Kamis, 16 Mei 2013

(Ngaji of the Day) Hati-Hati Makanan Anda!


Hati-Hati Makanan Anda!

Oleh: Ade Rokib S.

 

“Hai kalian manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi ini secara halal dan baik. Dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. 2:168)


Ayat ini dengan jelas menekankan pentingnya mengkonsumsi makanan yang halal dan thayyib, kemudian ditutup dengan peringatan agar manusia tidak mengikuti setan yang akan menjerumuskan pada kesesatan.


Halal dan thayyib dalam ayat di atas berdasarkan dua aspek, yaitu halal dzatiyah barangnya dan halal cara mendapatkannya. Secara tersirat juga dapat diartikan bahwa Allah SWT mengharamkan makanan yang tidak halal dan tidak thayyib. Di zaman modern ini ada dua hal penting yang harus diwaspadai berkenaan dengan makanan.


Pertama, pencemaran makanan saat produksi.


Aturan halal-haram dalam Islam sudah jelas. Tetapi, zaman yang semakin senja membuat yang semula jelas menjadi remang-remang. Keremang-remangan ini merambah pada jenis makanan, khususnya olahan. Banyak makanan yang sebenarnya secara subtansi halal, tetapi bila dicermati dalam produksinya sering ditambahi bahan haram. Sehingga, makanan seperti ini menjadi rawan syubhat, bahkan haram.


Produk makanan olahan, biasanya tidak bisa dilepaskan dari penambahan unsur atau senyawa tertentu. Sesuatu yang ditambahkan ini jumlahnya kecil saja, biasa disebut food additive. Berikut beberapa jenis food additive yang berkemungkinan haram dan bercampur dalam proses produksi, yang bisa menyebabkan ketidakhalalan suatu makanan, yaitu:


Emuslifer, dapat diperoleh dari bahan hewani atau tumbuh-tumbuhan, seperti lechitin, gum Arabic, mono digliceria, bile salts, dll.


Enzim, dapat diisolasi dari binatang, tumbuhan, atau mikroba. Contoh yang banyak digunakan dalam industri adalah: pepsin dan rennin. Pepsin biasanya diperoleh dari sapi atau babi. Rennin diambil dari perut binatang kecil, tapi juga bisa diperoleh dari tumbuhan atau mikroba.


Shortening, minyak dan lemak yang dapat diperoleh dari tumbuhan atau hewan. Shortening dari tumbuhan seperti minyak jagung, minyak kelapa, minyak kedelai, dll. Sementara yang berasal dari hewan adalah mentega, keju, lard, lemak domba, dsb.


Gelatin. Gelatin dan lesitin merupakan senyawa kimia yang sering dimanfaatkan berbagai macam industri. Tidak masalah jika gelatin atau lesitin yang dimanfaatkan diperoleh dari sumber yang halal. Sayangnya banyak sumber gelatin dan lesitin haram sering diberlakukan para pelaku industri.


Gelatin merupakan protein hewani yang berasal dari jaringan ikat kolagen pada bagian kulit, otot, atau tulang. Gelatin dipasarkan dalam bentuk kepingan atau serbuk. Di Indonesia, gelatin banyak diperoleh dari rumah potong hewan (RPH). Jenis binatang yang kulit dan tulangnya banyak mengandung gelatin ialah babi dan sapi, bisa juga kambing atau domba.


Gelatin banyak diproduksi di Amerika, dan banyak dimanfaatkan dalam industri makanan dan farmasi. Gelatin juga dimanfaatkan dalam industri plastik, perekat, dan fotografi.


Sebagai zat aditif makanan, gelatin berfungsi sebagai penyedap rasa, sekaligus pengemulsi, pemekat, pengental, perekat, pengembang, dan sebagainya. Produk yang mungkin mengandung gelatin dan tidak jelas sumber gelatinnya, antara lain:


Makanan: agar-agar, permen karet, jeli, pudding, jus buah, minuman susu masam, es krim, keju, margarine, dsb.


Obat-obatan: tablet, pil, vaksin, supositori, span pembedahan, serbuk pembedahan, dsb.


Kosmetika: shampo protein, krim kuku, tonik rambut, tabir surya, body lotion, krim pelembab, dsb.


Lainnya: film, korek api, kertas tanpa karbon, tinta, lem, dsb.


Beberapa food additive di atas dapat saja dihubungkan dengan benda-benda yang dalam Islam diharamkan secara ijma’, seperti babi dan hewan yang disembelih tidak syar’i.


Kedua: pencemaran makanan melalui bisnis kotor.


Menurut Umar inbu Abdul Aziz, makna thayyiban dalam ayat di atas adalah thayyibul-kasbi atau didapat dari pekerjaan yang benar. Makanan halal pun bisa menjadi tercemar bila didapat dengan cara kotor yang tidak diperkenankan syari’at.


Larangan keras memperoleh makanan dengan cara kotor ini terlihat secara tegas dalam firman Allah SWT (artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jangalah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)


Praktik penipuan dan pemerasan yang merugikan orang lain tentunya tidak diizinkan sesuai dengan kandungan ayat ini. Allah SWT memberikan peringatan keras kepada mereka yang menggunakan cara-cara penindasan dalam mengambil keuntungan dengan jalan tidak sehat.


Berbagai bentuk badan usaha yang bergerak di bidang apapun harus memegang erat prinsip baku  tersebut. Sebab makin sengitnya persaingan, tentunya ide dan kiat jitu manjadi pilihan utama untuk mendapat untung besar. Di tengah-tengah perjalanan menuju hal itu, pasti ada godaan yang menggunakan jurus dan sistem yang sangat rentan merugikan orang lain.


Al-bathil dalam ayat di atas, menurut Ibnu Katsir adalah setiap aktivitas meraih keuntungan yang tidak selaras dengan aturan agama (baca: syara’). Beliau memberikan contoh riil, seperti praktik riba; renten; perjudian; berbagai usaha untuk melegalkan formalitas hukum Islam, padahal subtansi yang terkandung di dalamnya adalah murni penipuan, pemerasan, berusaha menghindar dari tanggung jawab syariat; serta mendapat dispensasi secara ilegal.


Ditambah lagi, meskipun secara riil dan yang nampak dipermukaan dari usaha tadi ada kesesuaian dengan fikih, praktik ini akan bisa tersibak dengan transparan manakala kita meneliti secara cermat dari niat dan modus dari sang pelaku. Memang harus diakui dengan jujur, dari sekian produk hukum Islam yang tertera rapi, masih ada beberapa oknum tak bertanggung jawab berusaha memanfaatkan celah dan lubang yang bisa digunakan sebagai kedok untuk menggapai keuntungan pribadi di balik itu semua.


***


Kepentingan untuk sterilisasi makanan ini adalah kepentingan yang bersifat primer, sebab makananlah yang akan mewarnai tindak-tanduk manusia. Makanan yang dikonsumsi akan menjadi darah dan daging yang akan menjadi sumber tenaga dalam meneruskan kelangsungan hidup.


Karenanya, jika makanan yang dikonsumsi berasal dari barang haram, maka akan melahirkan watak yang memiliki kecenderungan kotor untuk selalu bermaksiat.


Sebab itu, kita sebagai manusia jangan sampai lalai atau bahkan mengabaikan dari memperhatikan barang haram. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa tidak memperdulikan dari mana ia mengusahakan harta, maka Allah tidak akan memperdulikan dari mana Dia memasukkannya ke neraka.” (HR. Abu Manshur ad-Dailami)


Sumber: Buletin Sidogiri, edisi-63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar