Jumat, 03 Mei 2013

Anas: Githok


Githok
Kamis, 02 Mei 2013 , 09:20:00 WIB

Oleh: Anas Urbaningrum

 

KETIKA masa kecil, saya sering mendengar nasihat dari orang-orang tua di kampung saya. Salah satu yang masih saya ingat berbunyi begini: "Deloken githokmu dewe."


Githok adalah nama untuk leher bagian belakang. Kalau diartikan sederhana, nasihat itu berbunyi: "Lihatlah diri sendiri, sebelum bicara tentang orang lain."


Memang, nasihat ini memakai bahasa ibarat. Tidak ada orang akan mampu, secara fisik, melihat githok-nya sendiri.


Nasihat ini, meskipun dari kampung, rasanya masih relevan. Bahkan akan terus relevan. Malah pada masa kini, nasehat ini makin dipadatkan dengan kata tegas: Instrospeksi.


Introspeksi atau berkaca adalah kebutuhan penting. Teutama bagi para tokoh, baik yang sedang memimpin, calon-calon pemimpin, dan lebih utama lagi bagi calon mantan pemimpin. Kemampuan berkaca diri adalah modal yang sangat penting untuk berpikir, bersikap, dan berlaku arif lagi bijak.


Tanpa kesediaan untuk mengaca diri, kita akan selalu gagal untuk melihat githok. Selebihnya terlalu ringan untuk menilai orang lain dengan melupakan githok kita sendiri.

 

Selintas, kalau prinsip githok ini kita kedepankan, terkesan akan mematikan budaya kritik. Juga tidak kondusif terhadap berkembangnya tradisi oposisi. Bahkan akan menyerimpung transaksi ide, gagasan, pemikiran, dan solusi secara terbuka dan tajam.


Anggapan seperti itu jelas keliru. Semangat melihat githok sendiri atau tradisi untuk sanggup berkaca justru mendorong munculnya saling kritik secara tajam, tetapi terjamin niat, metode dan substansi yang berkualitas.

Tradisi mengaca diri juga akan mendorong lahirnya oposisi yang benar-benar oposisi. Bukan oposisi yang memaksakan diri menjadi oposisi, termasuk dengan cara oposisionalisme. Kemampuan mengaca diri akan menjauhkan oposisi dari sikap waton sulaya atau asal beda.


Saya pernah menjadi pemain bola voli kelas kampung, dengan posisi sebagai pengumpan. Kadangkala saya memberikan umpan yang kurang "layak smash." Senior yang dalam posisi pelatih, dan dulu sempat menjadi pemain, tidak pernah marah-marah. Saya tahu alasannya. Karena dia pernah menjadi pemain, dan tidak selalu benar pukulannya. Bahkan dulu tidak pernah juara kampung.


Senior saya itu pasti tahu dan paham persis nilai moralitas githok. Kebalikan dari suka mengeluh, suka berpura-pura, atau melakukan segala cara untuk kepentingan diri sendiri. Senior saya di pertandingan bola voli kampung itu justru selalu menghibur dan memberikan motivasi. Saya menyebutnya sebagai pelatih yang arif lagi bijak.


Ada juga mantan pemain sepak bola di kampung saya yang terkena sindrom senioritas dan kekuasaan. Setiap kali menonton pertandingan, selalu rajin menyalahkan para pemain. Dia memang gila bola. Kalau menonton, kakinya pun bergoyang kesana-kemari mengikuti arah bola. Seolah-olah dia terlibat di lapangan.


Kalau ada pemain yang salah umpan atau gagal menjaringkan bola, dengan ringan terlontar umpatan dan keluhan. Bukan hanya pemain kelas kampung yang terkena umpatan dan jadi sasaran keluhannya. Bahkan kalau menonton pertandingan kelas nasional pun, pemain nasional pun bisa terkena sasaran umpatan dan keluhannya.


Secara alamiah, teman-teman mulai menjadi kurang respek terhadapnya. Soalnya, komunitas sepak bola tahu persis bahwa ketika menjadi pemain dulu, kualitas teknis, stamina dan percaya dirinya di lapangan agak payah.


Karena tidak berani bicara langsung, teman-teman hanya berguman: Ora iso ndelok githoke dewe. Tidak mampu mengaca diri. Wallahu a'lam. [***]

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar