Senin, 20 Mei 2013

BamSoet: Operasi Sunyi Senyap di Tahun Politik

Operasi Sunyi Senyap di Tahun Politik

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Menjelang tahun pemilu 2014 tensi politik akan meningkat dan suasana akan semakin panas. Berbagai operasi untuk menjatuhkan lawan politik pun digulirkan.

Operasi itu dapat dirasakan namun sulit dibuktikan. Ibarat orang buang angin, kita hanya dapat mencium bau nya tanpa bisa menunjuk hidung pemilik bau busuk tersebut.

Saya pertama kali mendengar informasi  adanya satuan tugas operasi intelejen yang dikendalikan orang-orang kuat dan tersohor pada pertengahan tahun 2012. Sejumlah teman dari kalangan intelejen dan informan sipil menuturkan bahwa ada kekuatan yang memainkan kegiatan para-intelejen berkode ”Operasi Sunyi Senyap (SS)". Operasi itu dilakukan dengan cara menghubungkan sejumlah politisi dengan kasus-kasus yang berbau korupsi. Fitnah dan pembunuhan karakter lebih banyak berperan di sana.

Syahdan, Operasi "SS" dilakukan untuk menurunkan elektabilitas lawan politik (Parpol) pada Pemilu 2014. Jadi, tujuan operasi ini ialah untuk menghancurkan partai politik yang berpotensi menjadi ancaman bagi kekuasaan hari ini dengan cara membentuk stigma buruk melalui kasus korupsi. Stigma jelek terlibat korupsi sama seperti stigma ”kontra-revolusi” di masa demokrasi terpimpin dan stigma ”terlibat PKI” di masa orde baru.

Saya pikir, kalau memang benar operasi tersebut ada, dan memang bernama demikian, nama itu terbukti sangatlah tepat.
Entah kebetulan atau apa. Nama itu mengingatkan saya kepada partainya Adolf Hitler, SS Nazi, yang terkenal dengan kelakuannya untuk menghalalkan segala cara. Persis sebagaimana yang dilakukan para pelaku dan otak di belakang operasi tersebut.

Maka, sejumlah tokoh partai kemudian dinyatakan terjaring kasus korupsi. Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq, terjaring kasus suap impor daging. Wakil Ketua DPR dan Ketua DPP Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, disebut-sebut terlibat kasus korupsi pengadaan Al Quran. Nama Priyo sebetulnya hanya dicatut sejumlah pihak, namun dianggaplah dia bagian dari kejahatan.
Yang paling gila adalah aksi ujug-ujug menguliti lagi kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Saya sangat setuju kasus BLBI diabongkar habis-habisan. Tapi amat memuakan jika kasus ini dijadikan senjata politik belaka. Tak tanggung-tanggung, dalam perkembangan di awal April 2013, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, Presiden RI kelima, seakan-akan menjadi sasaran tembak. KPK menyatakan akan melakukan penyelidikan terhadap penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang membuat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Kejaksaan Agung.  Penerbitan SKL ini dilakukan di masa kepresidenan Megawati.

Kasus-kasus tersebut hanyalah sedikit contoh dari sekian banyak yang bisa diinventarisasi. Sekian banyak contoh itu menegaskan bahwa ’operasi senyap’ itu hingga saat ini pun terus berlangsung. Operasi itu juga dijadikan cara untuk membuat kasus Century tetap tersaput kabut tebal. Dan membuatnya sebagai persoalan menggantung yang diharapkan kian lama akhirnya akan dilupakan orang.

Kita juga merasakan ada tangan-tangan kuat yang tak terlihat terus berupaya mengkriminalisasi pihak-pihak yang hingga saat ini tetap menuntut penyelesaian tuntas kasus Century. Kekuatan hitam itu tampak jelas menginginkan agar perjuangan membongkar skandal keuangan terbesar pasca reformasi itu berhenti. Mereka selalu menggelar serangkaian operasi sunyi, agar kasus Century berhenti berbunyi.

Sejak Semula Sunyi Senyap

Kita tentu masih ingat, perilaku serba-sunyi senyap juga tampak sejak awal pengucuran bailout Bank Century. Semua terkesan penuh intrik, seperti sengaja disaput kabut. Bahkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar sendiri kemudian sadar adanya keanehan manakala menghadiri undangan rapat yang digelar di Istana, beberapa pekan sebelum bailout tersebut dicairkan.

Rapat dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu dihadiri para pejabat tinggi negara, terutama yang terkait pengelolaan keuangan negara kala itu. Ada Ketua BPK Anwar Nasution, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Kepala BPKP Didi Widayadi, dan Gubernur BI Boediono. Antasari juga mengingat hadirnya beberapa anggota kabinet, meliputi Menko Polhukam Widodo AS, Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, serta Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa. Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng dan staf khusus Denny Indrayana juga hadir.

Namun belakangan Antasari sadar ada figur penting yang disadarinya alpa dalam rapat tersebut. Wapres Jusuf Kalla.

Tampaknya Kalla memang sengaja tidak diundang. Kehadirannya rupanya disadari pihak-pihak yang berkepentingan mengakali kebijakan untuk menguras dana negara dengan memanfaatkan kondisi krisis global akan mendapat tantangan.

Bukan apa-apa, sejak semula Kalla yang sadar akan ketidakbergunaan program itu memang menolak tegas apa yang disebut 'blanket guarantee' tersebut. Bagi sang tokoh publik tersebut, kebijakan negara untuk selalu menalangi bank-bank yang bangkrut karena kebodohan pengelolaan atau kelicikan itu bukan hanya tidak mendidik. Cara itu, selain diskriminatif juga merugikan rakyat banyak, pemilik sebenarnya dana-dana negara.

Menurut Kalla, saat itu dirinya ditemui empat menteri, yakni Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Sekretaris Negara, dan Menteri Negara BUMN. Para menteri ini meminta persetujuan "blanket guarantee" itu agar segera diumumkan ke publik.

Masih segar dalam ingatan kita, Kalla menolak keras permintaan itu karena menurutnya kebijakan seperti itulah yang membangkrutkan negara tahun 1998. Kenapa semua kesalahan bank harus ditanggung rakyat? Para pemilik bank itu lebih kaya dari rakyat. Kata Kalla ketika itu.

Terkait bailout Century, Kalla juga menyatakan adanya semacam ’operasi senyap’. Misterius. Bagaimana mungkin untuk kasus sekrusial itu sebagai pejabat presiden--ketika SBY sedang berada di AS-- dirinya tidak dilaporkan.

Lalu, Pada Januari 2010, beredarlah berita tentang testimoni Susno Duadji. Mantan Kabareskrim ini mengaku, Bareskrim sudah menyidik kasus dugaan korupsi bailout Bank Century yang mengarah ke Wakil Presiden Boediono. Munculnya testimony ini dilatari oleh pemeriksaan keterangan oleh Pansus Bank Century, pada Rabu 20 Januari 2010, terhadap Susno Duadji. Di sana, Susno menyerahkan testimoni terkait sejumlah hal, antara lain mengenai Century. Testimoni Susno ini juga menjelaskan, mengapa kasus skandal Bank Century sampai jadi membesar.

Menurut Susno, sangat mudah mencari kasus korupsi di balik bailout Bank Century. Tapi, Susno tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa menyerahkan testimoninya tetapi tidak bisa melanjutkan penyelidikan kasus korupsi Bank Century. Susno kemudian mengaku, Bareskrim Polri kemudian memang tidak memprioritaskan penyidikan kasus penyertaan dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar Rp 6,762 triliun karena alasan seperti ini:

"Ada di antara anggota KSSK saat itu yang sedang mengikuti Pemilu Wakil Presiden, kemudian menang, sehingga menunggu pelantikan Wakil Presiden, yang tentunya kalau langsung disidik akan terjadi kehebohan. Walaupun sebenarnya untuk membuktikan adanya korupsi dalam penyertaan PMS dari LPS senilai Rp 6,762 triliun ke Bank Century tidak terlalu sulit."

Dalam testimoni itu juga, Susno menyatakan, ada dugaan pembiaran oleh petinggi Bank Indonesia (BI) terhadap perilaku Robert Tantular, pemilik Bank Century, yang melakukan berbagai tindakan melawan hukum. Menurut Susno, BI tidak melapor ke polisi, seputar perilaku Robert, sampai Mabes Polri kemudian menangkap Robert Tantular, pada 25 November 2008.  Itupun, pimpinan BI masih ragu dan menganggap belum cukup bukti, sehingga mereka masih keberatan untuk dilakukan penangkapan." "Mereka (pimpinan BI) menanyakan, apakah polisi sudah yakin Robert bersalah," ungkap Susno, dalam rapat Pansus Angket Century di DPR, Rabu 20 Januari 2010.

Laporan BI baru diberikan setelah Robert Tantular ditahan, sekitar 2 hari kemudian.  Padahal, ujar Susno, BI yang waktu itu dipimpin Boediono, sudah mengetahui perbuatan jahat yang dilakukan Robert Tantular sejak sebelum 2008.

Setelah itu, kita tahu nasib Susno setelah mengungkap kasus Century dalam testimoninya.

Begitulah. Petunjuk-petunjuk mejadi salah satu bukti yang akhirnya membawa saya kepada kesimpulan bahwa kekuasaan terlihat gerah dengan pengungkapan kasus Bank Century. Mereka  tidak berpangku tangan dan berdiam diri. Mereka melawan dengan segala cara.

Dan pengungkapan kasus ini mungkin akan kian sulit. Mungkin banyak petunjuk yang sudah hilang atau dihilangkan. Boleh jadi pula, ada sejumlah barang bukti yang dimusnahkan. Siapa tahu, sudah ada banyak mulut yang disumpal dan nyali yang dibikin gentar. Yang pasti, kasus ini seakan dibuat terus semakin mengambang.

Setidaknya pula, sudah dua orang yang mengetahui persis kasus ini, yang telah meninggal dunia. Pada 8 Agustus 2011, dari Rumah Sakit Premier, Surabaya, diberitakan jika Boedi Sampoerna, mantan Presiden Komisari PT HM Sampoerna, meninggal dunia. Kematian Boedi Sampoerna adalah pukulan bagi upaya pengungkapan kasus bailout Bank Century. Boedi adalah deposan terbesar Bank Century, dengan nilai Rp 2 triliun. Di saat yang hampir bersamaan, seorang Budi lainnya, yang juga mengetahui persis proses bailout Bank Century, juga meninggal dunia. Ia adalah Budi Rochadi, Deputi Gubernur Bank Indonesia. Budi Rochadi meninggal di New York, pada Juli 2011. Semoga mereka tenang di alam sana, kendati penuntasan kasus Century masih sebatas wacana. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar