Senin, 20 Mei 2013

(Buku of the Day) Sastra Pesantren dan Jejaring Teks-Teks Aswaja-Keindonesiaan


Identitas Sastra Pesantren

 



 

Judul Buku        : Pesantren Studies 2b/Buku II Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri Di Masa Kolonial Juz II Sastra Pesantren dan Jejaring Teks-Teks Aswaja-Keindonesiaan Dari Wali Songo Ke Abad 19

Penulis             : Ahmad Baso

Penerbit            : Pustaka Afid Jakarta

Cetakan I          : September 2012

Tebal Buku        : xix + 383 halaman

Peresensi          : Muhamad Rifai, salah satu petani tembakau Indonesia, tinggal di Temanggung

 

Pesantren tak bisa dipisahkan dengan sejarah masuknya Islam di nusantara. Walisongo merupakan tokoh-tokoh penyebar agama Islam di tanah Jawa-Nusantara. Penyebaran agama Islam dilakukan dengan damai. Salah satu jalannya melalui kesusastraan. Di Jawa banyak orang tua kita sering mengatakan pada anak cucunya, bahwa kesenian kuda lumping, ludruk, ketoprak, wayang, kentrung yang menciptakan para wali.


Ini kemudian menjadi identitas Islam di Jawa khususnya dan Nusantara umumnya, membumi tertanam kuat dengan kebudayaan masyarakat lokal. Dan akhirnya kalangan orientalis dan peneliti Barat yang meneliti Islam di tanah kita sering memetakan dan melabelinya, Islam Melayu, Islam Jawa, Islam Sasak, Islam Bugis.


Ahmad Baso dalam buku ini menyatakan pesantren bukan hanya tempat proses belajar-mengajar, murid-guru, santri-kiai, tapi juga sebagai tempat persemaian tradisi kesusastraan, lembaga kehidupan dan kebudayaan. Nilai historis sastra pesantren dimulai dari jamannya Walisongo hingga kiai-santri sekarang.


Buku ini menunjukkan bagaimana para Walisongo bukan sekedar menyebarkan Islam di kalangan masyarakat. Tapi para wali tersebut juga melakukan kerja sastra. Contohnya, Sunan Gunung Jati membuat kitab yang menceritakan kerajaan Pajajaran, Sunan Bonang mengarang kitab Damarwulan, Sunan Drajat mengarang kitab Jaka Partwa Nggadingan Majapahit, Sunan Giri II mengarang kitab Wali Sanga, Sunan Padhusan mengarang cerita Jaka Karewet di desa Pamong Majapahit, Sunan Kalinyamat mengarang kitab Prabangkara di Majapahit, Sunan Maryapada mengarang kitab Jaka Sureng di Majapahit, Sunan Kalijaga mengarang kitab Jaka Sumantri di Majapahit dan kitab Sutakara di Jombang, Sunan Kudus mengarang kitab Jaka Bodo di Takjub dan kitab Jaka Klinthing di Surabaya.


Kerja kesusastraan Walisongo tersebut terkait dengan usaha sosial membuat sejarah dan tatanan masyarakat yang baru. Mereka mengkader anggota-anggota masyarakat baru bukan dari kraton, tapi dari lingkungan masyarakat pedesaan, dari orang-orang kecil. Mereka butuh berbagai informasi dan pengetahuan tentang keberadaan dua kekuatan besar yang sedang bercokol di masyarakat yaitu Majapahit dan Pajajaran. Untuk itu mereka menanamkan kader-kadernya masuk ke dalam kraton, untuk mempengaruhi dan membawa misi sang wali. Mereka menciptakan lakon-lakon melalui pakem pewayangan misalnya, untuk menciptakan sejumlah role-model, model lakon yang bisa mengemban misi tersebut. Ada model Jaka Karewet yang masuk tanpa terlihat oleh orang-orang istana; dan ada pula model Damarwulan yang menjadi orang-orang kepercayaan raja karena berbuat sesuatu yang disukai orang-orang istana. (Hlm 92-93).


Fokus dari buku ini adalah menarasikan dan mengungkap identitas dan strategi sastra pesantren mulai dari Walisongo sampai pada abad 19 di jaman penjajahan Belanda. Baso menunjukkan beberapa jenis identitas sastra pesantren pada masa itu, yaitu sebagai berikut;


Pertama, penulis-sastrawan pesantren bukanlah jenis sastrawan yang hidupnya dari sastra. Di dalam serat Jaka Rasul, setelah berdebat, kalangan santri seharusnya ke sawah, bercocok tanam, menanam padi dan menjaga kedaulatan orang-orang desa dalam menjaga tanah airnya! Manusia bukanlah makhluk pendebat; demikian pula kaum santri bukan orang-orang yang kerjanya hanya berdebat, kritik sana-kritik sini, yang tiada ujung pangkalnya, berpikiran di awan-awan, setelah itu melupakan tugas kemanusiaannya di dunia ini. (Hlm 178).


Posisi demikian merupakan bentuk strategi sastra pesantren, agar sastranya dekat dengan pembacanya-masyarakat. Sastrawan pesantren menghidupi sastra. Sastrawan pesantren tidak melulu mengurusi sastra, tapi juga bekerja untuk mencukupi kebutuhan ekonominya.


Kedua, sastra pesantren bentuknya beragam mulai hikayat, serat, kisah, cerita, puisi, roman, novel, syi’ir, sampai nadhoman, adalah buah karya orang-orang pesantren dalam mengolah cerita, menulis-ulang hikayat, hingga membuat karya-karya baru, baik lisan maupun tulisan. Karya-karya tersebut dibacakan dimana-mana. Didengar oleh kaum tua-kaum muda secara bersama-sama. Karya-karya sastra tersebut dipandang sebagai milik mereka, diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga memiliki karakter komunal, karena berpadu rapat dengan kehidupan masyarakatnya. (Hlm 294).


Ketiga, pesantren menjadi tempat para pujangga dan sastrawan menghasilkan karya-karya sastra, terutama pada abad 17 dan 18. Pujangga–pujangga kraton, seperti Yosodipuro I, Yosodipuro II, dan Ranggawarsita, adalah santri-santri pesantren yang tekun mengembangkan karya-karya sastra dalam berbagai bentuk seperti kakawin, serat dan babad. Yosodipuro I (wafat 1801) misalnya adalah pujangga istana dari kraton Surakarta, pernah nyantri di sebuah pesantren di Kedu-Bagelen.


Keempat, sastra pesantren melakukan penggubahan, tulis-ulang, atau penambahan dan penyisipan, untuk disesuaikan dengan cita-cita sosial-keagamaan kaum pesantren. Seperti dalam hikayat Malem Diwa, suatu hikayat berbahasa Melayu dengan huruf Arab pegon yang sepenuhnya hampir diwarnai kosmologi Hindu. Dalam naskah tersebut disisipkan satu predikat “guru ngaji di meunasah (semacam langgar di Aceh)” kepada tokoh protagonis.


Demikian pula cerita epos I la Galigo, dengan tokoh protagonisnya, Sawerigading. Karya sastra berbahasa Bugis ini sepenuhnya berasal dari masa sebelum Islam. Namun, disisipkan satu versi cerita-lisan dan tertulis—dimana Sawerigading nyantri ke Mekkah, naik haji, bertemu dengan nabi Muhamad SAW, dan kembali ke kampungnya mendirikan “masiqi” (mesjid plus pondok). Versi Sawerigading santri baik lisan maupun tulisan ini masih terpelihara di beberapa pesantren Bugis-Makasar. Sastra pesantren juga memuat pedogogis, pengajaran etika, akhlak, etnografis-kesejarahan.


Salah satu catatan penting atas karya Baso ini berkaitan dengan dalam beberapa lakon cerita wayang dulunya merupakan karya sunan Kalijaga, namun kalau kita lihat sekarang ini sangat jarang kiai-santri menonton, nanggap dan mengapresiasi wayang. Begitu pula kiai-santri saat ini banyak menjauhi kesenian ludruk, kentrung, ketoprak dan jaranan. Kebanyakan kyai-santri saat ini lebih menyukai kesenian Islam, seperti Barzanji, sholawatan, kubro maupun Diba’an. Ini kemudian menjadikan bias, kotak-kotak, seni Islam berdiri sendiri, seni rakyat berjalan sendiri.


Lebih jauh, kiai-santri saat ini kurang mampu menampilkan sastra pesantren yang mampu bertanding dalam kancah kesusastraan nasional, mendampingi dan menandingi sastra pop, sastrawangi, sastra serius-ambisius, sastra terjemahan. Sepertinya sastra pesantren saat ini mulai kehilangan ruh dan strategi perjuangannya. Kiranya melalui buku inilah sastra pesantren masa kini harus mereformat identitas dan gerakannya, sehingga mampu memberi warna sastra nasional dan memberi manfaat kepada seluruh rakyat Indonesia. Semoga.******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar