Senin, 27 Mei 2013

BamSoet: Kejanggalan SKL- BLBI Layak Diselidiki

Kejanggalan SKL- BLBI Layak Diselidiki                                                   

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Sejumlah mantan petinggi era pemerintahan Megawati Soekarnoputri satu persatu dipanggil dan diperiksa KPK terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI. Mulai Rizal. Ramli, Kwik. Kian Gie hingga Putu Arry Sutta. Bahkan tak tanggung-tanggung, dalam perkembangan di pertengah Mei 2013, terdengar kabar Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan, Presiden RI kelima, akan dipanggil KPK sebagai saksi kasus SKL BLBI. Tentu saja informasi tersebut membuat kita tercengang.

Kita berharap penyelidikan terhadap penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang membuat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Kejaksaan Agung di masa kepresidenan Megawati ini, bukan bagian dari operasi Sunyi Senyap atau "SS" yang ingin menempatkan Megawati menjadi sasaran tembak untuk menjatuhkan pamor PDIP yang elektabilitasnya terus meroket bersama Partai Golkar dan telah meninggalkan jauh Partai Demokrat sebagai Partai Penguasa.

Kita sesungguhkan sangat bersyukur jika ada pihak yang ingin membongkar kembali kasus BLBI. Langkah tersebut MELEGAKAN, karena penyelidikan atas kejahatan besar dengan modus penyalahgunaan fasilitas Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) ini harus dituntaskan agar siapa pun tidak lagi melakukan kejahatan terhadap negaranya sendiri.

Ketika KPK memanggil mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional /Ketua Bappenas Kwik Kian Gie, semua kalangan ingin tahu apa yang ditanyakan KPK kepada Kwik. Kwik membuat publik tetap penasaran, karena dia tak mau menjelaskan materi pembicaraannya dengan KPK. Persoalan mulai agak jelas ketika mantan Menteri Perekonomian Rizal Ramli mau merespons pertanyaan pers seusai menjalani pemeriksaan di KPK, belum lama ini. Dia mengaku, dari materi pertanyaan para penyidik, sangat jelas bahwa KPK berupaya menelusuri kejanggalan penerbitan SKL BLBI.

Kepada KPK, Rizal menyatakan tak tahu menahu perihal penerbitan SKL BLBI.  Sebab, SKL BLBI diterbitkan bukan pada saat dia menjabat Menko Perekonomian. Rizal pun dengan yakin memastikan posisi Kwik dalam konteks penerbitan SKL itu sama dengan dirinya. Bahkan Rizal ingat betul kalau waktu itu Kwik tidak setuju dengan kebijakan dan mekanisme SKL BLBI.

Agar tidak menjadi beban sejarah bangsa, Rizal pun mengimbau penegak hukum lebih bersungguh-sungguh menuntaskan kasus penyalahgunaan BLBI. Sebab, negara masih terus membayar bunga subsidi BLBI sekitar Rp 60 triliun per tahun. Kewajiban ini masih harus  dijalankan negara selama rentang waktu 20 tahun mendatang.  Bagi Rizal, meluruskan kasus SKL BLBI itu penting untuk menegakan keadilan di negara ini. Menjadi sangat aneh jika para bankir kaya raya itu terus disubsidi, sementara subsidi BBM untuk rakyat justru ingin dipangkas.
                                                    
Penuturan Rizal yang cukup rinci itu secara tidak langsung menjelaskan bahwa KPK sedang mendalami dugaan penyalahgunaan fasilitas BLBI, serta kemungkinan adanya penyimpangan pada kebijakan dan mekanisme penerbitan dan pemberian SKL BLBI kepada sejumlah debitur. Apalagi,  setelah mendengarkan penuturan dari para ekonom itu, Ketua KPK Abraham Samad membuat pernyataan tentang kecanggihan modus korupsi dewasa ini.

Dalam sebuah seminar di Jakarta baru-baru ini, Samad mengemukakan bahwa modus dan praktik korupsi dewasa ini terus berkembang dan semakin canggih. Bisa dipastikan bahwa kasus korupsi skala besar dengan modus yang canggih itu melibatkan sekumpulan orang kelas menengah ke atas.  Karena itu, penegak hukum jangan sampai mudah terkecoh para koruptor. Sebab, cara koruptor menghilangkan alat bukti serta track record-nya dalam tindak pencucian uang semakin canggih. Dia mengacu pada kasus penyalahgunaan fasilitas BLBI dan keanehan yang meliputi mekanisme penerbitan SKL BLBI itu.

SKL BLBI diterbitkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No.8/2002. SKL memuat ketentuan tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya. Dan sebaliknya, tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan jumlah kewajiban pemegang saham (JPKS). Berdasarkan SKL  dari BPPN itu, Kejaksaan Agung menindaklanjutnya dengan menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan).

Inpres No.8/2002 yang popular dengan sebutan Inpres release and discharge ini menjadi sangat kontrversial pada waktu itu. Banyak kalangan keberatan, termasuk ekonom Kwik Kian Gie yang saat itu menjabat Ketua Bappenas.  Soalnya, debitur BLBI dipastikan sudah melunasi seluruh utang kendati hanya 30 persen dari JKPS dalam bentuk tunai, dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Dengan perhitungan seperti ini, debitur yang ditetapkan sudah melunasi kewajibanya berdasarkan penyidikan akan mendapat SP3 dari Kejaksaan Agung. Tidak kurang dari 10 debitur besar yang mendapat SKL, termasuk Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan.

Tipu Muslihat

Belakangan, diketahui bahwa perilaku debitur BLBI penuh tipu muslihat. Mereka mengaku tidak mampu lagi melaksanakan kewajibannya mengembalikan BLBI,dan bersedia menyerahkan asetnya kepada negara melalui BPPN. Namun, saat aset-aset itu dilelang BPPN dengan harga sangat murah, para obligor itu membeli lagi aset-aset tersebut melalui perusahaan miliknya yang berdomisili dan beroperasi di luar negeri. Aset tetap dikuasai si debitur, sementara debitur bersangkutan sudah dinyatakan bebas dari kewajiban mengembalikan dana BLBI.

Dari beberapa debitur yang menyerahkan aset kepada BPPN, kasus penyerahan aset oleh Sjamsul Nursalim selaku pemilik BDNI paling menyita perhatian pengamat, karena perhitungannya dinilai tidak akurat. Di kemudian hari, dugaan ketidakjujuran Sjamsul Nursalim terendus, ketika mantan jaksa Urip Tri Gunawan (kini berstatus terpidana), ditangkap KPK di pekarangan rumah Sjamsul Nursalim di Jakarta Selatan. Jaksa Urip adalah anggota tim penyelidik untuk kasus penyerahan aset obligor BLBI. Di Pengadilan, Urip terbukti menerima suap dari Artalyta Suryani, orang kepercayaan Sjamsul Nursalim.

Bukan tidak mungkin, debitur BLBI lain yang telah memperoleh SKL dan SP3 pun berkolaborasi oknum penegak hukum lainnya. Karena itu, KPK perlu ‘meminjam’ terpidana Urip Tri Gunawan untuk sekadar mengetahui bagaimana dia ‘melayani’ kepentingan Sjamsul Nursalim sampai akhirnya mendapatkan SP3.

Dengan demikian, penyelidikan kasus BLBI berpotensi melebar. Tidak hanya soal dugaan penyalahgunaan BLBI, tetapi juga masuk pada kejanggalan jual-beli aset oleh debitur sebagaimana dikemukakan Ketua KPK, serta motif koruptif dibalik penerbitan SKL BLBI dan SP3 bagi para debitur.

Berdasarkan laporan  Audit  Investigasi penyaluran dan pengunaan BLBI  oleh  BPK pada tahun 2000, total dana BLBI yang disalurkan kepada 48 Bank mencapai Rp 144,5 trilyun. Dari audit yang sama, ditemukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam penyaluran BLBI, yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 138,4 triliun, ekivalen 96 % dari total BLBI.  Pihak-pihak yang diduga terlibat adalah manajemen bank penerima BLBI dan pejabat Bank Indonesia.

BLBI digagas untuk mencegah runtuhnya industri perbankan nasional akibat krisis moneter 1998. Bantuan diberikan kepada puluhan bank untuk menjaga likuiditas bank-bank penerima bantuan, yang saat itu harus menghadapi rush dari nasabah. Saat itu, segala sesuatunya digambarkan harus serba cepat, termasuk menghitung kebutuhan bantuan likuiditas maupun pendistribusisian bantuan. Ada bank yang diperhitungkan akan runtuh dalam hitungan menit jika bantuan likuiditas tidak segera dicairkan. Presiden (saat itu) Soeharto tak punya pilihan lain kecuali setuju saja dengan proposal BLBI dari para pejabat Bank Indonesia saat itu.

Per kebijakan, BLBI mungkin tidak bisa disalahkan. Namun, jumlah, penyalahgunaan BLBI, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat BI, dan ingkar janji pemegang saham bank penerima BLBI sangat layak untuk dipersoalkan. Termasuk juga kebijakan dan mekanisme penerbitan SKL sejumlah debitur BLBI.

Karena itu, sangat melegakan jika KPK akhirnya membuka penyelidikan kasus ini. Anak-anak dan remaja mungkin belum paham dengan kasus ini. Kelak, jika kasus ini digelar lagi di ruang publik, mereka bisa memahami bahwa kasus BLBI adalAah kejahatan besar di bidang keuangan yang pernah dilakukan terhadap negara ini di penghujung dekade 90-an. Mereka yang terlibat harus diganjar dengan sanksi hukum yang maksimal, agar ada efek jera. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar