Dalam Tarawih Kita Belajar Banyak Hal
Oleh: Ajie Najmuddin*
Shalat tarawih merupakan salah satu amalan
ibadah yang hanya ada di bulan Ramadlan. Karena itu tarawih menjadi istimewa.
Bagi sebagian masyarakat, mungkin kedudukannya seakan mengungguli shalat sunah
rawatib.
Ini bisa kita lihat di masjid sekitar kita.
Fenomena tarawih ini menjadi pesona tersendiri, yang mampu menyedot masyarakat
untuk berduyun-duyun pergi ke masjid. Orang yang biasanya malas ke masjid jadi
ikut terlecut untuk menyambangi rumah Allah.
Hal ini, mungkin tak lepas dari berbagai
keterangan yang menyebutkan tentang keutamaan dan pahala tarawih. Mulai dari
diampuni dosa seperti bayi baru dilahirkan ibunya, sampai dijanjikan pertemuan
dengan Sang Khaliq. Ini tentu akan menjadi motivasi tersendiri bagi seseorang
yang akan menjalankannya.
Namun, di balik segala keutamaan tarawih itu,
siapa sangka juga terselip ruang pembelajaran untuk memupuk sikap toleransi.
Toleransi yang dalam bahasa sederhana bisa kita maknai sebagai sikap menghargai
perbedaan. Perbedaan ini acap kali terjadi di lingkungan kita, dan bahkan
melibatkan diri kita.
Perbedaan ini mungkin jarang kita temui,
apabila kita masih dalam satu lingkup (ideologi, ormas, suku, dan sebagainya).
Namun, ketika kita sudah dihadapkan pada sebuah masyarakat yang majemuk, maka
perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Seperti yang penulis alami sendiri, ketika
dalam sebuah musyawarah persiapan menyambut Ramadlan.
Pada awalnya kami sepakat, tentang perlunya
pengadaan tarawih di kompleks perumahan yang kami tinggali. Meskipun belum
memiliki masjid, panitia sangat bersemangat untuk menyambut Ramadlan dengan
gegap gempita. Sampailah pada pembahasan tarawih, dan justru di bagian ini yang
paling lama dan alot.
Mulai dari jumlah Rakaat (20 atau 8 rakaat
tarawih), format salat (2 atau 4 raka’at salam). Ini pun belum selesai, karena
ada yang masih belum sepakat ketika witir mesti 2 rakaat ditambah 1 rakaat,
mereka menginginkan 3 rakaat sekaligus. Setelah dicapai kesepakatan, akhirnya
diputuskan salat 8 rokaat, dimana tiap 2 rakaat salam. Dilanjut witir 2 rakaat
salam, ditambah 1 rakaat salam.
Selesai? Ternyata belum, karena masih ada
kelanjutan seperti bagaimana dengan bacaan basmalahnya? lalu apakah memakai
bilal atau tidak? dan tak ketinggalan, doa tarawih dan witir. Alhasil, pada
malam itu pembahasan menjadi lama, padahal tadinya hanya ingin membahas: apakah
ada tarawih atau tidak?
Tarawih Masjid Agung Solo
Hal di atas mungkin lumrah (mungkin pula
sudah mentradisi) terjadi di sebuah kampung atau masjid, yang masyarakatnya
memiliki beragam latar belakang. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah
dengan berbagai perbedaan tersebut, mesti membuat umat Islam terpecah belah,
dengan mendirikan jamaah sendiri atau bahkan membangun masjid baru?
Ternyata tidak semestinya hal tersebut
terjadi. Bahwa perbedaan tersebut apabila dapat kita kelola dengan baik, justru
dapat menjadi khazanah tersendiri. Bukan berarti hendak mencampurkan mazhab,
namun cobalah tengok kearifan di Masjid Agung Solo.
Di masjid tersebut sempat terjadi dualisme
pendapat tentang pelaksanaan tarawih, yang berujung pada pemisahan jamaah.
Dalam waktu yang sama terjadi 2 kubu jamaah tarawih, jamaah 8 rokaat di ruang
utama, sedangkan 20 rokaat di ruang samping (pawastren). Bisa kita bayangkan,
apabila kejadian tersebut terjadi di masjid lingkungan kita ataupun masjid yang
lain, tentu bukan sebuah hal yang baik.
Namun, pada awal Ramadlan ini dibuat sebuah
konsensus baru, dimana salat tarawih disatukan di ruang utama, dengan
menggunakan 20 rakaat tarawih. Bagaimana dengan yang 8 rakaat tarawih, apakah
mereka kemudian harus menyingkir? Tidak, tetapi mereka tetap sholat bersama,
bahkan diberi keistimewaan, yakni saat selesai 8 rakaat, mereka yang akan melanjutkan
hingga 20 rakaat, mesti menunggu selesai witirnya (8 rakaat).
Pun yang di masjidnya menerapkan 8 rakaat,
tentu yang hendak melaksanakan 20 rakaat, juga perlu berbesar hati dengan tetap
mengusung asas persatuan. Tidak perlu membuat jamaah sendiri, tetapi ikut
bersama salat dengan jamaah 8 rakaat. Kemudian untuk meneruskan hingga 20
rakaat, dapat meneruskan sendiri ataupun berjamaah.
Kedua kebijakan di atas, menjadikan masalah
perbedaan pendapat rakaat salat tarawih, sedikit banyak dapat ditengahi. Bukankah
suatu contoh yang indah, apabila dapat diterapkan di kehidupan masyarakat kita?
Dimana perbedaan tidak mesti diberangus, tapi dikelola dengan arif dan
merangkul yang lain.
Tarawih Perkuat Persaudaraan
Selain itu, secara tidak langsung, tarawih
secara berjamaah mampu memperkuat ikatan persaudaraan (ukhuwah islamiyyah).
Bagaimana tidak, hampir setiap hari kita akan bertemu dengan saudara kita. Bagi
masyarakat di desa mungkin ini hal yang biasa, namun bagi masyarakat di
perkotaan yang memiliki kultur individual, tarawih berjamaah ini akan jadi
momentum berharga untuk mengenal tetangga di lingkungannya, atau bahkan
mengenal tetangga sebelah rumah yang mungkin belum kenal.
Jangan lupakan pula, tradisi berbagi jaburan
(makanan atau minuman) usai tarawih. Tradisi yang dilakukan oleh sebagian
masyarakat kita ini, menanamkan karakter untuk saling berbagi. Bukan dilihat
dari air teh atau gorengan yang disajikan, tapi nilai tasammuh dan peduli
sesama, itulah yang diharapkan.
Pada kesimpulannya, dalam tarawih (mulai dari
persiapan sampai pelaksanaannya) kita dapat belajar banyak hal. Diantaranya
sikap toleransi, demokratis dan sikap tawassuth. Sikap demokratis terdapat pada
musyawarah penentuan rakaat. Toleransi dengan menghargai perbedaan yang ada.
Sedangkan sikap tawassuth perlu dalam pelaksanakan tarawih, dimana imam
semestinya tidak terlalu cepat, juga tidak terlalu lambat.
Oleh karena itu, mari kita jaga nilai-nilai
tersebut. Jangan sampai perbedaan yang ada, justru menimbulkan bibit perpecahan
dan perdebatan yang tak kunjung reda. Jadikanlah perbedaan ini sebagai sebuah
rahmat, yang membuat nyaman umat.
Mari kita ramaikan tarawih, di masjid,
langgar, atau mushola kita. Jadikan tarawih sebagai ruang pembelajaran salat
bagi anak-anak kita. Terakhir, semoga tarawih yang kita kerjakan semoga dapat
menghapus dosa-dosa kita, sebagaimana keterangan dalam sebuah hadits, sehingga
nanti ketika Ramadhan berakhir kita sudah dalam keadaan benar-benar fitrah.
Amin.
*Ajie Najmuddin
Aktivis Ansor Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar