Kamis, 23 Mei 2013

Kang Sobary: Katak dan Ular


Katak dan Ular

Mohamad Sobary | Rabu, 08 Mei 2013 - 13:28:09 WIB

 

Pemimpin yang baik boleh kelihatan kaku sesekali, tapi tindakannya jelas.

 

Dalam sebuah cerita rakyat disebutkan, seekor ular menyergap katak yang tak menduga—dan tak tahu menahu—ada bahaya mengancam di belakangnya. Katak itu tertangkap, dan musuhnya yang tak mengenal ampun, siap menelannya.

 

Binatang celaka itu merasa sejarah hidupnya berakhir pagi itu. Tapi tak disangka-sangka, Kanjeng Sunan Kalijaga muncul pada detik-detik kritis itu. Tiba-tiba terdengar seruan keras, “huuu…” yang menggetarkan pohon-pohon dan bebatuan. Air telaga pun bergejolak tanpa embusan angin.


Ular terkejut mendengar suara itu. Sesaat mulutnya sampai ternganga sambil menoleh ke arah bayangan yang mendekat dari balik semak-semak.

 

Gerak naluriah yang tak dimengerti oleh katak itu mendorongnya keluar dari mulut si ular dengan loncatan panjang. Sambil menahan perasaan berdebar-debar dalam hatinya, sang katak mensyukuri kesempatan berharga itu untuk segera bersembunyi.


Momentum pendek yang belum tentu terulang dalam seribu tahun itu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Katak yang beruntung tak menduga di dalam mulut ular yang berbahaya perlindungan masih bekerja. Belum pernah terjadi, selain pengalamannya pagi itu, bahwa ada katak yang bisa selamat sesudah berada dalam mulut ular.


Mungkin itu merupakan hari paling sial bagi si ular. Maka, sang ular mendekati Kanjeng Sunan Kalijaga dan memprotes dengan agak marah.


“Kanjeng, katanya katak sudah ditakdirkan menjadi mangsa ular. Kenapa Kanjeng melarang?”


“Siapa yang melarangmu?”


“Kanjeng Sunan. Siapa lagi yang berseru ‘huuuu..’ tadi?”


“Memangnya ‘huuu…’ itu apa artinya?”


“Huculno (lepaskan), apa lagi? Maka, santapan yang sudah di mulut itu aku lepaskan.”


“Padahal bukan begitu. Kamu sendiri yang salah. ‘Huuu…’ itu artinya huntalen (caploklah).”


Si ular, yang kecewa, segera berbalik, untuk mengejar kembali mangsanya yang terlepas gara-gara “huuu…” yang menimbulkan salah paham itu. Namun, si katak sudah bersembunyi di tempat aman, di bawah sebongkah batu yang tak mungkin ditemukan sang ular. Maka ketika ular sudah tak ada, dia keluar dari persembunyian, dan dengan perasaan kecewa mendatangi Kanjeng Sunan.


“Kanjeng, di mana rasa belas kasihan dan perlindungan Kanjeng pada makhluk yang lemah seperti saya ini?”


“Belas kasihan apa maksudmu?”


“Kenapa Kanjeng menyuruh si ular memangsa saya?”


Dengan kalem Kanjeng Sunan menjawab, “Hei, sudah, pergi sana, yang penting kau selamat. Ayo, pergi, sebelum ular itu kembali lagi ke mari.”


Sang katak pun pergi sambil tetap bingung. Dia tak mengerti mengapa Kanjeng Sunan menyuruh ular mencaploknya, tapi mengapa ketika sang ular pergi dia bicara tentang penyelamatan?


Katak itu menuntut kejelasan dan sikap demokratis. Mengapa Wali itu tak mau bicara terus terang?


Sikap Kanjeng Sunan lain. Kata-kata tak begitu penting. Orientasi nilai yang dipegangnya jelas, yang penting si katak selamat dan bahagia.


Pemimpin yang baik boleh kelihatan kaku sesekali, tapi tindakannya jelas dan bisa dipertanggungjawabkan secara kemanusiaan.

 

Pemimpin tak perlu terlibat dalam diskursus yang tak ada ujung pangkalnya. Pemimpin, di depan atau di belakang, bahkan jika berada di tengah pun, harus mengemban tanggung jawab publik yang tak ringan. Dia tak boleh takut, tak boleh mengeluh, tak boleh menangis.


Tanggung jawab itu membuatnya cekatan, rela mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran. Bahkan, korban jiwa tak dihindarinya jika keadaan memerlukan pengorbanan seperti itu. Pemimpin harus memecahkan persoalan secara adil dan bijaksana. Hasilnya harus jelas. Yang lemah harus diselamatkan.


Tak selamanya sikap pemimpin kelihatan demokratis. Demokrasi memang penting. Dengan demokrasi kita menyelamatkan rakyat. Dengan demokrasi kita melindungi warga yang tertindas.


Kalau demokrasi hanya menjadi omongan “ngalor-ngidul” tanpa kejelasan, suatu tindakan boleh diambil tanpa konsultasi ke sana ke mari, jika sudah jelas konsultasi hanya basa basi.

Ini demokrasi yang tak ada hubungannya dengan rakyat, dan dengan sendirinya tak ada gunanya. Demokrasi yang tak mempermudah rakyat mencari pekerjaan, dan tak mengakibatkan harga beras lebih mudah dijangkau kaum miskin, mengapa harus dipuja-puja?


Demokrasi yang tak membawa rasa bahagia harus dirumuskan kembali baik-baik dan bijaksana. Jika demokrasi justru mempersulit kehidupan, pemimpin harus mengambil inisiatif untuk menyelamatkanm kehidupan. Hidup jauh lebih berharga dibanding demokrasi, yang hanya berarti prosedur bertele-tele dan jauh dari semangat membela kehidupan.

 

Sumber : Sinar Harapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar