Kamis, 30 Mei 2013

(Ngaji of the Day) Islam-ku


Islam-ku

Oleh: Misbahul Ulum


Salah satu dari fungsi terpenting agama Islam diturunkan adalah sikap korektif terhadap budaya-budaya atau sejarah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Distorsi sejarah yang menyimpang seperti inilah yang di namakan sebagai bentuk dehumanisasi. Disinilah Islam lahir dengan peran untuk mengembalikan nilai-nilai kemanisiaan yang telah lama terabaikan.


Sesungguhnya agama Islam merupakan agama yang prinsip-prinsipnya tidak hanya didasarkan pada ritual atau spiritual yang bersifat spekulatif. Namun sebenarnya yang paling fundamental adalah Islam menjaga serta memelihara agar nilai-ailai kemanusiaan tidak dimanipulasi atau diselewengkan oleh sejarah. Dengan demikian tidak salah jika Islam merupakan agama nilai.dimana dalam eksistensinya senantiasa menegakkan nilai nilai kemanusiaan sebagaimana mestinya.


Ketika telah disadari bahwa Islam adalah agama nilai, maka konsekuensi logis yang muncul adalah Islam tidak menghendaki adanya pemaksaan, penindasan, dan tidak menghendaki adanya kekerasan selama akal sehat dan hati nurani kemanusiaan masih bisa tumbuh secara wajar.


Dengan demikian bentuk interpretasi Islam dalam sejarah haruslah tetap memperhatikan cita-cita kemanusiaan yang lebih tinggi, yang bisa di fahami oleh siapa saja. Maka dari itu bagi seseorang yang mengaku Islam, disitulah ada tanggung jawab yang besar untuk tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan jangan justru lari dari realitas kehidupan yang ada.


Pada dasarnya keberagamaan merupakan sebuah proses bagi setiap individu yang merasa religius. Tentu hal ini sangat dipengaruhi oleh tradisi dan lingkungan dimana individu itu berada. Jika hal itu benar, maka akibatnya banyak orang yag memiliki kesadaran beragama tetapi sebenarnya kesadaran itu hanya sekedar ikut-ikutan tanpa kepekaan yang bersifat substantif. Nah, inilah yang sangat membahayakan ”keberagamaan semu”, ketika pengalaman serta romantisme ritual menentramkan batin sesorang, telah membunuh kepekaan dirinya sebagi makhluk sosial yang bertanggungjawab melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi.


Kemajuan di berbagi bidang serta era gobalisasi yang tak mengenal batas wilayah manusi serta kebudayaan lokalnya, ternyata telah membawa perubahan yang sangat besar terhadap kehidupan umat beragama. Saat inilah kita dihadapkan pada pluralitas kebenaran, pluralitas jati diri serta pluralitas sosial. Jawaban Islam terhadap pluralisme adalah sebuah keharusan.


Dalam perubahan sosial yang sedemikian ini, maka rasanya janggal manakala agama tidak membaca kemunkaran sosial yang terjadi dengan menumbuhkan kesadaran untuk lebih memihak kepada yang lemah, dari pada sekedar menyediakan ruangan rohani dan spiritual yang harmonis bagi beragam orang yang ingin soleh dan tenang dalam hidupnya, tanpa menumbuhkan gejolak iman yang risau terhadap penderitaan orang-orang yang lapar, tergusur, serta tertindas.


Islam dan politik identitas


Salah satu pertanyaan yang sesuai dengan perkembangan politik sekarang ini adalah ” Apakah Islam dapat dijadikan sebagai identitas kolektif dalam rangka gerakan prodemokrasi ??. Pertanyaan itu tidak berlebihan mengingat pentingnya Islam sebagai legitimasi politik rakyat sudah terlalu kuat, maka perlu peran Islam sebagai perlawanan untuk pemberdayaan politik bagi rakyat. Dengan itu, rakyat bisa muncul ke permukaan dengan sehat untuk ikut melakukan reformasi politik. Namun, pada masa orde baru tampaknya Islam malah terjebak dalam agenda Kesalehan, dakwah Islam semakin bergebyar dimana-mana.sementara kegiatan politik yang lebih mendukung kemapanan politik Islam tidak mendapat perhatian yang serius. Kebingungan politik Islam itu tercermin ketika ulama tidak lagi mampu membaca dan mendengarkan hati nurani dan penderitaan umat.


Sekarang memang sudah saatnya harus berani melakukan rekonstruksi terhadap Islam ”Saleh” dan menempatkan orientasi simbolis Islam dalam pergulatan politik kedaulatan rakyat dan kepentingan warga negara. Islam saleh yang cenderung berbicara mengenai pentingnya mencari pahala dengan intensitas ritus yang ekspresif sudah saatnya dikonfrontasikan. Tidak hanya mendekatkan diri kepada Tuhan saja. Namun kita perlu menunjukan ”wajah Tuhan yang adil” kepada kaum yang tertindas, agar mereka tidak memiliki anggapan bahwa Tuhan tidak adil.


Karena itu kekuatan Islam yang berani berkata TIDAK dalam melihat kemunkaran politik rasanya harus dibuka lebar-lebar agar dakwah Islam tidak hanya menjadi misionaris yang a-politis terhadap tantangan kemanusiaan dalam dehumanisasi politik.


Transformasi nilai agama dalam kehidupan sehari-hari


Dalam era yang serba maju ini, umat Islam dituntut untuk senantiasa mengikuti perkembangan zaman, dengan harapan umat Islam tidak di anggap sebagai umat terbelakang. Namun mengikuti perkembangan disini bukan berarti ikut larut dalam arus westernisasi. Seringkali ketika umat Islam dihadapkan dengan fenomena baru cenderung untuk menolak dengan dalih hal itu tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadis. Kebanyakan beranggapan bahwa yang penting beribadah kepada Tuhan nanti pasti masuk surga. Tentu hal ini akan membawa kebuntuan berfikir yang nantinya justru menjadi bumerang bagi umat Islam sendiri.


Sekarang agaknya kurang tepat jika kita hanya meributkan soal komunitas-komunitas yang hanya sekedar untuk mencari otoritas kebenaran, yang justu itu akan menimbulkan peng-klaiman suatu kebenaran atas komunitas tertentu dan mengangap komunitas diluar itu adalah salah. Pada dasarnya kebenaran mutlak hanyalah milik ALLAH yang maha Agung. Maka ketika kita sepakat akan hal itu, konsekuensi logisnya adalah mau tidak mau kita harus meng-iakan adanya kebenaran relative. Dengan demikian idealnya tidaklah perlu menyalahkan kebenaran dari orang lain dengan otoritas kebenaran yang kita miliki. Karena setiap kebenaran berdiri diatas dasar kebenaranya masing-masing.


Maka dari itulah sudah saatnya kita merubah pola fikir kita. Bahwa kegiatan keagamaan tidak hanya sebatas ritual-ritual yang bersifat vertikal kepada sang pencipta saja. Disamping itu hubungan yang bersifat horizontal juga perlu diperhatikan mengingat kita adalah makhluk sosial.


Bagi mereka yang memiliki pemahaman agama secara tekstual saja, tentu akan merasa terkurung oleh dogma-dogma agama ketika di hadapkan dengan perkembangan zaman. Dan mereka cenderung asyik dengan ritual-ritual untuk mencari ketenangan batin. Padahal sebenarnya agama tidak pernah membatasi pemeluknya untuk skeptis terhadap perkembangan zaman. Justru merupakan suatu anjuran bahwa manusia sebagai kholifah di bumi harus senatiasa berfikir demi terciptanya agama yang Rohmatan Lil ’Alamiin.


Pemahaman-pemaham Islam secara tekstual serta kontekstual yang di korelasikan dengan fenomena kekinianlah kiranya yang mampu membawa agama Islam sebagai agama rahmatan lil ’alamiin. Jadi orang-orang yang berada diluar Islam pun akan meng-iakan bahwa Islam bukanlah agama yang menakutkan, radikal. Tapi Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta agama yang cinta damai.


Ketika seluruh umat Islam memiliki pemahaman yang dalam tentang dogma-dogma agama, tentunya kegiatan kagamaanya tidak sebatas ritual-ritual saja. Namun mereka akan merasa terbebani dengan adanya kemungkaran sosial yang terjadi dimana-mana, dan berusaha untuk mengembalikanya pada nilai-nilai kemanusiaan. Maka terciptalah Islam yang rahmatan lil alamiin. Karena ketika kita sepakat bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamiin (rahmat bagi seluruh alam), disitu terdapat tanggungjawab yang besar bagi umat Islam untuk senantiasa memelihara rasa aman dan nyaman terhadap orang-orang diluar Islam. Dan Umat Islam mampu berjajar dengan dengan perkembangan zaman tanpa menghilangkan esensi kagamaanya.


Yang terpenting dalam proses taranformasi nilai-nilai keIslaman dalam kehidupan sehari-hari harus sesuai koridor Islami. Artinya dalam urusan ibadah maghdhah (ibadah yang bersifat vertikal kepada sang Kholiq) kita tetap berpegang pada Al-qur’an dan Sunnah ”tidak boleh membuat-buat sendiri”. Namun untuk urusan ibadah yang ghoiru maghdhah (mu’amalah atau hubungan sosial sesama manusia) kita di beri kebebasan untuk melakukan kretivitas dengan catatan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah. []


*Anak muda NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar