Senin, 27 Mei 2013

(Buku of the Day) Pribumisasi al-Qur’an; Tafsir Berwawasan Keindonesiaan


Pribumisasi Tafsir Keindonesiaan

 



 

Judul Buku        : Pribumisasi al-Qur’an; Tafsir Berwawasan Keindonesiaan

Penulis             : M. Nur Kholish Setiawan

Penerbit            : Penerbit Kaukaba, Yogyakarta

Cetakan            : I, Juni 2012

Tebal                : x + 250 hal.

Peresensi          : Munawir Aziz, Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta

 

Interpretasi terhadap teks dan nilai-nilai Islam saat ini berada pada ruang kontestasi. Setiap kelompok, dengan rujukan ideologinya masing-masing, berusaha menafsirkan al-Qur’an untuk menyampaikan pesan perjuangan kelompoknya, seraya menegasi tafsir dan pemaknaan teks yang lain. Ruang kontestasi inilah yang sekarang tercipta dan memanggungkan beragam kondisi sosial-politik warga Indonesia mutakhir. Dari ruang inilah, lahir perdebatan tentang terorisme, khilafah, jihad dan keragamaan manusia.


Pada titik ini, Nur Kholish Setiawan, doktor lulusan Orientalisches Seminar der Universitat Bonn dan guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berusaha mempribumisasikan teks-teks al-Qur’an yang selama ini diperdebatkan pemaknaannya. Pribumisasi, dalam konteks ini, memberikan wawasan keindonesiaan dalam spirit tafsir al-Qur’an. Konsepsi “pribumisasi” ini pernah dilontarkan Abdurrahman Wahid, dalam memandang perlunya pendekatan sprit nilai-nilai Nusantara, dalam pemaknaan pribumisasi Islam.


Pribumisasi al-Qur’an oleh Nur Kholish Setiawan ini, melanjutkan proyek tafsir yang dilakukan oleh ulama-ulama Nusantara pada era sebelumnya. Misalkan pada karya Tafsir al-Huda oleh Bakri Syahid (w. 1994), Marah Labid Tafsir al-Nawawi/Tafsir al-Munir (1882-an), Tafsir Basa Jawi dalam huruf Arab karya Saleh Darat (1892-a), dan Tafsir Jalalen Basa Jawi Alus dalam bahasa Arab karya Bagus Arafah (1913).


Dalam menulis gagasannya, Nur Kholis menggunakan paradigma tafsir tematik (tafsir maudhu’i). Tafsir tematik, mengundang banyak sarjana untuk berkontribusi di dalam melengkapi dan menyempurnakan proses kerja dan alur metodologisnya. Amin al-Khuli (w. 1976) menggenapkan dua prinsip metodologis, yakni studi di sekitar al-Qur’an, dirasah ma hawl al-Qur’an, dan studi tentang teks itu sendiri, dirasah fi al-Qur’an nafsih (hal. 17). Dalam penulisan karya ini, Nur Kholis Setiawan menganut gerak ganda, dari teks menuju realitas, atau sebaliknya dari realitas menuju teks. Titik tekan dari upaya penafsiran yang dilakukan dalam buku ini, adalah eksplorasi pemahaman dengan menjadikan ayat al-Qur’an menjadi inspirator (hal. 21).


Buku “Pribumisasi al-Qur’an” ini dibagi dalam beberapa “korasan” (bagian); (1) hak dan kewajiban keluarga-rumah tangga, (2) pernikahan beda agama, (3) persoalan generasi muda dan wirausaha, (4) ketenagakerjaan dan kelompok difabel, (5) miskomunikasi, (6) wilayah dan kedaulatan, (7) kebinekaan dalam budaya, (8) tanggungjawab sosial dan ketahanan bangsa, (9) jihad melawan korupsi, (10) masalah kemiskinan, (11) tentang lingkungan hidup, (13) pencuciang uang (money laundring), (14) perjudian dan prostitusi, serta (15) konsepsi ummatan wasathan dan masa depan kemanusiaan.


Visi keindonesiaan


Perhatian utama Nurkholish dalam buku ini, pada isu-isu keindonesiaan kontemporer, yang masih memerlukan pemikiran mendalam, semisal kasus korupsi dan ketahanan bangsa. Dalam catatan Nurkholish, hasrat korupsi didasarkan pada hawa nafsu, egoisme dan ketamakan. Al-Qur’an menyebutnya sebagai “hubbu ad-dunnya wa maa fiha”, yang menyebabkan manusia lupa terhadap kehidupan setelah kematian. Nur Kholis Setiawan mengajukan “fiqih antikorupsi” sebagai sebagai fondasi epistemik untuk menyelesaikan kasus korupsi di Indonesia, dari sudut pandang keagamaan (hal. 162-5).


Sedangkan, konsepsi tentang kedaulatan negara, merujuk pada kisah Nabi Daud dan Sulaiman, yang merepresentasikan ketokohan untuk membangun komunitasnya, misalnya dalam ayat al-Qur’an 2:251, 21:79, 34:10, 38:26 dan beberapa ayat lain. Intinya, kedaulatan negara terkait dengan subtansi keragaman masyarakat dalam wilayah keindonesiaan, yang semestinya menjadi kohesi sosial.


Selanjutnya, pada konteks membangun visi kemanusiaan di Indonesia, Nur Kholis merujuk pada konsepsi ummathan wasathan. Ada dua gelar yang diberikan oleh al-Qur’an kepada umat Rasulullah Saw, yakni khayr ummah (umat terbaik), dalam Q.S Ali ‘Imran (3): 110, dan ummat wasat (umat moderat), dalam Q.S Al Baqarah (2): 142. Dengan gelar yang disandangkan ini, Nabi Muhammad, kala itu mampu mengatasi berbagai persoalan sosial dan politik, hidup di tengah keragaman dengan Yahudi, Nasrani dan umat beragama lain, hingga pada masa berikutnya menjadi pelopor peradaban dunia.


Ayat tentang ummat wasath, turun dalam konteks sejarah persinggungan antar agama pada zaman Nabi Muhammad, yaitu terkait dengan pemindahan kiblat. Sebelum Nabi Muhammad menyeru pesan Islam, kiblat yang dijadikan pedoman kaum sebelumnya adalah Bait al-Maqdis, yang kemudian disempurnakan ke arah Ka’bah. Pada titik inilah, perdebatan berlangsung dalam konteks relasi antara agama. Selain terma ummat wasath, ada konsep sufaha’. Siapakah sufaha’ dalam surat al-Baqarah, ayat 143? Al-Zamakhsari menyebutkan bahwa kata ini merujuk pada orang Yahudi yang mengolok pergantian Ka’bah, orang munafik yang punya kebiasaan mengolok-olok dan orang musyrik. Tentu saja, kritik yang disampaikan tanpa dasar. Penolakan kaum Yahudi, Nasrani dan kelompok lain, berdasar pada kepentingan ekonomi (khawatir karena kepentingan ekonomi di sekitar Ka’bah akan terganggu) dan sosial-politis, karena kontestasi kuasa antara pemuka Arab (hal. 223-9)


Agama, dalam hal ini Islam, diharapkan memberikan sumbangsih bagi penataan masyarakat. Untuk itu, rujukan tatanan yang dijadikan model adalah ummat wasat. Gelar ini tidak melekat begitu saja ketika seseorang telah memeluk agama Islam (hal. 234). Gelar ini bukankah kualitas yang terberi begitu saja, namun perlu diperjuangkan dengan sikap hidup, etos dan prinsip untuk mengaktualisasi nilai-niali Islam yang sejalan dengan visi kemanusiaan Islam maupun pesan perdamaian Nabi Muhammad.


Tafsir tematik (maudhu’i) yang disampaikan Nur Kholish Setiawan dalam buku ini menyiratkan moderatisme dalam beragama. Tafsir keindonesiaan yang disampaikan, berupaya mengintegrasikan pesan al-Qur’an, konteks historis turunnya ayat (asbabun nuzul), hingga relevasi dengan kondisi negeri ini pada zaman sekarang. Visi keindonesiaan yang dianggit oleh Nur Kholish Setiawan pada buku ini penting untuk memberikan pemahaman berimbang, segar dan komprehensif untuk menyampaikan serta memahami ayat-ayat agama, dengan meminggirkan fanatisme dan taklid ideologis yang dapat mereduksi nilai-nilai moral dan spirit keislaman. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar