Kamis, 30 Mei 2013

BamSoet: 'Ksatria' dan Srikandi Century

‘Ksatria’ dan Srikandi Century

Bambang Soesatyo
Anggota Tim Pengawas
Penyelesaian Kasus Bank Century DPR RI

SRI Mulyani siap mempertanggungjawabkan Rp 632 miliar dana talangan Bank Century. Lalu, siapa yang akan mengambilalih tanggung jawab atas sisa dana talangan lebih dari Rp 6 triliun? Rakyat masih menunggu seorang ksatria yang berani tampil mengungkap kebenaran.
                            
Beberapa hari setelah tim penyidik KPK kembali ke tanah air setelah memeriksa Sri Mulyani di Kedutaan Besar RI di Washington DC, Amerika Serikat, komunitas pers di Jakarta mendapat bocoran hasil pemeriksaan atau pengakuan Sri Mulyani selaku mantan Menteri Keuangan/Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dia diperiksa terkait dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century
                    
Bocoran informasi dari tim KPK tentang hasil pemeriksaan Sri Mulyani tidak baru. Sebab, disebutkan bahwa Direktur Bank Dunia itu, semasa menjabat Ketua KSSK, menyetujui dana talangan Rp 632 miliar. Tidak baru karena di hadapan Rapat Pansus DPR untuk Hak Angket Bank Century, awal Januari 2010,dia sudah menegaskan hal yang sama.

Kepada Pansus DPR waktu itu, dia tegaskan bertanggung jawab penuh atas keputusan penyelamatan Bank Century berdasarkan data awal nilai bailout dari BI sebesar Rp 632 miliar. Angka Rp 632 miliar ditetapkan BI sebagai acuan menangani Bank Century.

Model pertanggungjawaban seperti ini tentu saja aneh. Keanehan ini saja sudah menjadi petunjuk yang sangat jelas bahwa bailout Bank Century sarat masalah. Sebab, keputusan dan pertanggungjawaban KSSK mestinya bulat alias satu suara. Bukankah KSSK hanya beranggotakan Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota, dan Gubernur BI sebagai anggota. KSSK memang bertugas memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis. Salah satu pekerjaannya adalah mengevaluasi skala dan dimensi masalah likuiditas atau solvabilitas bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang ditengarai berdampak sistemik.

Tentu saja aneh kalau Ketua KSSK hanya mau mempertanggungjawabkan Rp 632 miliar dari total dana talangan yang Rp 6,7 triliun itu. Padahal, bagi siapa pun di republik ini, angka Rp 6,7 triliun itu dimaknai sebagai keputusan bulat KSSK. Kalau menjadi keputusan KSSK, berarti keputusan itu kolektif; produk ketua KSSK (menteri keuangan) dan anggota (Gubernur BI).  Bukan keputusan personal. Mengikuti logika ini saja, KPK seharusnya sudah melakukan pendalaman kasus sejak awal 2010.

Ketidakberesan dalam menghitung nilai baiout menjadi semakin gamblang ketika publik menyimak penuturan mantan Presiden Jusuf Kalla seputar curahan isi hati Sri Mulyani kepadanya. Kepada Kalla, Sri Mulyani mengaku merasa tertipu dengan data yang diberikan BI dalam keputusan bailout Bank Century. Hal ini dituturkan Kalla di forum rapat Pansus Bank Bank Century, 14 Februari 2010.

Kalla merinci, Sri Mulyani menemuinya di kediaman resmi wakil presiden pada 30 September 2009. Dalam pertemuan empat mata itulah Ketua KSSK itu mengaku tertipu dengan pembengkakan nilai penyelamtan Bank Century. Awalnya BI merekomendasikan dana talangan yang diperlukan Bank Century hanya Rp 632 miliar. Ternyata, nilai bailout membengkak menjadi Rp 6,7 triliun.                               

Menanti Ksatria

Dari situasi yang demikian, konstruksi persoalannya sudah sedemikian gamblang. Sudah cukup alasan bagi KPK pada tahun itu memanggil, memeriksa atau meminta pertanggungjawaban dari Ketua dan anggota KSSK saat itu.

Setidaknya, persoalan pertamanya adalah Ketua KSSK secara tidak langsung sudah menyatakan sikapnya menolak mempertanggungjawabkan nilai talangan yang besarnya lebih dari Rp 6 triliun itu. Sebab, dia tetap berpegangan pada angka Rp 632 miliar. Konstruksi permasalahan yang demikian mestinya sudah sangat memudahkan KPK membidik pihak yang paling layak dimintai pertanggungjawabannya atas Rp 6 triliun lebih dana talangan Century. Publik yang awam hukum pun akan dengan mudah langsung menunjuk hidung. Siapa lagi kalau bukan Gubernur BI saat itu yang juga anggota  KSSK?

Bahkan, berkait dengan besaran nilai dana talangan itu, Menteri Keuangan/Ketua KSSK terang-terangan mengaku kepada Wakil Presiden bahwa dia telah dibohongi BI. Namun, pada tahun itu, KPK belum juga bergerak sekalipun Kasus penipuan terhadap seorang pejabat tinggi negara ini bahkan sudah dibeberkan di ruang publik. Katakanlah benar bahwa tidak ada indikasi tindak pidana korupsi dalam penyelamatan Bank Century. Tetapi, bukankah tindak penipuan oknum BI kepada Menkeu/Ketua KSSK dalam konteks persoalan itu sudah layak untuk ditangani oleh penegak hukum?
                                                                  
Kalau Sri Mulyani sudah mengaku siap mempertanggungjawabkan dana talangan Rp 632 miliar, masyarakat berharap pihak lain yang ikut merumuskan dana talangan menjadi Rp 6,7 triliun segera tampil secara ksatria menjelaskan pertanggungjawabannya. Mudah-mudahan, KPK jernih menangkap dan memahami aspirasi.

Sebab, terus mengambangkan proses hukum skandal ini akan merongrong  wibawa semua institusi hukum. Sulit untuk menghilangkan skandal ini dari ingatan publik. Lihatlah, ratusan mahasiswa anggota aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung KPK, Selasa (21/5), Mereka mendesak KPK segera menuntaskan mega skandal ini. Mereka juga mendesak KPK memeriksa Wakil Presiden Boediono.
                
Komunitas waria pun tak mau ketinggalan menyuarakan aspirasinya. Puluhan waria anggota Aliansi Waria Anti Korupsi (AWAK), di hari yang sama dengan aksi BEM se-Indonesia. juga menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung KPK. Mereka menuntut KPK segera menuntaskan proses hukum skandal Bank Century dan kasus korupsi lainnya.

Sudah sangat jelas bahwa kasus Century akan menjadi megaskandal tak terlupakan. Sudah barang tentu bakal masuk catatan sejarah bangsa. Kinerja semua institusi penegak hukum era terkini akan dicatat dengan tinta emas jika skandal besar ini bisa diselesaikan sebagaimana mestinya, proporsional dan tanpa rekayasa melindungi sosok-sosok yang mendalangi pencurian besar-besaran atas kekayaan negara ini. Pencurian oleh sekelompok orang dengan modus menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan mereka.

Namun, pekerjaan untuk menyelesaikan kasus ini menjadi tidak mudah dan butuh waktu panjang. Rakyat Indonesia pun dipaksa terus bersabar. Ada keyakinan di sebagian kalangan bahwa kasus ini pada akhirnya bisa dituntaskan. Namun, bagi masyarakat kebanyakan, persoalannya bukan sekadar dituntaskan dengan menjadikan mereka yang lemah sebagai korbannya. Bagaimana pun, ini adalah pencurian uang negara yang dibungkus dengan paket kebijakan memberi dana talangan untuk menyelamatkan bank bermasalah. Sosok-sosok yang mengotaki ‘kebijakan’ itulah yang seharusnya dihadapkan ke muka hukum.

Baru-baru ini, upaya Tim Pengawas (Timwas) DPR menggelar rekonstruksi fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century gagal, karena ketidakhadiran pimpinan KPK. Kegagalan itu tentu saja sangat mengecewakan. Karenanya, rekonstruksi proses pemberian FPJP oleh Timwas DPR harus ditunda.

Pimpinan KPK tidak hadir dengan alasan menjaga obyektivitas dan menghindari konflik kepentingan dalam penanganan perkara Bank Century. Seperti itulah kompleksitas proses hukum sebuah kasus di negara ini. Alasannya, rapat Timwas DPR itu juga dihadiri sejumlah pihak yang sudah dan yang akan dimintai keterangan oleh KPK.

Selain pimpinan dan penyidik KPK yang menangani kasus Bank Century, pihak lain yang diundang dalam rapat itu adalah pejabat BI yang menerima surat kuasa Gubernur BI, meliputi Eddy Sulaiman Yusuf (Direktur Direktorat Pengelolaan Moneter), Sugeng (Kepala Biro Pengembangan dan Pengaturan Pengelolaan Moneter), dan Doddy Budi Waluyo (Kepala Biro Operasi Moneter). Mempertemukan mereka dengan jajaran KPK dinilai tidak pada tempatnya. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar