Selasa, 07 Mei 2013

Mahfud MD: Kalau Ditangkap KPK, Ngaku Saja


Kalau Ditangkap KPK, Ngaku Saja

 

Kerap kita dibuat keki oleh bantahan atau alibi orang-orang yang ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena korupsi.

 

Banyak di antara mereka yang berusaha mengelak dari jeratan hukum, misalnya dengan dalih tidak tahu bahwa di mobilnya ada uang. Mereka mengatakan dengan bahasa yang sama bahwa mereka dijebak, entah oleh siapa. Ada juga yang mengatakan bahwa uang yang diterimanya bukan suap, melainkan dana untuk kerja sama bisnis atau sumbangan untuk kampanye.


Haruslah diingat bahwa berdasarkan pengalaman, sampai kini tak seorang pun yang ditangkap dan dijadikan tersangka oleh KPK bisa lolos dari hukuman, semuanya dijebloskan ke dalam penjara. Mengapa? Karena sebelum menangkap seseorang, KPK pasti telah memiliki bukti-bukti yang takkan terbantahkan yang dihimpun jauh-jauh hari sebelum penangkapan dilakukan.


Tak mungkinlah kita memercayai alasan klise yang sering diumumkan oleh KPK bahwa penangkapan dilakukan secara tiba-tiba karena ada laporan masyarakat tentang akan terjadinya transaksi suap-menyuap.


Yakinlah, KPK sudah punya bukti-bukti yang dihimpun sendiri secara cermat dalam waktu lama melalui pengintaian, pembuntutan, penyadapan, dan perekaman aktivitas yang terkait dengan indikasi korupsi yang dilakukan oleh yang bersangkutan.


Oleh sebab itu, jika seseorang sudah dijadikan tersangka, apalagi penangkapannya sampai dipublikasikan oleh KPK, sebaiknya segera mengaku dan tak usah mencari-cari dalih. Hampir mustahil dalih atau alibi itu bisa menyelamatkannya.


Semakin banyak berdalih bisa semakin banyak aib keluar dan memalukan keluarga yang sebenarnya tak terlibat. Pelebaran aib itu bisa terjadi karena pembuktian oleh KPK di Pengadilan Tipikor adakalanya bukan hanya menyangkut korupsinya itu sendiri, tetapi menyangkut juga hal-hal lain yang dapat sangat memalukannya.


Ingatlah kasus Al Amin Nasution. Saat ditangkap dan diajukan ke Pengadilan Tipikor, dia membantah habis-habisan telah melakukan transaksi suap-menyuap. Namun di persidangan, KPK memutar banyak rekaman percakapan telepon yang sudah berkali-kali dilakukannya yang berisi proses transaksi penyuapan itu.


Sialnya bagi Al Amin, dalam pembicaraan hasil sadapan KPK itu terungkap pula bahwa transaksi korupsi itu bukan hanya menyangkut suap uang, tetapi juga melibatkan seorang wanita kinclong berbaju putih yang juga "disuapkan".


Ingat jugalah ketika Urip Tri Gunawan dan Arthalyta Suryani kompak dalam skenario bahwa uang yang diserahterimakannya saat penangkapan oleh KPK adalah pinjaman untuk bisnis permata yang kemudian diubah menjadi bisnis bengkel dengan proposal yang coba untuk diatur melalui telepon dari dalam sel tahanan yang juga disadap KPK.


Di persidangan, semua rekaman pembicaraan Urip-Arthalyta yang dilakukan jauh-jauh sebelum penangkapan diputar oleh KPK dan yang bersangkutan tak bisa mengelak sehingga hakim pun tak bisa berkesimpulan lain kecuali bahwa keduanya telah melakukan korupsi bejat yang merusak negara sehingga dihukum sesuai dengan ancaman maksimal.


Ringkasnya, semakin banyak mengelak atau membantah akan semakin banyak pula rekaman hasil sadapan "transaksi korupsi" diperdengarkan di persidangan oleh KPK yang bisa-bisa membongkar aib-aib lain.


Makanya, kalau sudah tertangkap atau dijadikan tersangka oleh KPK, sebaiknya mengaku sajalah, tak usah menuruti skenario pengacara jika sang pengacara menyuruh mencari-cari dalih untuk tidak mengaku. Mengikuti skenario bohong hanya menunda penderitaan dan deraan opini publik serta tak menolong untuk meringankan hukuman.


Apa yang dilakukan oleh Azirwan dan M Iqbal dalam menyikapi penangkapan oleh KPK mungkin perlu dicontoh. Azirwan, pasangan korupsi Al Amin, lebih pandai membaca situasi. Meskipun saat baru tertangkap dia menolak keras telah melakukan penyuapan, di Pengadilan Tipikor dia mengaku secara gamblang tentang suap-suap yang terpaksa dilakukannya karena "diperas" oleh orang-orang DPR.


Ketika KPK memutar rekaman perbincangan teleponnya dengan Al Amin, Azirwan langsung meminta hakim menghentikan pemutaran rekaman itu dan langsung mengakui semua isi perbuatan korupsi (penyuapan) dan tahapan-tahapannya yang dilakukan bersama Al Amin dan DPR.


Azirwan tahu membaca situasi dan paham atas kecermatan KPK. Kalau rekaman itu terus diputar di persidangan bisa-bisa muncul aib lain seperti yang terjadi pada Al Amin, yakni munculnya fakta bahwa bukan hanya uang yang disuapkan, melainkan juga ada embel-embel wanitanya. Al Amin tetap membantah, tapi Azirwan mengakui bahwa yang berbicara di telepon itu adalah dirinya dengan Al Amin.


M Iqbal, terdakwa kasus suap di KPPU, juga termasuk yang menyadari bahwa KPK tak dapat dibohongi. Ketika ditangkap, dia tak memberikan bantahan apa pun, kecuali menyatakan siap mengikuti proses hukum dan akan mengajukan pembelaan di pengadilan.


Iqbal yang memang intelek kelihatannya tahu bahwa tak mungkinlah dia mencari-cari alibi bohong karena KPK pasti sudah mempunyai bukti-bukti kuat yang telah dihimpun "secara legal" dan cermat jauh-jauh hari sebelum dirinya ditangkap tangan. Harus juga diingat bahwa kewenangan KPK untuk menyadap pembicaraan telepon dan merekam dengan video secara diam-diam terhadap orang-orang yang terindikasi atau berpotensi melakukan korupsi tidaklah melanggar HAM.


Kewenangan KPK untuk melakukan itu didasarkan pada ketentuan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 (UU-KPK) yang memang membolehkan KPK untuk menyadap dan merekam secara audio visual dengan diam-diam terhadap mereka yang terindikasi atau berpotensi besar melakukan korupsi.


Ini perlu ditegaskan karena dengan alasan pelanggaran HAM, ketentuan UU-KPK yang memberi kewenangan kepada KPK untuk menyadap dan merekam secara diam-diam itu sudah pernah diujimaterikan (dimintakan judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi MK memutus dengan tegas bahwa kewenangan yang diberikan kepada KPK oleh UU-KPK itu adalah konstitusional dan tepat sebagai instrumen hukum untuk memberantas korupsi yang di Indonesia sudah dikategorikan sebagai extra-ordinary crime.


Kita pun harus terus mendukung pemberian kewenangan atau konstitusionalisasi penyadapan dan perekaman itu kepada KPK. Sebab jika tidak ada pemberian kewenangan ekstra yang seperti itu akan tidak mudah bagi KPK untuk memburu para koruptor.


Kalau tidak dibegitukan, kalau tidak disadap atau direkam secara diam-diam, akan ada saja akal para koruptor itu, apalagi mereka yang pejabat negara, untuk meloloskan diri dari hukuman dan mereka akan terus dan terus merusak negara dengan serial-serial korupsinya. []

 

Moh. Mahfud MD, Akademisi

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar