Jumat, 24 Mei 2013

Kang Sobary: Demokrasi di Tangan Tukang Copet


Demokrasi di Tangan Tukang Copet

Mohamad Sobary | Rabu, 22 Mei 2013 - 14:23:23 WIB

 

Di eksekutif dan legislatif, copet-mencopet lebih mengerikan. Nama resminya korupsi.

 

"Dilihat dari tingkah laku semata, kira-kira bagaimana tukang copet memandang kebenaran?”

 

“Dia tidak percaya, setidaknya tidak peduli pada kebenaran tertinggi, kebenaran agamis, dengan segenap akibat yang kelak—padahari pengadilan sejati—harus dipikul setiap manusia.”

 

“Hanya jenis kebenaran itu yang tak dipercayainya?”

 

“Tidak. Dia juga tidak percaya pada kebenaran lain, kebenaran menurut ukuran orang banyak.”

 

“Apakah dengan begitu berarti tukang copet tak percaya akan adanya kebenaran dalam hidup ini?”

 

“Percaya. Dia percaya juga adanya kebenaran.”

 

“Tapi mengapa dia merampas seenaknya—dan ada kalanya dengan kekerasan—hak milik orang lain?”

 

“Ya, itulah kebenaran bagi tukang copet.”

 

“Merampas, mencopet, dan sering dengan kekerasan tadi, merupakan kebenaran? Landasan pikiran edan dan akal busuk macam apa yang dipakainya untuk menganggap hal itu sebuah kebenaran?”

 

“Ada. Namanya kebenaran menurut dirinya sendiri. Bagi tukang copet, perampasan macam itu dianggap kebenaran.”

 

“Itu kebenaran di rimba raya namanya. Singa menangkap anak rusa dan merobek-robeknya, kemudian memangsanya dengan kejam tanpa pernah ada tuntutan pengadilan atas tindak jahanamnya. Hanya di rimba raya hal itu bisa dibenarkan. Itu hukum rimba.”

 

“Hanya di rimba raya? Hukum rimba tak terjadi hanya di rimba raya. Dalam birokrasi, di kalangan eksekutif, hukum rimba yang lebih rimba dibanding hukum harimau menerkam anak rusa, dipraktikkan dengan baik. Di sana hukum rimba dipelihara. Termasuk oleh mereka yang menyebut diri beragama.”

 

“Terkutuk. Bukankah itu hanya terjadipada zaman tiran yang kejam dan tak berperikemanusiaan? Itu sudah lama lewat.”

 

“Di mana hal itu sudah lama lewat? Sudah disebut di atas, dalam birokrasi kaum eksekutifhal itu masih merupakan best practice yang dijunjung tinggi. Di kalangan legislatif pun tak ada bedanya. Apalagi pada legislatif yang berperan sebagai pengawas yang merangkap pelaksana. Jahat sekali. Juga kejam. Tapi mereka tak menganggapnya begitu. Bagi mereka itu tingkah laku baik, mungkin terpuji.

 

Pendeknya, di sana kekejaman melebihi kejamnya singa menerkam anak rusa. Di sana, kekejaman jelas jauh melebihi kejamnya tukang copet yang merampas hak milik orang dan mengancam korbannya. Dibanding kejahatan itu, kita tergoda betul untuk berkesimpulan, kejahatan tukang copet masih mengandung sopan santun. Mereka masih punya sedikit tenggang rasa.

 

Di eksekutif dan legislatif, copet-mencopet lebih mengerikan. Nama resminya korupsi. Definisinya menakutkan, extra ordinary crime againsts humanity. Disebut begitu karena koruptor ibaratnya mengisap darah rakyat, bangsanya sendiri, tanpa belas kasihan. Mengerikan definisi maupun wujud tindakannya. Tapi mereka tidak takut, dan tidak ngeri. Biasa saja. Makin banyak korup, bagi mereka makin baik.”

 

“Baik nenek moyangmu?”

 

“Baik menurut mereka. Benar menurut mereka.”

 

“Di sini ada pengadilan. Ada jaksa yang mulia, dan hakim yang terhormat.”

 

“Mulia dalam sesebutan saja. Tindakan mereka—mayoritas—jugaberkiblat pada makna kebenaran menurut diri sendiri.”

 

“Kalau begitu mereka pun—takpeduli jaksa tak peduli hakim, yang mulia tadi—harus ditangkap KPK. Builah tempat mereka.”

 

“Sudah banyak yang dihajar KPK. Tapi orientasi nilai berbeda itu yang membuat bandit pencopet tidak takut. KPK berbicara dalam bahasa manusia. Mereka berbicara dalam bahasa hewan. Bahkan, hewan terhina yang melata-lata di kotoran-kotoran yang paling kotor sekalipun.”

 

“Apa mereka tidak takut dengan KPK, dan itu berarti tidak takut dibui, dibikin malu,dan rusak nama baiknya?”

 

“Sudah sejak Orde Baru mereka berlatih untuk tidak menggunakan rasa malu sebagai ukuran dalam hidup. Rasa malu mereka sudah dimatikan sejak saat itu.”

 

“Tapi nama baik mereka?”

 

“Nama baik apa? Mereka sudah sejak lama tidak punya nama baik.”

 

“Tapi mereka kaum sekolahan, bukan?”

 

“Ya. Tak diragukan lagi. Beberapa di antaranya Sarjana Hukum.”

 

“Jadi jelas mereka mengerti hukum, bukan?”

 

“Betul, sangat jelas. Tapi apa artinya tahu hukum yang dibikin manusia? Terhadap hukum-hukum Tuhan pun mereka tak peduli. Apalagi hukum buatan kaum reformis—produk hukum sekarang—yang di sana-sini bahkan bertentangan dengan konstitusi. Lagipula,bukankah pengadilan hanya sebuah basa-basi? Apa yang ditakutkan?”

 

“Bukankah mereka mengerti demokrasi?”

 

“Betul. Mereka paham. Tapi di tangan mereka—baik eksekutif maupun legislatif tadi—demokrasi diubah makna dan definisinya sedemikian rupa, hingga demokrasi tak menghalangi pencopetan besar-besaran tadi.”

 

“Diubah? Menjadi demokrasi macam apa?”

 

“Demokrasinya tukang copet.Mereka—jelas sudah disebut di atas—bukan sembarang tukang copet. Ini copet besar-besaran, sampai rakyat yang dicopet menjadi miskin, dan akan miskin secara abadi. Tapi copetnya kaya raya.”

 

Sumber: Sinar Harapan





--

yasir wa la tu’asir

Hidayat memandang PKS akan dijungkalkan melalui kasus suap kuota impor daging ini. Hidayat menengarai ada konspirasi tingkat tinggi dalam kasus ini, bahkan bisa melibatkan zionis. (detik.com, 01/02/13)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar