebiri. Mereka termarjinalisir. Lari ke Pinggiran. Sembunyi
di semak-semak belukar. Mendirikan pesantren-pesantren yang “memisahkan diri
dari dunia”.
Ketika
kemudian kekuasaan “Negara Mataram” berkembang makin canggih dengan peralatan
birokrasi dan militer yang mampu menjangkau “helai rambut di ketiak” para
penyembunyi itu: kemungkinan yang terjadi hanya dua. Pertama, mereka gampang
mengamuk. Kedua, mereka gampang menggantungkan diri justru pada kekuasaan
Negara.
Keadaan
seperti itu berlangsung sampai hari ini.
Tulisan
ini bukanlah mendambakan bangkitnya kembali otoritas Agama untuk mengatur
Negara. Melainkan sekedar secara rasional dan dengan kerinduan demokrasi:
memimpikan penyeimbangan yang dewasa serta kemungkinan kerjasama anatara dua
macam otoritas itu.
Saya
tidak bahagia menyaksikan Ki Sunan berperang tanding melawan Ki Juru. Kita
memerlukan formula kerjasama. Kooperasi dan interdependensi. Bukan dependensi
salah satu pihak. []
Arsip dan
Dokumentasi Progress
Tidak ada komentar:
Posting Komentar